Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Salah Tangkap

Saya benar-benar tidak percaya bahwa pengadilan menjatuhi saya hukuman mati atas perbuatan yang tidak pernah saya lakukan.

21 Juli 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ilustrasi: Tempo/Alvin Siregar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Harajuku, 1925

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesaksian Yamamoto Ishida, Penjaga Stasiun (Tersangka Pertama)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nama saya Yamamoto Ishida. Saya penjaga stasiun di Harajuku. Tugas saya mengontrol pipa air, kebersihan stasiun, dan memastikan baut rel kereta tidak dicuri orang. Saya berjaga bersama kawan saya, Ryosuke Kawamura. Kami datang pada pukul 11 malam, saat kereta terakhir lewat. Namun, malam itu, dia izin sebab anaknya terserang demam dan saya berangkat lebih awal ke stasiun.

Di malam hari, stasiun tidak menyeramkan sebagaimana yang orang-orang bayangkan. Mereka yang takut pergi ke stasiun di musim salju hanyalah penggemar mitos Jepang. Tak ada hantu Take-Take memegang samurai dan melibasmu dalam satu kali sabetan hingga kedua kakimu terputus. Saya percaya, hantu, dedemit, atau penunggu tidak akan melukai orang berhati sutra seperti saya.

Tersangka berdeham. Kepalanya mendongak kembali.

Kalau mereka merasa tidak terganggu, buat apa menampakkan diri? Buang-buang waktu mereka saja.

Namun malam itu suasana sepi. Para pekerja beristirahat di barak setelah menggali timbunan salju. Sayup-sayup, saya mendengar derap kaki tepat pukul satu dini hari. Saya mencari sumber suara. Di loket, ruang tunggu, atau kamar mandi, tetapi tidak ada orang. Saya merapatkan mantel dan syal. Salju turun pelan-pelan malam itu. Menggigilkan badan saya.

Sewaktu saya berdiri di ujung koridor pintu utama, seseorang, entah lelaki atau perempuan, berdiri di koridor berlawanan. Saya menyipitkan mata. Lentera yang saya pegang tidak banyak membantu saya dalam gelap sebab jarak kami, kira-kira saja, 25 langkah. Saya memanggilnya, tetapi dia memaku. Seakan-akan memastikan wajah, tubuh gempal, dan getar suara saya.

Saya mendekat. Lentera bergoyang-goyang dalam tentengan. Saya kehilangan jejak ketika sosok itu menghilang ke arah kanan. Arah itu membawanya ke kamar mandi perempuan—jika kau berjalan lurus, koridor membawamu ke ruang administrasi, dan jika ke kiri, kau akan tiba di ruang tunggu.

Setibanya saya di kamar mandi, tidak ada orang. Saya memanggil-manggilnya. Yang terdengar hanya desau risau angin. Menelisik telinga. Bertitik-titik air melonjong di keran—akan segera saya ganti keran itu besok—lalu jatuh ke bak air. Pesing menumbuk hidung. Saya menyiram lantai dengan tiga kali guyuran. Beginilah nasib penjaga stasiun. Harus tabah menghadapi kejorokan manusia…

Penyidik meminta Tuan Yamamoto Ishida berfokus pada kejadian pembunuhan.

Setelah tiga kali menjatuhkan guyuran, seseorang memegang pundak saya. Saya berbalik. Sosok manusia, entah lelaki atau perempuan, berdiri di hadapan saya. Saya dekatkan lentera ke wajahnya. Dia bertudung kepala mantel dan syal melingkari hidungnya. Matanya merah seperti kurang tidur atau mata itu, agaknya, memeram amarah. Tubuh saya gemetar. Udara dingin memperburuk keadaan.

Tanpa aba-aba, dia melayangkan bogeman. Saya terjengkang, tak sadarkan diri. Saat bangun, tiba-tiba saya dikerumuni banyak orang. Tangan saya berlepotan darah. Pisau tergenggam di tangan. Saya limpung. Saat itu, Anda, Tuan, datang lalu menangkap saya. Tak jauh dari tempat saya berdiri, seseorang terbujur di lantai. Saya penasaran. Mengapa tubuhnya ditutupi koran?

Kau membunuhnya, Tuan Ishida! Kau membunuh perempuan malang itu! 

Tuan Yamuraki-san, kepala bagian administrasi, menuduh saya. Darinya pula, saya tahu kalau dia perempuan. Seorang gadis. Namun, percayalah! Saya bukan pelakunya. Saya hanya seorang penjaga stasiun yang kebetulan tertimpa tangga yang tak pernah saya gunakan.

Sekarang, apakah Tuan percaya cerita saya?

***

Kesaksian Kurushiki, Jagal (Tersangka Kedua)

Tuan benar-benar membuat istri, anak, keluarga, dan tetangga saya panik pagi itu. Tuan menangkap saya dengan tuduhan pembunuhan, padahal saya hanya jagal biasa. Saya memang punya benda tajam, tetapi benda itu tidak saya pakai selain untuk memenggal kepala hewan. Kerbau, semisal. Itulah pekerjaan saya. Mengapa Tuan bisa cemburu pada pekerjaan saya? Apakah jagal dikategorikan pembunuh? Jika saya tidak menyembelih hewan, apakah Tuan akan memberi anak dan istri saya makan pagi dan malam?

Terdengar ketukan pulpen di meja.

Saya memang seorang jagal yang tinggal tak jauh dari stasiun. Namun, bukan berarti jagal hewan juga jagal manusia. Untuk apa saya menetak leher mereka? Saya pun bingung dari siapa Tuan mendapat kabar kalau sayalah pembunuh gadis malang itu. Apakah karena saya memiliki mata merah seperti yang dikatakan seseorang, kata Tuan, dalam suatu laporan? Siapakah dia?

Asal Tuan tahu! Mata saya merah karena saya harus bergadang. Selain jagal, saya merupakan pembuat lentera. Lentera bikinan saya tersebar di Harajuku. Bahkan, penjaga stasiun, Tuan Yamamoto Ishida dan Ryosuke Kawamura, membeli lentera buatan saya.

Katakan apa yang Anda ketahui! (selidik penyidik)

Apa yang saya ketahui? Saya tidak tahu apa-apa, Tuan! Namun, saat malam kejadian itu, saya sedang membuat lentera di pelataran. Salju turun tak ubahnya debu yang ditiup raksasa dari atas Gunung Fuji. Berhamburan. Tiada henti. Saya menahan gigil meski dua mantel—milik saya dan istri saya—dan sanpaku 1) berlabuh di tubuh saya yang ringkih. Kaki saya terbungkus tabi 2). Namun, saya masih kedinginan. Mungkin, mantel yang saya pakai terlalu lusuh dan tipis. Murahan.

Mengapa Anda tidak membuat lentera di dalam rumah?

Membuat lentera di dalam rumah? Apa Tuan bercanda? Rumah saya sempit. Hanya ada satu kamar yang tidak terlalu luas dan ruang tamu dipenuhi barang-barang: lemari piring, meja, dan alat-alat pertukangan. Sangat sempit.

Semua ruang itu ditiduri istri dan anak saya. Kalau saya memaksakan diri, tentu mereka tidak bisa tidur. Saya tidak menginginkan itu terjadi sebab istri saya harus masak pagi-pagi dan mengantarkan anak-anak—dua anak kembar saya, Yukishima dan Yamaguchi—sekolah…

Silakan lanjutkan keterangan Anda.

Keterangan? Jika Tuan menginginkan keterangan, biarkan saya bercerita. Jangan menyela. Jangan memutus omongan orang! (Tersangka meninggikan suara).

Terdengar ketukan pulpen di meja.

Jadi, malam itu, Tuan, saya tengah membuat lentera di pelataran. Saya menghasilkan dua buah saja dalam semalam sebab gigil tak bisa saya tahan. Biasanya, saya menghasilkan lima sampai enam lentera, tetapi saya bersyukur daripada tidak satu pun lentera yang saya hasilkan malam itu.

Saya merasa capek. Saya sudahi pekerjaan saya. Saya mengemas barang-barang. Saya membawanya ke dalam, lantas meletakkannya di kotak khusus untuk menyimpan lentera, terbuat dari kayu.

Saya kembali ke depan sebab lupa menutup pintu. Saat itulah saya melihat sosok, entah lelaki atau perempuan, menembus salju. Di malam hari. 

Bagaimana Anda bisa tahu kalau ada seseorang menembus salju tengah malam?

Ah, Tuan ini. Mata saya terlatih. Melihat semut hitam di batu hitam dalam gulita pun saya bisa. Mau saya buktikan kepada Tuan?

Tidak usah! Ke mana sosok itu pergi.

Dia berjalan ke arah timur dan hilang di rumah Tuan Akutagawa, pembuat jaket dari bulu domba.

Lantas, terdengar ketukan pulpen lagi.

Sekarang, apakah saya boleh pulang, Tuan?

***

Kesaksian Tuan Akutagawa, Pembuat Jaket dari Kulit Domba (Tersangka Ketiga)

Apa salah saya sampai Tuan membawa saya ke kantor polisi? Saya bukan pembunuh. Saya tidak tahu peristiwa gempar beberapa hari lalu, Tuan. Bahkan, saya tidak kenal siapa korban sebenarnya.

Tuan, kasihanilah saya, lelaki renta ini. Sumpah saya tidak tahu apa-apa! (suara tersangka gemetar)

Malam itu, apa yang Anda lakukan di rumah? Mengapa salah seorang saksi mengaku ada sosok menuju rumah Anda? Apakah itu Anda?

Atas nama Siddharta Yang Maha Agung, Tuan, itu bukan saya!! 

Asal Tuan tahu! Pada malam kejadian itu, saya memang mendengar langkah kaki. Namun, saya tidak curiga, Tuan. Saya kira, telinga saya bermasalah di malam bersalju. Saya merasa gugup dan khawatir, tetapi saya segera menepisnya. Saya pikir, siapa yang berani datang ke rumah saya yang kecil, di timur stasiun, kecuali orang gila? Saya tidak punya apa-apa untuk dicuri—seandainya memang ada pencuri.

Jadi, saya abaikan saja suara itu.

Apa yang Anda lakukan malam itu? Mengapa tidak tidur?

Saya memiliki penyakit asma, Tuan. Musim dingin tidak begitu baik bagi pernapasan saya meski saya beralas futon 3) dan kotatsu 4) menghangatkan bawah badan saya. Mau tak mau, saya menghangatkan badan di depan tungku yang biasa saya pakai untuk memasak kulit domba. Malam itu, saya benar-benar tidak menemukan gejala atau tanda-tanda apa pun selain desau risau angin di luar sana. Lebih-lebih, tanda macam apa yang harus saya ketahui malam itu?

Sungguh Tuan, saya tidak tahu perkara apa-apa. Saya hanya pembuat jaket dari kulit domba. Namun, Tuan, keesokan pagi, saya menemukan ini!

Tersangka menyerahkan barang bukti. 

Saya menemukannya di halaman belakang rumah. Saya tidak tahu benda itu miliki siapa. Lagi pula, untuk apa saya memilikinya? Apakah ini bisa menjadi barang bukti, Tuan?

***

Pengakuan Mishima Yudhio, Sipir Penjara (Terdakwa, Salah Tangkap)

Saya benar-benar tidak percaya bahwa pengadilan menjatuhi saya hukuman mati atas perbuatan yang tidak pernah saya lakukan. Percuma saya mengajukan gugatan. Hakim menutup telinga setelah Tuan Kawabata Shinode, penyidik kasus ini, menemukan bukti bahwa benda yang diberikan oleh salah seorang saksi adalah milik saya. Milik saya?! Padahal, saya bukanlah pelakunya meskipun saya juga kehilangan benda serupa—arloji saku—saat penyidikan itu berlangsung.

Saya hanya sipir penjara, tetapi bukan saya pelaku pembunuhan itu! Jujur! Saya berani mati! Itu yang saya katakan berkali-kali di depan Tuan Hakim saat dia bertanya. Ke mana Anda pergi malam itu?

Sungguh, pertanyaan itu benar-benar menyudutkan saya. Seharusnya Tuan Hakim lebih jeli lagi menggunakan kata-kata. Seharusnya dia bertanya, “Di mana Anda berada?”, bukan “Ke mana Anda pergi?”. Apakah dia tahu kalau saya pergi ke suatu tempat pada malam pembunuhan itu?

Namun, apa yang bisa saya lakukan jika Tuan Hakim telah memutuskan perkara dan bukti—jelas-jelas itu bukan kepunyaan saya—mengarah kepada saya? 

Saya mengakui bahwa arloji saku berkode polisi Harajuku—jenderal, polisi bintang satu hingga empat, dan sipir penjara memiliki arloji khusus itu—milik saya hilang pada waktu dan tempat yang saya sendiri tidak tahu. Namun, pada malam pembunuhan, saya ada di rumah. Kebetulan saya tidak punya tugas jaga malam di kantor polisi. Istri dan anak saya menjenguk kerabat saya yang sakit di Kyoto selama satu minggu. Saya tidak ikut sebab besok saya harus bekerja. Jadi, saya tinggal sendirian di rumah.

Saya tidak tahu arloji saya ada di mana. Yang saya ingat hanyalah seragam dinas milik saya ada di kantor polisi. Biasanya, saya meletakkan arloji saku kuning keemasan di kantong celana agar saya tidak kerepotan mencari-carinya sebab saya selalu membutuhkan arloji saat bekerja. Di luar itu, untuk apa saya pakai arloji?

Keesokan pagi, saya mendapat kabar dari kantor polisi bahwa terjadi pembunuhan di Stasiun Harajuku. Selang berapa hari, saya dituduh pengadilan sebagai pelakunya. Saya protes, tetapi sia-sia. Saya harus menghadap ke pengadilan. Gugatan saya selama persidangan tidak digubris Tuan Hakim. Saya mengajukan banding, tetapi ditolaknya.

Tuan Hakim berkata bahwa pengadilan tidak butuh bukti apa-apa lagi sebab, saat pemeriksaan, hanya arloji saku milik saya yang hilang. 

Mana mungkin masyarakat memiliki arloji berkode polisi Harajuku? Kata Tuan Hakim dalam persidangan. Bahkan, yang membuat saya tertegun, pengacara saya, Tuan Katsume-san, seperti orang linglung. Dia tidak membela saya dengan sungguh-sungguh.

Bukankah ini aneh, Tuan? Saya juga meminta pendapat pembaca, bukankah ini aneh? (Terdakwa menyedot ingus sembari menahan isak.)

Siapa pun, tolong saya!! Arloji saya memang hilang, tetapi saya bukan pelakunya. Saya bukan pelakunya!!

Terdakwa menangis tersedu-sedu.

***

Saksi Mata (Luput dari Penyidikan)

Saya bersimpati kepada Tuan Mishima Yudhio-san. Selama bekerja dengannya, dia tidak pernah berbuat buruk kepada saya, sipir baru. Namun, apa yang bisa saya lakukan? Jika saya bersuara dan menyatakan bahwa bukan Tuan Yudhio pelakunya, dia akan memecat saya dan keluarga saya terancam. Namun, saya tidak bisa untuk tidak menceritakannya walaupun ujung-ujungnya saya tetap tidak berani menyuarakan kebenaran.

Malam itu, salju belum reda. Saya berjaga di kantor polisi seorang diri sebab rekan saya, Watanabe, berhalangan hadir. Kebetulan Tuan Itodori-san ada di ruangannya.

Saya merasa bosan. Tidak ada teman bicara. Cara klise untuk menghilangkan kebosanan yang sering dilakukan para sipir adalah membaca koran atau mendengarkan radio. Namun, bagi saya, membaca koran atau mendengarkan radio tengah malam bukanlah ide bagus. Apalagi, pada musim salju, sinyal kadang tersendat-sendat.

Karena tidak ada yang saya lakukan, saya duduk di kursi, berteman sepi. Dingin menusuk kulit. Saya menenggak sake dan merapatkan mantel. Kantuk menyergap mata dan saya tertidur dalam posisi duduk sembari bersedekap. Hingga tiga dini hari, saya terbangun karena mendengar suara barang jatuh di ruang sipir.

Saya menuju ke sana. Saya melihat seseorang mencari-cari sesuatu di celana yang tergantung di pintu lemari. Lemari itu kepunyaan Tuan Yudhio. Orang itu mengambil arloji saku miliknya. Saya memerhatikannya dan bertanya-tanya dalam hati. Untuk apa dia melakukan itu?

Saat berbalik badan, dia terkejut mendapati saya memaku di tubir pintu. Matanya merah. Seperti kurang tidur atau memeram amarah. Dia mendekat kepada saya.

Tutup mulut! Atau kau akan kupecat dan keluargamu kubunuh!!

Saya tersentak. Apa maksudnya? Dia ingin memecat saya, bahkan membunuh keluarga saya karena melihatnya mencuri arloji saku? Saya kebingungan.

Jangan beri tahu siapa pun apa yang aku lakukan jika kau ingin selamat, anak muda!!

Lalu, dia meninggalkan saya yang masih dirajam pertanyaan-pertanyaan.

Saya baru menyadari tujuannya mencuri arloji selang beberapa hari pembunuhan itu, saat Tuan Penyidik memeriksa arloji milik seluruh pegawai di kantor ini. Hanya arloji saku milik Tuan Yudhio yang tidak ada. Kemudian, penyidik membawanya ke pengadilan.

Tuan Yudhio membela diri, tetapi arloji saku itu dan beberapa saksi (tersangka sebelumnya) menyudutkannya. Dia tidak bisa berkutik. Tuan Hakim menjatuhinya hukuman mati karena telah melakukan pembunuhan.

Saya teringat peristiwa pada malam itu, tepat tiga dini hari, ketika Tuan Penyidik memasuki ruang para sipir lalu mencuri arloji itu. Lantas dia meminta saya bungkam karena memergoki aksinya. Agaknya, dia melakukan semua ini begitu rapi dan tertata—bahkan saya meragukan integritas pengacara Tuan Yudhio-san.

Sekarang, saya bertanya kepada Tuan, pembaca budiman, apakah perbuatan saya salah? Apa yang harus saya lakukan?


Keterangan:
1. Sanpaku: Celana khusus di musim salju, mampu menahan dingin.
2. Tabi: Kaus kaki berbelah di bagian telunjuk dan jempol kaki.
3. Futon: Kasur tipis. Biasanya sehelai sebagai alas tubuh dan sehelai lainnya sebagai selimut.
4. Kotatsu: Alat pemanas bagian bawah tubuh. Panasnya timbul dari bara api.


Moh. Tsabit Husain, cerpenis dan santri di Pondok Pesantren Annuqayah Lubangsa, Sumenep, Madura, Jawa Timur. Bergiat di Lembaga Muara. Anggota Komunitas Cinta Nulis Lubangsa Selatan.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Para penulis bisa mengirim cerpen, puisi, dan esai seni serta budaya untuk Tempo lewat surat elektronik: [email protected] dan cc: [email protected]. Panjang cerpen maksimal 13.000 karakter. Kiriman puisi minimal lima judul. Panjang esai maksimal 6.000 karakter. Karya-karya tersebut belum pernah terbit di medium mana pun, termasuk media sosial. Lampirkan biodata singkat, alamat lengkap, kontak, dan nomor rekening. Waktu tunggu maksimal enam pekan.  

Moh. Tsabit Husain

Moh. Tsabit Husain

Moh. Tsabit Husain adalah cerpenis dan santri di Pondok Pesantren Annuqayah Lubangsa, Sumenep, Madura, Jawa Timur. Bergiat di Lembaga Muara. Anggota Komunitas Cinta Nulis Lubangsa Selatan.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus