Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Salib Tn. Sardino Luwung
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Miftah Fadhli
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
AKU dan suamiku mengundang Tn. Sardino Luwung ke rumah karena bunga wijaya kusuma kami akan mekar malam ini. Ia belum pernah melihat kembang wijaya kusuma, sementara bunga itu hanya mekar pada malam hari dan, punya kami, hanya terjadi setahun sekali. Jadi, ini adalah waktu yang tepat untuk meminta ia datang. Tn. Sardino Luwung akan berumur 85 tahun pekan ini. Jadi, ini juga semacam hadiah ulang tahun untuknya.
Tn. Sardino Luwung berteman dengan papa mertuaku sejak mereka bertemu di Pulau Buru. Setelah Orde Baru membebaskan semua tahanan politik, papa mertuaku menikah, sedangkan Tn. Sardino Luwung tidak. Jadi, suamiku telah mengenal Tn. Sardino Luwung sejak kecil. Begitupun kakak-kakaknya yang lain. Saat mereka masih tinggal di Waeapo, Tn. Sardino Luwung sering berkunjung ke rumah papa mertuaku dan membacakan puisi yang ditulisnya selama masa penahanan di hadapan anak-anak dan istrinya. Aku sendiri baru mengenal Tn. Sardino Luwung saat menikah dan sempat mendengarnya membacakan salah satu puisinya pada hari pernikahan kami. Ketika rumahnya digusur, buku catatan puisi-puisinya ikut lenyap. Mungkin telah menjadi bangkai atau terurai sebagai sampah mikro di dasar bendungan.
Aku dan suamiku tidak ingat persis bunyi puisi-puisi itu. Tn. Sardino Luwung pun sama tidak ingatnya. Ia hanya mengatakan bahwa dulu dirinya lebih banyak menulis puisi-puisi cinta selama di Buru. Tn. Sardino Luwung adalah seniman panggung dan beberapa kali tampil dalam acara-acara pentas kesenian yang diadakan Lekra. Ia sempat menyimpan beberapa foto saat pementasan sebelum ditangkap tentara. Sayangnya, ia tak bisa membawanya ikut ke Nusakambangan karena tentara membakar foto-foto itu. Aku sesungguhnya penasaran bagaimana Tn. Sardino Luwung di atas panggung. Dulu, saat pesta pernikahanku, ia membacakan puisinya dengan suara lirih dan ayunan tangan yang lembut—itu satu-satunya hal dari pembacaan puisinya yang bisa kuingat. Aku yakin Tn. Sardino Luwung adalah pria yang sama lembutnya ketika di atas panggung.
Ketika papa mertuaku meninggal karena masalah jantung, Tn. Sardino Luwung ikut menghadiri pemakamannya. Setelah rumahnya digusur, beberapa tahun setelah papa mertuaku meninggal, Tn. Sardino Luwung tinggal di panti wreda yang dikelola secara swadaya bagi orang-orang tua telantar dan sebatang kara. Kami cukup sering mengunjunginya di panti dan di sanalah kami boleh mendengar cerita-cerita Tn. Sardino Luwung selama menjadi tahanan di Pulau Buru. Papa mertuaku juga kadang-kadang cerita, walau tidak sesering Tn. Sardino Luwung. Meskipun begitu, suamiku masih ingat pecahan-pecahan cerita dari almarhum papanya: hutan eukaliptus, kerja paksa, Pantai Sanleko, dan daging anjing yang menjadi santapan para tapol.
Suamiku menjemput Tn. Sardino Luwung dari panti. Saat kami bertemu di rumah, ia menyambutku dengan tangannya dan senyumnya. Masih ciri khasnya: gerakan yang lembut dan suara yang lirih menanyakan, “Apa kabar?” Aku menjawab “baik-baik saja” sambil memeluknya erat. Ia mencium pipi dan keningku dengan ujung hidungnya.
Hari sudah sore saat Tn. Sardino Luwung tiba di rumah. Kami duduk-duduk di teras sambil memandangi pot wijaya kusuma yang membelakangi langit yang perlahan memerah. Tn. Sardino Luwung bercerita bahwa sebenarnya papa mertuaku adalah bocah cengeng. Suamiku hanya tersenyum mendengarnya.
“Berbeda dengan mamamu,” ucap Tn. Sardino Luwung kepada suamiku. “Ia perempuan Ambon yang keras hati dan nekat. Berani menikahi laki-laki Jawa pemakan orang! Ha-ha-ha,” katanya lagi diikuti tawa yang dalam. Aku dan suamiku ikut tertawa. Persis saat membaca puisinya dulu, tawa Tn. Sardino Luwung pun sama lirihnya, rapi, namun berjarak. Tawanya berhenti saat ia terbatuk-batuk. Aku menawarkan air putih, tapi ia menolak.
Dengan gerakan yang sangat pelan, Tn. Sardino Luwung meletakkan salib di dadanya sambil memejamkan mata. Aku dan suamiku saling berpandangan. Kami tidak pernah tahu kenapa ia melakukan hal itu tiap kali bercerita soal Maluku.
Kata Tn. Sardino Luwung, teman-temannya sesama tapol dulu sering mengantar orang pusat melihat wijaya kusuma mekar di satu pulau kecil di selatan Nusakambangan. Ia sendiri tidak pernah ikut mengantar, meski pernah beberapa kali melihat tanaman wijaya kusuma tanpa bunga tak jauh dari kamp. Sampai akhirnya tiba di Namlea pun, ia tak pernah punya kesempatan untuk mencium harum bunga wiku. Saat aku dan suamiku menikah, baru ada setangkai tanaman wiku di rumah kami, pemberian dari teman papa mertuaku. Saat mulai bertumbuh, kami memindahkan anakannya ke pot-pot lain dan menggantungnya di teras untuk menghalau sinar matahari sore.
“Arisanti, Arisanti,” Tn. Sardino Luwung tiba-tiba bergumam sambil berdehem seperti membersihkan tenggorokannya dari dahak.
Suamiku memandangku sebentar, namun aku cuma mengangkat bahu.
“Waktu Sita menerima Edi, papamu,” kenang Tn. Sardino Luwung kepada suamiku, “mukanya langsung merah dan matanya seperti ingin menangis.”
Sehari setelah pernikahan, kata Tn. Sardino Luwung lagi, mereka bertiga pergi ke Gunung Kencur untuk mengunjungi makam kawan-kawan lamanya. “Kami pesta sopi dengan Kayun, Mardiman, dan Sarpin,” ujarnya menyebutkan nama-nama.
Tn. Sardino Luwung, keluarga suamiku, dan beberapa orang tapol menetap di Waeapo, tapi pindah saat kerusuhan Ambon. Aku bertemu dengan suamiku beberapa tahun kemudian sebelum akhirnya menikah dengan pesta sederhana di rumah keluarga yang kami tempati hingga hari ini.
Di ujung ceritanya, Tn. Sardino Luwung memanggil-manggil nama mama mertuaku, tapi suamiku hanya membalasnya dengan mengusap-usap bahunya. Salib yang digenggamnya sejak tadi ia simpan di kantong kemejanya.
Belum pukul sembilan, Tn. Sardino Luwung tertidur di bangku teras. Aku ragu-ragu membangunkannya. Namun, karena udara semakin dingin, aku pun akhirnya membujuknya untuk tidur di kamar. Ia tertidur hingga keesokan paginya. Aku dan suamiku akhirnya menyaksikan bunga wijaya kusuma mekar tanpa Tn. Sardino Luwung.
Besoknya, sebelum mengantar Tn. Sardino Luwung kembali ke panti, aku memberikannya satu pot wiku muda untuk dibawa pulang. Tn. Sardino Luwung menerimanya dengan semringah sambil mengucapkan terima kasih lalu berkata, “Akan kuhadiahkan untuk Arisanti.” Aku dan suamiku kembali berpandangan, saling bertanya dengan gerakan mata, namun kami tidak mengatakannya kepada Tn. Sardino Luwung.
***
BUNGA wiku hanya mekar beberapa saat. Tengah malam mekarnya sempurna, namun keesokan paginya akan layu lalu mati. Beberapa hari sebelum terkena serangan jantung, papa mertuaku sering menyemprotkan air ke pot-pot wiku yang sedang berkuncup seolah-olah hendak memberi tahu agar kami merawat bunga-bunga itu sebaik dirinya. Ketika musim mekar, kami biasanya menghabiskan malam di teras sambil menunggu saat-saat wijaya kusuma mekar sempurna. Setelah papa mertuaku meninggal, kami tidak melakukannya sesering dulu. Sejak saat itu, wiku milik kami mungkin sudah berbunga berkali-kali.
Aku kadang-kadang mengunjungi Tn. Sardino Luwung di panti seorang diri. Sewaktu-waktu ia menanyakan kabar anak-anakku dan suamiku. Mendengar pertanyaan itu, aku hanya bisa tersenyum sambil menjelaskan—berulang kali—bahwa aku dan suamiku tidak memiliki anak. Tn. Sardino Luwung, berkali-kali juga, menanyakan alasannya. Aku hanya mengatakan bahwa memiliki anak akan sangat merepotkan. Sulit mencari pekerjaan dan belum tentu memiliki banyak teman. Aku dan suamiku tidak ingin menyaksikan anak-anak mengalami apa yang pernah kami alami.
Mendengar hal itu, Tn. Sardino Luwung hanya tertawa. Sambil terbatuk-batuk, tentu. Ia mengatakan bahwa papa mertuaku sangat berambisi memiliki banyak anak.
“Cucu-cucu Edi dan Sita, apa kabarnya kalau begitu?” tanyanya kemudian.
“Baik,” jawabku. “Sebagian masih bersekolah dan kuliah, sebagian bekerja di sana-sini.”
Sebagai anak bungsu, suamiku sadar betul bahwa ia harus mengambil pelajaran dari pengalaman kakak-kakaknya. Oleh karena itu, tidak memiliki anak bukan lagi soal pilihan, melainkan prinsip yang harus dijalankan.
Tn. Sardino Luwung mengangguk. “Mendidik diri kalian sendiri agar tidak menjadi sampah saja sudah sebuah keberanian,” ujarnya sambil menepuk-nepuk bahuku.
Ia mengatakan kerinduannya kepada papa dan mama mertuaku. “Sudah berapa lama, ya, aku tidak main ke rumah?”
Cukup lama, kataku. Aku bercerita soal bunga wiku papa mertuaku yang mulai berkuncup dan sebentar lagi mekar. Mendengar itu, Tn. Sardino Luwung langsung menyatakan keinginannya untuk menyaksikan wijaya kusuma yang mekar dan mencium aromanya. Awalnya aku berniat membawakan satu untuknya ke panti, namun ia menolak. Ia berkeras ingin melihatnya langsung di rumah sekalian berkunjung. Setelah kupikir masak-masak dan berkonsultasi dengan petugas yang merawat Tn. Sardino Luwung di panti, aku dan suamiku setuju mengundangnya ke rumah sekaligus merayakan ulang tahunnya.
***
AKU ingat mama mertua-lah yang pertama kali memanggil Tn. Sardino Luwung dengan sebutan kaka tuang. Setelah menikah dan berkeluarga, anak-anaknya memanggilnya dengan panggilan tuang saja. Awalnya aku memanggilnya dengan sebutan yang biasa saja, “Pak”. Namun suamiku dan kawan-kawan papa mertua kadang-kadang memanggilnya dengan sebutan tuang atau tuan dengan begitu akrab. Lama-lama aku pun mulai terbiasa memanggilnya demikian.
“Tuang Penyair!” kataku jika sedang menggoda Tn. Sardino Luwung.
Di antara beberapa tapol yang sempat menetap di Buru dan kemudian kembali ke Jawa, Tn. Sardino Luwung memang tergolong senior. Ia lebih dulu menginjak Namlea ketimbang papa mertuaku. Saat dibebaskan, Tn. Sardino Luwung memilih menetap bersama papa mertua untuk menggarap lahan di Waeapo. Kawan seangkatannya, Djoen dan Toer, langsung berlayar ke Surabaya setelah dibebaskan oleh Orde Baru. Kepadaku dan suamiku, Tn. Sardino Luwung menyatakan penyesalannya karena tidak bisa menghadiri pemakaman kedua sahabat tuanya itu. Oleh karena itu, ia membalasnya dengan menghadiri pemakaman papa mertua.
“Papamu itu,” kata Tn. Sardino Luwung kepada suamiku pada malam kami mengundangnya ke rumah, “masih ingusan ketika tiba di barak. Tapi ia pandai bermain ludruk. Dengan kelihaiannya bermain di atas panggung itu, kukira ia berhasil memikat Sita, mamamu.”
Tn. Sardino Luwung begitu ceria ketika bercerita tentang kawan-kawannya yang jatuh cinta dan menikah selepas dibebaskan.
Saat sedang menyemproti wijaya kusuma yang tak lagi berkuncup, panti wreda mengabarkan bahwa Tn. Sardino Luwung telah meninggal di ranjangnya. Aku dan suamiku langsung bergegas menuju panti. Kami membantu mengurusi upacara kebaktian dan pemakaman untuknya. Barang-barang peninggalan Tn. Sardino Luwung hanya pakaian dan pernak-pernik kecil serta sebuah buku catatan harian. Panti menyerahkannya kepada kami sebagai satu-satunya kerabat terdekat yang mereka tahu.
Dengan patah hati, aku mengemasi barang-barang Tn. Sardino Luwung ke dalam koper. Aku memeriksa buku catatannya dan membaca sebagian besar isinya. Kebanyakan adalah puisi, sisanya adalah catatan tentang berbagai hal. Di akhir halaman buku, terselip salib yang biasa dibawa Tn. Sardino Luwung ke mana-mana. Aku memperlihatkan salib Tn. Sardino Luwung kepada suamiku. Salib itu mungkin dibuat sendiri oleh Tn. Sardino Luwung dulu saat membabat hutan eukaliptus liar di Pulau Buru. Ia mengikatnya dengan tali rotan sehingga menjadi sebuah salib. Meski ikatannya sudah tidak kuat, salib eukaliptus milik Tn. Sardino Luwung masih kokoh digenggam. Pada sisi depannya tercantum sebuah tahun, 1969. Di sisi belakangnya terukir samar sebuah tulisan: Arisanti, cinta pertamaku.
Miftah Fadhli. Lahir pada Februari 1992. Lulus sebagai sarjana hukum, saat ini ia bekerja di sebuah lembaga swadaya masyarakat. Cerita-cerita pendeknya terbit di sejumlah media massa. Karya-karyanya juga terbit dalam bentuk antologi bersama, di antaranya Hampir Sebuah Metafora (2011) dan Nyanyian Kesetiaan (2012).
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo