Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Sama Sekali Tidak Ada Upaya Melegitimasi

27 Juli 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Suwarno Wisetrotomo dianggap tidak hati-hati menulis buku mengenai Hendra Gunawan yang dipromotori pialang saham yang kini terjun dalam bisnis lukisan, Agung Tobing. Ia menulis tanpa mengecek lebih dulu lukisan-lukisan Hendra yang bagaimana yang akan dimuat di dalam buku itu.

Suwarno mengakuinya. Tapi ia menolak bila ia dianggap, dengan tulisannya, melegitimasi lukisan Hendra Gunawan yang keasliannya diragukan. Wartawan Tempo Shinta Maharani menemui dosen Institut Seni Indonesia itu di rumahnya di kawasan Wonocatur, Banguntapan, Yogyakarta, 4 Juli lalu. Suwarno dengan santai menjawab semua pertanyaan.

Kenapa Anda tidak memeriksa dulu lukisan-lukisannya sebelum menyanggupi menulis?

Saat di awal ketika diajak menulis buku, saya sudah menyampaikan ke Pak Agung Tobing bahwa saya mendengar banyak karya Hendra yang diduga palsu beredar. Pak Agung mengiyakan. Tapi ia bilang yang paling tahu asli-palsu kan keluarganya. Bu Nuraeni waktu itu juga bilang, sebagai istri Hendra, dia yang paling tahu.

Anda percaya begitu saja?

Dengan adanya surat perjanjian antara Pak Agung dan keluarga Hendra, saya sebagai penulis tidak masuk ke karya dan berfokus ke biografi. Saya sama sekali tidak menyinggung lukisan yang ada di dalam buku. Keluargalah yang bertanggung jawab atas karya-karya yang ada di buku.

Anda menyimpan surat perjanjian bermeterai itu?

Kepada saya hanya ditunjukkan. Sayang, saya tidak menyimpannya.

Anda sama sekali tidak curiga terhadap lukisan-lukisan itu?

Kecurigaan ada. Ketika buku dalam proses desain, saya melihat foto lukisan. Saya terperangah. Saya bilang "yang bener aja ini" ke tim desainer buku dan asisten penulis, Zuliati. Tim punya perasaan yang sama. Tapi kami tidak bisa campur tangan karena ada batasan tadi. Posisi saya sebagai penulis memang dilematis.

Bila ada yang menuding Anda tidak hati-hati....

Sepintas saya tidak hati-hati dan serampangan. Saya tidak menolak tudingan orang bahwa saya tidak hati-hati. Tapi, sekali lagi, saya menerima tawaran menulis karena Hendra tokoh penting. Sejumlah teman baik telah mengingatkan agar saya berhati-hati ketika buku itu diproses. Ada saran dari teman baik agar saya menarik kembali tulisan itu.

Tanggapan Anda terhadap saran itu?

Saya berpikir keras ingin menarik tulisan itu. Tapi buku sudah hampir terbit. Saya tahu pasti ada polemik. Tapi saya berpikir semestinya tidak ada kesewenang-wenangan yang menjadikan saya tertuduh. Wong, tulisan saya terang-benderang tidak menganalisis karya. Bahkan, pada kata pengantar, saya tulis karya-karya lukisan yang muncul menjadi tanggung jawab keluarga.

Tapi, bagi beberapa orang, Anda dianggap memberikan legitimasi. Sebagai akademikus, secara tak langsung Anda memberi bobot ilmiah terhadap lukisan yang ada di dalam buku.

Sama sekali tidak ada upaya melegitimasi. Itu stigma serampangan. Saya protes keras tuduhan itu. Yang mana kalimat yang menunjukkan saya melegitimasi karya dalam buku? Tak ada satu pun. Orang yang tidak membaca buku itu mudah menstigma. Mereka menganggap saya bagian dari permainan, katakanlah ini dianggap sebagai sebuah permainan. Mana yang menunjukkan saya memberi bobot ilmiah? Tak sekali pun dalam pekerjaan di dunia seni rupa ini saya membenarkan yang palsu. Saya pertanggungjawabkan kebenarannya.

Siapa yang mengoleksi lukisan-lukisan di dalam buku itu?

Saya tidak tahu lukisan-lukisan itu milik siapa saja.

Lukisan yang mana milik Agung Tobing di dalam buku itu?

Saya tidak tahu persis yang mana lukisan koleksi Pak Agung. Tapi, menurut cerita Pak Agung, ada lukisan miliknya.

Sejak kapan Anda mengetahui Agung Tobing mengoleksi lukisan Hendra Gunawan? Pernahkah Anda melihat langsung?

Saya tak pernah melihat koleksi lukisan Hendra Gunawan milik Pak Agung. Disimpan di mana, saya tidak tahu.

Apa dampak yang Anda rasakan setelah buku itu dipersoalkan?

Saya ini korban. Ada seseorang yang meminta saya menulis sebuah buku, tapi kemudian dia membatalkannya gara-gara polemik buku Hendra ini.

Kami mendengar Anda sampai menangis gara-gara polemik ini.

Tidak sampai menangis. Bahwa saya sedih gara-gara mendapat stigma itu, iya. Saya tidak ingin menghancurkan reputasi yang saya bangun setapak demi setapak. Saya pengajar yang bertanggung jawab. Di kelas, misalnya, selalu saya sampaikan saya bukan ahli lukisan Hendra. Saya akan terus menulis. Setiap buku tentang maestro seni rupa selalu menimbulkan masalah. Itu terjadi pada buku-buku sebelumnya, yang mengulas Affandi dan buku tentang Hendra yang dimiliki Ciputra.

Kalau boleh tahu, berapa honor yang Anda peroleh dari menulis buku Hendra?

Saya meminjam istilah Butet Kertaradjasa bahwa honor itu aurat. Saya tidak nyaman memperbincangkan itu. Berapa sih honor penulis? Kalau saya dituduh menulis untuk mendapatkan uang dalam jumlah besar dan saya masuk ke permainan perdagangan lukisan palsu, itu menista saya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus