Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Nuraeni membolak-balik buku Hendra Gunawan Sang Pelukis Rakyat. Istri almarhum Hendra Gunawan yang di masa mudanya menjadi mayoret drum band Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) di Bandung itu kini berumur 68 tahun. Ia tampak segar. Ia mengaku puasanya pada Ramadan tak pernah putus. Ditemui di rumahnya di sebuah gang sempit di Bandung, ia menjelaskan lukisan-lukisan yang dimuat di buku itu.
"Insya Allah. Saya masih yakin seratus persen asli." Ia bangga terhadap buku tersebut. Menurut dia, buku itu merupakan bentuk penghormatan kepada suaminya, yang meninggal pada usia 65 tahun, 17 Juli 1983, di Bali. Ia menunjuk puisi-puisi dan surat-surat cinta Hendra Gunawan kepadanya yang dimuat di dalam buku itu. "Surat-surat yang selama ini hanya saya simpan."
Buku tersebut luks. Ada 239 repro lukisan Hendra, dengan rata-rata tertulis angka tahun 1969-1978, tahun-tahun ketika Hendra berada di penjara Kebon Waru, Bandung. Buku itu diterbitkan Agung Tobing, pialang saham dan kolektor lukisan. Acara peluncurannya di Grand Pasundan Convention Hotel, Bandung, pada Sabtu, 30 November 2013, cukup mewah. Buku tersebut memuat kata sambutan Menteri Koordinator Perekonomian saat itu, M. Hatta Rajasa. Juga sebuah artikel panjang dari akademikus Suwarno Wisetrotomo yang membahas biografi Hendra.
Buku yang tidak dijual di toko buku itu baru beredar tahun ini. Itu pun terbatas di beberapa balai lelang. Tapi pencinta seni yang bisa mendapatkannya banyak yang ragu terhadap lukisan Hendra yang dimuat di situ. Sekali pandang, bagi yang biasa melihat lukisan Hendra, terasa feeling tak enak. Penerbitan buku ini dianggap nekat. Belum reda masalah kontroversi lukisan palsu Hendra Gunawan dan Sudjojono di Museum Oei Hong Djien, kini muncul sebuah buku yang berani menyajikan "Hendra baru" dalam jumlah sangat banyak. Segera muncul dugaan buku itu ditujukan untuk penjualan lukisan. Apalagi lukisan Hendra sekarang berharga miliaran rupiah.
"Saya membeli buku ini Januari lalu di balai lelang Masterpiece. Harganya Rp 2,3 juta. Begitu melihat isinya, saya langsung curiga," kata Liong Hauw Ming, kolektor. Keluarga Ciputra pun kaget. "Kami terkejut melihat begitu banyaknya lukisan Hendra yang tidak pernah kami lihat di pasar atau diperlihatkan secara pribadi oleh Ibu Nuraeni selama ini kepada kami. Padahal ayah kami sangat dekat dengan keluarga Pak Hendra," ujar Rina, putri pengusaha Ciputra. Rina mengatakan, bersama ayahnya, berkali-kali ia ke Bandung bertemu dengan Nuraeni, tapi tidak ada lagi sisa lukisan Hendra.
Rina Ciputra ingat, pada 1988-1989, ia sedangkan gencar-gencarnya mengumpulkan lukisan Hendra untuk menambah koleksi, dan makin lama makin sulit. "Pernah ada karya Hendra yang belum selesai, disimpan Bu Nuraeni, masih 20-30 persen, itu pun kami beli." Yang ada di tangan Nuraeni seingat Rina adalah sketsa. "Mungkin ada 100-120 sketsa kecil-kecil, ukuran 4 x 5 sentimeter, 5 x 9 sentimeter, di kertas kalkir. Waktu itu Rp 4-5 juta. Saya beli 20 sketsa, semuanya Rp 100 juta," kata Rina. Yang jadi pertanyaan Rina, bila Nuraeni masih memiliki lukisan suaminya atau info tentang keberadaan lukisan suaminya, mengapa tidak menawarkannya kepada dia. "Buat apa ia capek-capek menawarkan sketsa, padahal waktu itu harga lukisan Hendra sudah lebih dari Rp 500 juta?"
Selama hampir setahun terjadi bisik-bisik mengenai "keganjilan" buku itu. Tidak ada artikel di media atau diskusi terbuka mengenainya. "Saya dengar ada yang sudah laku Rp 2,5 miliar," ujar Syakieb Sungkar, kolektor. Isu baru mencuat ke permukaan ketika pengamat seni rupa Agus Dermawan T. menulis di Tempo edisi 4-10 Mei 2015. Judulnya "The Forger dan Lukisan Hendra Imitasi". Ia secara terbuka menyatakan puluhan lukisan di buku itu palsu. Yang menarik, tak lama kemudian, Nuraeni membantah. Dalam surat pembaca yang dimuat majalah Tempo edisi 22-28 Juni 2015, Nuraeni menulis, "…kami hafal betul ciri dan kode-kode pada lukisan Hendra Gunawan, yang tidak bisa kami urai di sini. Tentunya keluarga lebih paham…."
"Kami berdua membuat konsep surat itu," kata Rosa Vistara, putra Hendra dari Karmini, istri pertama Hendra. Lelaki yang mengaku pernah kuliah dengar di Akademi Seni Rupa Indonesia dan seangkatan dengan Agus Dermawan itu menganggap penilaian Agus meleset. Agus sendiri secara cepat merespons tanggapan Nuraeni. Ia mengirim surat, yang dimuat di Tempo edisi 29 Juni-5 Juli 2015. Agus secara tegas tetap mengatakan buku itu menyesatkan sejarah seni rupa Indonesia. Dalam Tempo edisi 20-26 Juli 2015, muncul lagi surat pembaca seputar polemik ini. Kali ini, Jusuf Wanandi, pengusaha yang juga kolektor lukisan Hendra, mempertanyakan surat Nuraeni yang mengatakan pengumpulan lukisan di buku itu berdasarkan milik kolektor. Menurut Jusuf, dari semua kolektor lukisan Hendra Gunawan yang ia hubungi, antara lain Putra Masagung, Alexander Tedja, Haryanto Adikoesoemo, Frans Bambang Siswanto, Sutanto Joso, Budi Setiadharma, Tossin Himawan, dan Lisa Tirto Utomo, tak seorang pun merasa dikontak Nuraeni.
"Jumlah lukisan yang muncul tiba-tiba 239 itu sangat fantastis. Apalagi tertera ukurannya rata-rata 1,5 x 2 meter. Bahkan ada yang 2 x 5 meter. Itu gede sekali," kata Budi Setiadharma, salah satu kolektor yang disebut Jusuf. Menurut Presiden Komisaris Astra International itu, selain Ciputra, memang banyak yang cukup serius mengoleksi karya Hendra, meski jumlahnya tidak sebanyak milik Ciputra. Ia sendiri memiliki 15 karya Hendra. "Sesama kolektor, kami ketemu di tempat lelang. Saya sama sekali tak pernah melihat lukisan di buku itu beredar di lelang. Pertanyaan saya, buku ini diterbitkan untuk apa?"
Nuraeni tampak tak gusar oleh "gunjingan" di luaran sana. "Keluarga lebih tahu dari pengamat ataupun kolektor," ujarnya. Menurut dia, keluarga bertanggung jawab atas penyeleksian lukisan, sementara Agung Tobing atas pendanaan buku. Tapi Nuraeni tak tahu apakah seluruh uang penerbitan berasal dari Agung. Apakah kolektor lain yang lukisannya dimuat turut menyumbang? "Saya tak tahu," katanya. Agung, 52 tahun, ketika ditemui Tempo di rumahnya yang luas di kawasan Godean, Yogyakarta, mengatakan seratus persen ia yang mendanai penerbitan buku itu. Para pemilik lukisan yang menitip tidak kena pungutan biaya apa pun. "Buku itu saya cetak seribu eksemplar. Sebagian besar saya serahkan kepada Ibu Nuraeni. Saya tidak jual buku itu. Saya ambil sedikit buku sebagai koleksi untuk kebanggaan saja dan saya bagikan ke kolega dan partner di luar negeri," ujarnya.
Agung Tobing mengatakan keluarganya pencinta lukisan. "Orang tua saya punya pabrik rokok di Muntilan, Magelang. Namanya Motor Piet, tapi sudah tutup. Lukisan Hendra Gunawan milik saya sebagian saya dapatkan dari orang tua saya. Mereka dulu mendapatkannya dengan harga murah," kata pialang saham itu. Agung juga menjelaskan bahwa dia adalah sepupu jauh Oei Hong Djien. "Nenek saya dan nenek dr Oei Hong Djien kakak-adik."
Meski di buku itu namanya tercantum juga sebagai kurator, Agung menyangkal ikut menentukan lukisan Hendra yang masuk buku. "Semua saya serahkan kepada keluarga Hendra." Ia menganggap Nuraeni ahli. Pada 1968, saat berusia 21 tahun, lantaran aktif di Lekra Bandung, Nuraeni masuk penjara Kebon Waru. Hendra lebih dulu masuk, pada 1965, saat umurnya 47 tahun. Sebagai bekas Ketua Lekra Jawa Barat, Hendra mengenal Nuraeni. Mereka menikah di penjara. Hendra saat itu sudah memiliki istri, Karmini, dan tiga anak: Tresna Suryawan (almarhum), Rosa Vistara, dan Jingga Prakasa. Dengan Nuraeni, ia memiliki putra bernama Nurhendra, yang akrab dipanggil Dadang.
Kepada Tempo, Nuraeni mengatakan, di penjara, suaminya melukis "dua jenis": yang betul-betul berkualitas dan yang untuk makan. "Jujur, yang cepat itu dapuran alias untuk biaya hidup Ibu Karmini dan putra, juga saya yang sudah keluar penjara tahun 1972." Nuraeni mengaku mengenali beberapa lukisan yang ada di buku itu sebagai lukisan yang dulu dilihatnya di penjara. "Bapak royal. Teman-teman Bapak ketika keluar pun dikasih lukisan, buat biaya makan," ujarnya. Menurut Nuraeni, cara menggambar suaminya sampai menjejerkan lima kanvas. "Saking cepatnya Bapak mendapat ide, lukisan lain ditinggal, ganti kanvas baru," kata Rosa Vistara.
Rosa yakin masih ada ratusan bahkan seribu karya Hendra yang berpencaran di mana-mana. Keluarga Hendra sendiri pernah melacak lukisan Hendra. "Sejak 1995, saya mengecek ke Surabaya, Bali, bahkan Bima, ke orang-orang yang mengaku memilikinya," ujar Dadang, putra Nuraeni. Menurut Dadang, banyak yang tidak benar juga. "Saya juga sadar ada pemalsuan. Kami hanya mengumpulkan data. Katanya, kan, sampai seribu, tersebar sampai perkampungan. Pernah saya sampai ke Kalimantan, ada pengusaha batu bara yang punya karya Bapak."
Dadang bercerita, suatu kali ia ikut acara temu Pakorba—Paguyuban Korban Orde Baru—di Bandung. Di situ, ia bertemu dengan teman-teman lama Hendra yang memiliki info mengenai keberadaan lukisan Hendra. "Salah satunya ada yang rumahnya di Margahayu. Dia memiliki lukisan Bapak. Saya cek, benar asli. Lalu saya bantu jualkan." Rosa Vistara yakin, dalam hal pengamatan, keluarga memiliki kelebihan dibanding para pengamat. "Keluarga tahu kode-kode. Misalnya, apa bedanya periode Cirebon sama periode 1960-an. Saya yakin enggak ada yang tahu kecuali keluarga," kata Rosa.
Ia lalu sedikit menjelaskan. "Ini sebetulnya rahasia dapur," katanya. Hendra Gunawan pernah menikah dengan seorang perempuan Cirebon bernama Ijah. Perkawinan mereka singkat, 1963-1965. Selama kurun itu, Hendra sempat tinggal di desa Ijah di lereng Gunung Ciremai. "Rumah Bapak berada di lereng gunung. Dari situ, Bapak bisa melihat laut utara." Menurut Rosa, di Cirebon itulah untuk pertama kalinya Hendra melukis lanskap laut. "Jadi, bila ada lukisan sebelum tahun 1963 ada lautnya, pasti itu tak asli," ujarnya. Juga masalah palet. Dia mengaku tahu persis sejak kapan bapaknya menggunakan palet. "Saya kan juga pelukis. Saya dulu bawa palet ke penjara. Bapak lalu mencoba. Dia bilang, 'Tinggalkan di sini, enak pake palet'." Maka, menurut Rosa, bila ada lukisan Hendra memakai palet sebelum waktu yang ia ketahui itu, pasti palsu.
Namun, jika "teori-teori periodisasi" diterapkan untuk melihat lukisan-lukisan di buku, justru hal itu akan makin menunjukkan kejanggalan lukisan. Di buku itu, misalnya, banyak gambar barong dengan tarikh 1971. Barong adalah periode Bali, mengapa banyak dihasilkan di penjara? Dosen Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung, Aminudin T.H. Siregar, juga menganggapnya tak masuk akal. "Logikanya, Hendra Gunawan baru mengenal dan ke Bali setelah keluar dari penjara pada 1979. Apakah di penjara dia berkhayal soal Bali?" ujarnya.
Budi Setiadharma juga melihat kaburnya periodisasi lukisan di buku. "Justru di dalam buku itu perbedaan antarperiode tidak terlihat jelas. Periode sebelum 1965, periode penjara, periode Bali, semua dilukis serupa. Identik," katanya. Syakieb Sungkar idem dito. "Kalau Nuraeni berargumen bahwa ada lukisan Hendra periode Cirebon yang belum kita kenal, saya rasa itu adalah fiksi," ujarnya. Rina Ciputra lebih jauh melihat satu lukisan di buku itu bisa menggabungkan dua-tiga tema lukisan Hendra yang telah diketahui. "Tema lukisan dimontase dari tiga-empat lukisan Hendra yang berbeda."
Ulasan yang tajam datang dari Siont Teja alias Asyong, orang yang selama ini dalam dunia pasar seni rupa dikenal memiliki keahlian mencermati karya Hendra. Secara khusus ia menyoroti kejanggalan cara menggambar sosok perempuan bermulut monyong di buku. Periode perempuan monyong muncul ketika Hendra berada di dalam penjara. Hendra menggambar mulut monyong secara artistik, "Sementara perempuan monyong di buku, dari samping, monyongnya selalu seperti moncong anjing," kata Siont. Hendra dalam lukisannya sering menyajikan bersamaan beberapa wajah monyong. "Kalau Hendra, betapapun sama-sama monyong, wajah yang satu berbeda dengan yang lain, sementara lukisan di buku wajahnya sama."
Menurut Siont, spontanitas Hendra kuat. Cara ini membutuhkan keahlian tinggi yang tak bisa dicapai para pemalsu. Dalam melukiskan figur yang satu dan figur lain, misalnya, Hendra mampu memberi kesan tak dilukis satu per satu. Figur bisa berpadu sedemikian rupa sehingga terasa enak dilihat. Bidang-bidang pun saling menyambung dengan pas. "Sementara yang palsu, figur terasa dibikin satu per satu dan tak utuh. Kaku, tak luwes." Siont menambahkan, Hendra sangat menguasai anatomi. "Kalau menggambar kejelataan perempuan, ia mampu menampilkan kegemulaian tapi terasa kakinya memiliki tulang keras. Jatuhnya kain batik yang dikenakan enak, anatomis. Sedangkan lukisan di buku seenaknya. Kain batiknya digambar asal aja. Lekukan dan lepitan kain dan motif-motif seenak perut."
Para pemalsu, menurut Siont, juga sering gagal menyajikan kesatuan figur dan background. Pada lukisan Hendra, figur dan background senantiasa menyatu harmonis, sedangkan pada lukisan pemalsu berdiri sendiri. Kesan jarak jauh-dekat antara figur dan background sering disajikan Hendra lewat layer-layer warna yang berbeda. "Hal itu yang gagal disajikan pemalsu," ujar Siont. Soal warna, Siont melihat warna biru tua yang dipakai di hampir semua lukisan di buku bukan khas Hendra. "Hendra itu dominan menggunakan biru ultramarine (biru langit) atau cobalt blue yang lembut. Apalagi di penjara, warna lukisannya bersih-bersih. Sedangkan di buku lebih menggunakan Prussian blue yang gelap. Coba lihat warnanya, kotor dan jorok. Jelas kuas diusapkan ke bidang berkali-kali. Itu tidak dilakukan Hendra."
Tapi semua argumentasi tersebut dibantah keluarga dengan dalih merekalah yang menguasai kode-kode, yang sayangnya tak hendak dibocorkan. Beberapa kali Rosa keceplosan, tapi cepat dihentikan Nuraeni: Ssttt…. "Lukisan Bapak itu tidak ada patokan. Ada yang bilang figur semuanya flat tidak ada volumenya. Tidak begitu…," kata Rosa.
Di samping masalah teknis, kelemahan utamanya adalah provenance. Dalam buku Hendra Gunawan Sang Pelukis Rakyat itu tidak dicantumkan nama-nama pemilik lukisan. Nuraeni menutup-nutupi siapa pemilik lukisan. Agung Tobing juga tak mau membuka, bahkan menyebut yang mana lukisan miliknya di buku itu pun ia tak mau. "Punya saya di buku memang ada 10 buah, 8 milik saya dan 2 milik saudara saya, tapi mohon maaf tidak bisa saya sebut karena itu sudah kesepakatan antara saya dan Bu Nuraeni."
Aminudin T.H. Siregar mengatakan tidak dicantumkannya nama para pemilik lukisan pada buku merupakan hal yang tak lazim. Mengacu pada buku-buku katalog karya seniman di luar negeri yang pembuatannya melibatkan keluarga, nama-nama kolektor wajib dicantumkan. Penulisan nama kolektor bisa pada tiap lukisan miliknya. Tapi, jika kolektornya keberatan, namanya bisa ditulis bersama kolektor lain di halaman khusus pada buku. "Tujuannya supaya jelas pemiliknya siapa," ujar kurator seni tersebut. Kepada Tempo, Nuraeni menyatakan sanggup melihat keaslian hanya berdasarkan kiriman gambar foto atau berbentuk digital yang dikirim lewat surat elektronik. (Lihat wawancara Nuraeni.) Menurut Aminudin, idealnya, pihak keluarga Hendra Gunawan menyaksikannya langsung dan saat melihat seharusnya didampingi kurator serta sejarawan seni.
Kejanggalan lain, menurut Aminudin, adalah ukuran jumbo lukisan. Di dalam buku, pada banyak lukisan bertarikh 1971-1978 atau masa Hendra di penjara Kebon Waru, Bandung, dicantumkan ukuran panjangnya sampai 5 meter. "Itu mustahil," kata Aminudin. Tapi kesangsian demikian dibantah Rosa. "Bapak tidak kekurangan kanvas di penjara. Juga kanvas besar," ujarnya. Menurut Rosa, di penjara, Hendra selalu disuplai cat dan kanvas oleh Rudi Hap Ciang, pemilik toko alat tulis Antariksa di Jalan Asia-Afrika. "Rudi membawakan kanvas merek Talens yang mahal." Rosa mengakui, pada 1960-an jarang ada kanvas ukuran 2 meter, tapi Rudi Hap Ciang selalu memiliki stok. "Ukurannya 2,5 x 10 meter," Nuraeni menambahkan. Kanvas besar, menurut Nuraeni, juga sering dibawa psikiater penjara, dokter Lukas Mangindaan. "Dokter Mangindaan memberi Bapak kanvas "
Soal kanvas besar Hendra di penjara memang sering menjadi perdebatan. Beberapa tahun lalu, majalah Tempo menemui bintara pembina Polisi Militer Siliwangi yang pada 1969-1979 menjaga Hendra di penjara. Menurut kesaksiannya, jarang Hendra memiliki kanvas yang gede. Agus Dermawan pun cenderung menganggap cerita Nuraeni tak masuk akal. (Lihat wawancara Agus Dermawan T.) "Di mana logikanya keluarga Lembaga Kebudayaan Rakyat PKI bisa ngoyong-ngoyong lukisan dua atau tiga meteran ke luar penjara, setiap kali!"
Agung Tobing sendiri melihat perdebatan ini seperti politik. "Sudah enggak riil lagi." Ia tak kapok oleh kontroversi bukunya. Ia malah bermaksud menerbitkan lagi buku mengenai Hendra Gunawan. "Rencananya nanti kurator Mikke Susanto yang membuat. Mikke mau berbicara ke keluarga Hendra." Tapi Hatta Rajasa, yang memberi kata sambutan, kaget saat diberi tahu Tempo mengenai polemik ini. "Alamak…, saya hanya membantu Agung Tobing. Saya tidak perhatian terhadap karya-karya yang ada di dalamnya." Ketika ditanya apakah akan menarik kata sambutannya dalam buku itu, ia menjawab, "Wah, bingung juga. Semoga ini hanya kelalaian. Pemalsuan adalah tindak kejahatan berat. Moga-moga Pak Agung Tobing tak mempromosikan yang palsu."
Seno Joko Suyono, Dian Yuliastuti (Jakarta), Anwar Siswadi (Bandung), Shinta Maharani (Yogyakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo