Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HAMPIR rampungnya renegosiasi kontrak karya PT Freeport Indonesia patut disambut lega. Meski belum resmi menandatanganinya, perusahaan tambang tembaga dan emas asal Amerika Serikat itu sudah menyatakan bersedia tunduk pada ketentuan Undang-Undang Mineral dan Batu Bara Nomor 4 Tahun 2009.
Setelah perundingan alot selama hampir dua tahun, perubahan sikap ini menggembirakan. Sebelumnya, anak perusahaan Freeport McMoran Copper and Gold Inc itu selalu berkeras bahwa kontrak karyanya, yang diteken pemerintah Orde Baru pada 1971 dan diperpanjang pada 1991, tidak boleh diusik.
Melunaknya Freeport tentu tak lepas dari rencana bisnis jangka panjangnya. Seperti dijelaskan Presiden Direktur PT Freeport Indonesia Rozik B. Soetjipto, Freeport berencana mengembangkan tambang bawah tanah—salah satunya di area Grasberg yang selama ini digali secara terbuka—karena kandungan tembaga dan emas di lapisan atas sudah hampir habis. Untuk itu, Freeport sudah menyiapkan investasi senilai US$ 17 miliar. Tanpa perpanjangan kontrak setidaknya sampai 20 tahun ke depan, investasi dalam skala itu jelas bakal merugi.
Karena itulah Freeport berkepentingan meneruskan usahanya di Papua setelah kontraknya habis pada 2021. Di sinilah pemerintah harus lihai memainkan kartu. Selama ini, renegosiasi kontrak karya tak pernah dikaitkan dengan perpanjangan. Renegosiasi merupakan amanat UU Mineral dan Batu Bara yang dikuatkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2012. Perpanjangan kontrak biasanya dibahas terpisah.
Seperti yang terjadi di Inalum dan Blok Mahakam, pemerintah punya opsi tidak memperpanjang kontrak dan meminta badan usaha milik negara mengambil alih konsesi itu. Pembahasan renegosiasi dan perpanjangan kontrak karya secara bersamaan memungkinkan terjadinya tawar-menawar. Kesediaan Freeport memenuhi ketentuan UU Mineral dan Batu Bara, misalnya, tentu bakal lebih sulit jika pemerintah berkeras tak memperpanjang kontrak.
Freeport sudah merespons positif empat dari enam poin penting renegosiasi. Perusahaan ini siap mengurangi luas area yang dikuasainya—dari 200 ribu hektare lebih menjadi sedikit di atas 100 ribu hektare—membangun smelter, memurnikan seluruh hasil tambangnya sebelum diekspor, menambah pembayaran royalti, serta mengutamakan penggunaan barang dan jasa lokal. Namun sikap Freeport masih mengambang pada dua poin: perubahan jenis kontrak dan divestasi saham. Padahal dua poin itu paling krusial.
UU Mineral dan Batu Bara tidak lagi mengenal model kontrak karya yang menyejajarkan posisi pemerintah dan perusahaan asing. Kedudukan pemerintah kini lebih kuat. Perusahaan swasta harus memohon izin usaha pertambangan sebelum beroperasi. Soal divestasi juga tak kalah penting. Sesuai dengan peraturan, sepuluh tahun setelah izin diberikan, Freeport wajib mendivestasikan 51 persen sahamnya. Sekarang baru 9,36 persen saham Freeport yang ada di tangan pemerintah.
Ada gelagat pemerintah akan mundur selangkah soal ini. Direktorat Jenderal Mineral dan Batu Bara mengakui pemerintah hanya bakal menuntut divestasi 30 persen saham. Alasannya, jika menjadi pemegang saham minoritas, Freeport bisa-bisa batal mengucurkan investasi miliaran dolar. Dalam perundingan, negara harus diuntungkan, tapi keuntungan negara tentu tak bisa langgeng jika perusahaan swasta yang mengelola sumber daya alam itu justru merugi. Jika prinsip ini dipegang teguh, renegosiasi kontrak karya Freeport seharusnya segera rampung. Rakyat menunggu babak baru Freeport di Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo