Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sultan Agung Hanyokrokusumo menjadi raja bijak setelah kekalahan bertubi-tubi dalam penyerangannya ke Batavia. Ia menghidupkan lagi Padepokan Jejeran yang dahulu dipimpin Jejer (Dedy Sutomo). Sultan Agung (Ario Bayu) langsung turun memimpin dan mengajar menari, wayang, serta mengaji untuk anak-anak sekitar desa. Ini langkah spiritual untuk meredam gejolak kemarahan dan kesedihan atas kekalahan peperangan melawan VOC.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sultan Agung lahir di Kutagede, Kesultanan Mataram, pada 1593 dan wafat di Karta, Plered, Bantul, pada 1645. Sultan ketiga Kesultanan Mataram itu memerintah pada 1613-1645. Ia berhasil membawa Mataram menjadi kerajaan terbesar di Jawa dan Nusantara pada masanya. Pada 1975, Sultan Agung ditetapkan menjadi pahlawan nasional.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kala remaja, Sultan Agung bernama Raden Mas Rangsang (Marthino Lio). Ia menjadi raja setelah ayahnya, Panembahan Hanyokrowati, mangkat. Sultan Hanyokrowati tewas karena ulah sang permaisuri (Meriam Bellina). Ia menjadi raja yang disebut berhati ulama. Sempat menolak diangkat menjadi raja Mataram, akhirnya dia menerima mandat tersebut setelah mengetahui pengkhianatan sang permaisuri.
Sementara itu, Mas Rangsang, yang dibesarkan di Padepokan Ki Jejer, menjalin cinta dengan Lembayung (Putri Marino). Nah, kisah percintaan inilah yang ditonjolkan sebagai kekuatan cerita. Di tangan para penulis naskah, yakni Mooryati Soedibyo, Ifan Ismail, dan Bagas Pudjilaksono, kisah tokoh besar tanah Jawa ini menjadi kisah romantis. Kesan gagah dan heroik tokoh tanah Jawa ini terasa kurang menguar.
Hampir sepertiga cerita menonjolkan kisah cinta yang membuat penonton melankonis. Hanung Bramantyo, sang sutradara, memang jago memilin hati penonton dengan adegan percintaan yang menyentuh. Ia menggambarkan Mas Rangsang tak punya keberanian meneruskan percintaan dengan Lembayung dan menuruti perintah untuk menikahi putri Adipati Batang, yang kalem dan hanya dipajang sebagai pemantas.
Ini bertolak belakang dengan Lembayung yang kuat, tangguh, mandiri, dan pandai bertarung. Sementara Mas Rangsang menjadi Sultan yang berhadapan dengan para penguasa VOC yang mengajukan penawaran usaha.
Di sinilah daging cerita mulai digarap setelah kisah percintaan. Kemarahan Sultan Agung kepada VOC memuncak ketika ia mengetahui bahwa VOC tidak memenuhi perjanjian dagang dengan Mataram dengan membangun kantor dagang di Batavia. Dengan kata lain, VOC mengingkari janjinya. Selain itu, ia punya tugas menyatukan para adipati di Jawa yang tercerai-berai oleh politik VOC pimpinan Jan Pieterzoon Coen.
Perlawanan terhadap VOC dimulai dengan menggembleng ribuan rakyat, dikerahkan untuk menggempur Belanda melalui Pelabuhan Sunda Kelapa. Peperangan kolosal, lengkap dengan kapal-kapal yang lebih mirip perahu asal daratan Cina, disodorkan kepada penonton. Bedil, panah, dan senjata tradisional tetap dominan untuk bertempur. Padahal Sultan Agung sudah memerintahkan untuk membuat bedil dalam jumlah banyak. Porsi penggunaan senjata modern lebih banyak diperlihatkan pada latihan menembak.
Kekalahan para prajurit Mataram juga diwarnai pengkhianatan. Hanung menampilkan tokoh-tokoh telik sandi dan tokoh antah berantah lain, seperti Roro Utari (Asmara Abigail)-pelayan di kediaman Jan Pieterzoon Coen di Jayakarta. Ada pula cerita tentang keluarga Lembayung yang mulai dibangun sejak awal cerita, yang kehilangan kakaknya bernama Seto. Padahal bumbu cerita keluarga Lembayung ini justru menjadi kerikil yang mengganggu cerita.
Lalu, Lembayung yang perkasa itu pun bertemu dengan sang kakak yang telah menjadi begundal VOC. Pertemuan itu diwarnai tangis meraung-raung di tengah pertempuran dahsyat yang menelan banyak korban jiwa. DIAN YULIASTUTI
Sultan Agung: Tahta, Perjuangan dan Cinta
Sutradara
Hanung Bramantyo, X-Jo
Penulis naskah
Ifan Ismail, Bagas Pudjilaksono, Mooryati Soedibyo
Pemain
Ario Bayu, Adinia Wirasti, Marthino Lio, Putri Marino, Dedy Sutomo, Christine Hakim, T. Rifnu Wikana, Rukman Rosadi, Meriam Bellina, Lukman Sardi
Genre
Drama Action
Durasi
148 menit
Produksi
Mooryati Soedibyo Cinema
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo