Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Teror Sastra Horor

Cerita-cerita horor kita diwarnai oleh horor psikologis sampai menggali cerita hantu. Film horor tak mempengaruhi sastra.

 

28 April 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
(dari kiri) Peneliti Antropologi Korea Bae Dong Sun, Kepala Pusat Riset Manuskrip, Literatur, dan Tradisi Lisan BRIN Sastri Sunarti, Aktor dan Sastrawan Jose Rizal Manua, dan Sutradara Film Anggi Umbara saat menjadi pembicara dalam acara Bedah Buku “Sastra Horor” di Gedung Widya Graha BRIN, Jakarta, 23 April 2024. TEMPO/M Taufan Rengganis

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Sejumlah penulis horor menggunakan beragam pendekatan dan penggalian ide dalam berkarya.

  • Kenaikan jumlah peminat film horor tak sejalan dengan jumlah pembaca sastra horor. 

  • Dunia sastra masih saja dianggap sebagai dunia yang sepi. 

"EMOSI yang paling kuat adalah rasa takut, dan rasa takut yang paling kuat muncul dari sesuatu yang tidak kita ketahui." Itulah kalimat legendaris dari penulis horor kondang Howard Phillips Lovecraft (1890-1937) yang selalu diingat Intan Paramaditha.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Karena kalimat itu pula Intan lebih sering mengeksplorasi sisi gelap dalam hati manusia ketimbang sekadar memunculkan sosok hantu dalam setiap novel horor yang ia tulis sejak 2005. Menurut Intan, apa yang tidak diketahui manusia atas dirinya sendiri justru menjadi kengerian yang lebih menyiksa secara psikologis. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Intan adalah salah satu penulis cerita horor yang dikenal lewat beberapa karyanya, seperti kumpulan cerpen Sihir Perempuan (2005), antologi cerpen horor bersama Eka Kurniawan dan Ugoran Prasad berjudul Kumpulan Budak Setan (2010), Gentayangan: Pilih Sendiri Petualangan Sepatu Merahmu, hingga yang paling anyar novel Seribu Malam Jahanam (2023).

Tema horor memang sedang tren di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir. Salah satu yang paling mudah ditengok adalah banyaknya film horor yang terpampang di bioskop. Menariknya, selain film, cerita horor banyak diproduksi dalam bentuk novel dan cerpen. Bahkan tak sedikit karya novel horor dialihwahanakan menjadi sebuah film.

Buku kumpulan cerita pendek "Kumpulan Budak Setan" diluncurkan pada Rabu, 17 Februari 2010, di Komunitas Salihara, Jakarta. Buku itu berisi 12 cerpen karya Intan Paramaditha, Eka Kurniawan dan Ugoran Prasad setelah mereka menafsir kembali cerita horor popular karya Abdullah Harahap.

Sebagai penulis cerita horor, Intan sudah terbiasa menggunakan teknik penulisan yang detail dalam setiap karyanya. Ya, diperlukan sentuhan yang mumpuni untuk menjelaskan lengkap kengerian dalam setiap adegan cerita. Bagi dia, pembaca harus bisa melihat, merasakan, bahkan mencium situasi yang ada dalam ceritanya. 

Ia mencontohkan pada novel terbarunya, Malam Seribu Jahanam, ketika salah satu tokoh yang adiknya pelaku bom bunuh diri. Di kantor polisi, tokoh ini diminta mengidentifikasi mayat sang adik. Sebagai korban bom bunuh diri, sudah pasti jenazahnya tidak utuh lagi. 

"Saya gunakan padanan seperti bau daging yang terlalu lama disimpan di dalam kulkas. Memang butuh padanan yang tepat," kata Intan ketika dihubungi pada Jumat lalu. 

Namun tak selamanya sebuah adegan diceritakan lengkap oleh Intan dalam novelnya. Sebab, menurut dia, ada kalanya memunculkan kengerian cukup dengan meninggalkan sebuah adegan cerita begitu saja. Lubang yang tersisa di setiap cerita justru menimbulkan tanya dan penasaran berlebih. 

"Pada saat inilah pikiran pembaca akan mengisi sendiri lubang kosong," tutur perempuan 44 Tahun itu. 

Kecintaan Intan akan sastra horor sudah lahir sejak ia kecil. Saat itu ia mulai membaca buku dongeng luar negeri yang menceritakan legenda klasik. Seperti cerita tentang Putri Salju alias Snow Whites yang lebih utuh nan kejam. Dikisahkan pada buku dongeng itu, ibu tiri Putri Salju yang jahat dihukum dengan memakai sepatu besi panas.

Intan Paramaditha./Dok TEMPO/Dhemas Reviyanto

Bicara soal ide, Intan rupanya lebih sering menceritakan ulang dongeng dan legenda menyeramkan. Namun tak lupa Intan memasukkan berbagai bumbu politik dan gender dalam setiap kisah horor yang ia pilih. 

"Misalnya, kuntilanak. Mengapa dia harus dipaku kepalanya agar tenang? Apakah ini bermakna perempuan itu harus diperlakukan seperti itu agar menurut?" kata Intan.

Jika Intan lebih lihai memainkan psikologis pembaca, penulis novel Keluarga Tak Kasat Mata, Bonaventura Genta, lebih gemar mengajak pembaca menyelami hal-hal mistis lengkap dengan sejarahnya. Ya, dalam sejumlah karyanya, Genta memang kerap memakai hantu atau sosok gaib untuk menceritakan kejadian masa lalu atau yang menjadi musabab sebuah kejadian. 

"Horor itu luas, bisa bicara mitos, legenda, sampai konon katanya. Karena itu, kita perlu belajar tentang masa lalu," ujar Genta. 

Berbagai cara dilakukan Genta untuk menggali informasi sejarah tentang cerita dan mitos yang ingin ia tulis. Salah satunya dengan melakukan beberapa ritual tirakat bersama masyarakat yang percaya dengan mitos atau cerita tersebut.

Pengalaman mistis pun sudah sering ia alami saat mengumpulkan bahan cerita novelnya. Semula Genta skeptis menanggapi berbagai hal aneh selama bekerja menggali informasi. Namun pada titik tertentu ia merasa gangguan yang ia alami sudah berada di atas batas wajar. 

"Mungkin tema yang saya dalami terlalu sensitif, jadi banyak yang enggak suka. Paling aneh, ada saja ular yang muncul dari dalam rumah saya," kata Genta. 

Di tengah ingar-bingar film horor, Genta dan Intan sepakat sastra horor tak terlalu terpengaruh. Intan mengatakan kesuksesan film-film horor biasanya tidak diikuti oleh minat baca sastra horor. Kecuali jika ada buku yang diangkat menjadi film. Maka secara otomatis akan ada penonton yang tertarik untuk menikmati cerita versi tertulisnya. 

"Menurut saya, agak sulit tren di film berbanding lurus dengan sastra," Intan menambahkan.

Satu suara dengan Intan, Genta juga ragu jumlah pembaca novel misteri bakal mudah meningkat seperti pada tren kenaikan jumlah penonton film. Namun bukan berarti tak ada orang yang doyan membaca sastra horor pada era serba digital ini. 

Genta mengatakan, sebagai penulis, ia harus bisa menyesuaikan kondisi yang makin sulit. Sebab, saat ini persaingan dunia sastra horor makin kompleks. Ia bukan hanya bersaing dengan penulis lain, tapi juga bersaing dengan kebiasaan anak muda yang menjadi target pasar. 

"Selain hidup serba digital, anak muda makin skeptis, tidak percaya hantu. Jelas ini tantangan," tutur Genta.

Ketua Umum Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia (HISKI), Novi Anoegrajekti. TEMPO/M Taufan Rengganis

Ketua Umum Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia Novi Anoegrajekti juga pesimistis jumlah peminat sastra horor akan meningkat signifikan. Sebab, menurut Novi, sejak dulu dunia sastra adalah dunia yang sepi. Bahkan kesuksesan sebuah novel diadaptasi menjadi film tidak akan serta-merta menggenjot pembelian novelnya secara signifikan.  

"Banyak hal yang ikut memberikan pengaruh sebuah karya horor bakal laris manis," kata Novi.  

Novi mencontohkan novel Ayat-ayat Cinta yang sempat meledak dipengaruhi oleh banyaknya penonton di bioskop. Selain itu, dalamnya pengaruh Islam membuat novel ini dinarasikan sebagai hal yang menambah nilai religius. 

"Ya disayangkan, tapi saya yakin akan ada suatu masa bakal meledak juga."  

INDRA WIJAYA 

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus