Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Satu Wanita, Dua Lelaki

Aku tidak menduga bahwa ternyata ia tidak akan kembali lagi. Ia rela meninggalkanku bersama janin yang ia teteskan.

26 Mei 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ilustrasi: Tempo/Alvin Siregar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SAAT usia kehamilanku enam bulan, Bando meninggalkanku begitu saja di tenda darurat yang terbuat dari anyaman daun siwalan, tepat pada hari kedua saat kami menjelajahi hutan Kesong. Ia tak peduli tenda itu berada di lokasi berbahaya, di sebuah ceruk yang dirimbuni aneka pohon kekar dan semak belukar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pada suatu subuh, ketika bulan sabit tanggal tua terperam di ufuk timur, ia pamit untuk memburu rusa yang biasanya berkeliaran memamah rumput di tepi Danau Teyu yang tak jauh dari lokasi itu. Aku sangat bahagia mendengar kabar itu, sebab sudah lama lidah ini ngidam daging rusa bakar yang dipupur cabai merah dan pupuran sangrai kelapa.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Itulah sebabnya aku langsung mengiyakan Bando pergi tanpa berpikir panjang. Aku tidak menduga bahwa ternyata ia tidak akan kembali lagi. Ia rela meninggalkanku bersama janin yang ia teteskan. Kala itu aku bisa menahan amarah, sebab aku mengira Bando mungkin telah mati disantap harimau di tepi danau.

Aku baru sadar empat bulan kemudian, ternyata Bando masih hidup, aku melihatnya di Pasar Waton bersama seorang perempuan berambut keriting dengan pipi kenyal kemerahan dan bibir bawahnya kerap dilipat ke dalam. Seorang penjual sayur semakin meyakinkanku setelah kutanya dan ia menjawab bahwa lelaki itu adalah Bando, sedangkan perempuan yang selalu menggandeng tangannya itu adalah istrinya.

“Dasar! Huh!”

Kukepal tangan dan kutinjukan ke sebuah cagak di dekat penjual sayur hingga membuat orang-orang sejenak heran menatapku.

“Sebenarnya Bando itu siapa?” tanyaku kepada si penjual sayur. Ia sibuk memilah brokoli, sekadar menoleh kepadaku sembari tersenyum. Aku mengulangi pertanyaan itu sekali lagi. Hampir saja ia menjawab, tapi seketika pembeli berjubel membuat lelaki itu tak sempat menjawab.

Aku melinangkan air mata, mengelus perutku yang buncit seraya menatap Bando dari jauh, ia melesak kerumunan orang-orang bersama istrinya, lalu sosoknya menghilang di arah belokan yang lurus ke lapak penjual bunga. Saat itu aku bodoh, mestinya aku menemuinya, menjejalinya dengan pertanyaan-pertanyaan pedas dan memberinya bonus bogem mentah berkali-kali, dan itu kebodohan kedua kalinya setelah menanyakan perihal Bando kepada si penjual sayur, padahal aku tahu siapa dia; seorang pemburu yang sering merumuskan kehidupan ini dengan satu kata “gampang”.

Akunya lagi, ia adalah anak orang kaya yang sudah bosan dengan kemewahan yang diberikan orang tuanya hingga ia memilih berpetualang sambil memburu. Ya, aku percaya sekelumit riwayat hidupnya itu dulu, ketika kami baru berpacaran dan berpacaran dengannya adalah kebodohan terbesarku yang paling kubenci.

***

MULANYA aku puas setelah mengumumkan dan membuat warga dusun percaya bahwa aku dihamili Bando. Meski hal itu tetap memalukan, setidaknya menjadi sanksi tersendiri bagi Bando sehingga ia malu dan bisa mungkin juga bakal mendapat perlakuan tidak nyaman dari istrinya karena merasa dikhianati.

Kabar kehamilan di luar nikah—terlebih ketika lelaki yang menghamili tidak bertanggung jawab—memang seperti hujan belati yang setiap saat turun untuk melukai. Aku terus mengurung diri dalam kamar. Sepasang mataku selalu lembap mengucur butiran dingin. Mengelus perut yang semakin membuncit seperti mengelus takdir sendiri. Ibu selalu sabar mengantar makanan ke dalam kamar.

Aku seperti memasuki lorong waktu yang gelap dan menakutkan, hantu-hantu yang datang berasal dari perasaan diri sendiri. Sesekali sosok Bando berkelebat membuatku menjerit dan menutupi kepala dengan bantal atau kadang mengepal tangan dan meninjukannya ke tubir ranjang.

“Lelaki jahat, pendosa, penipu, perampok, maling,” lengkap bibirku mengutuk Bando. Tapi kemudian aku merasa, itu adalah kebodohan yang kesekian kali.

Andai ayah masih hidup, mungkin dialah yang akan mengurus semua ini hingga tuntas, tapi apalah daya, dia sudah pergi ke alam barzah semasih usiaku empat tahun. Ibu sebagai satu-satunya orang tua, hanya bisa berdoa dan pasrah pada apa yang telah terjadi. Ia seperti tak mau tahu pada gunjingan warga atas kehamilanku.

Meski tubuhnya sudah kendur dan keriput, dengan bantuan sebatang tongkat, ia senantiasa merawatku setiap hari; memasak, mencuci, menyapu, dan meracik jamu. Setiap pagi, sore, dan malam, ia tak pernah absen mengunjungi kamarku. Mengantar makanan dan jamu. Kadang mendongeng, menembang, atau memberiku nasihat.

“Usia kehamilanmu sudah delapan bulan. Kamu harus banyak berdoa dan makan yang bergizi. Pikiranmu harus tenang, jangan berpikir yang macam-macam. Kejadian ini memang sangat buruk, tapi anggap itu masa lalu yang harus dibuang dari ingatan. Lebih baik kita bergembira untuk menyambut kelahiran bayimu itu,” tangan ibu mengelus lembut rambutku mulai pangkal hingga ke ujung. Aku hanya menunduk, sebisa mungkin menahan air mata di balik pelupuk. Keadaan sejenak hening.

“Jika bayimu sudah lahir, tentu pekerjaan akan bertambah banyak. Kita butuh seorang lelaki untuk menuntaskan atau paling tidak meringankan pekerjaan itu,” lanjut ibu membuatku sedikit terkejut. Kutoleh wajahnya yang teduh dalam balutan kerudung biru.

“Kita butuh seorang lelaki? Maksud ibu bagaimana?” Aku penasaran pada apa yang baru saja ibu ucapkan. Ia hanya tersenyum dingin.

“Ya, kita butuh seorang lelaki.”

“Lalu, siapa lelaki yang ibu maksudkan itu?”

“Sirat.”

“Ha? Sirat?”

Aku menganga, menatap sepasang mata ibu yang bening sambil mengingat-ingat sosok Sirat.

“Sirat yang idiot itu, Bu?”

“Iya. Kenapa?”

“Lelaki idiot macam dia mana mungkin bisa meringankan pekerjaan kita, bisa jadi hanya menambah masalah, Bu.”

“Kamu jangan sok tahu. Lihat saja nanti,” jawab ibu singkat, membuatku sedikit khawatir. Aku menduga dengan kehadiran Sirat, serasa ibu membuat pintu baru bagi masuknya masalah. Pikiranku terus dibayang-bayangi oleh sosok Sirat, si perjaka tua yang sinting, yang sering melamun atau bernyanyi di depan pasar Gapura sesuka hati.

***

SEJAK anakku lahir dan Sirat membantu pekerjaan ibu di rumah, ternyata ia tak sesinting yang kubayangkan sebelumnya. Ia membantu pekerjaan keluargaku tanpa banyak interupsi dan tak pernah menanyakan upah. Wajahnya yang polos dengan tatap mata khas orang idiot mampu meremukkan kenangan burukku dengan Bando. Suaranya yang kekanak-kanakan kerap membuatku tersenyum, bahkan tertawa. Ia seolah-olah kiriman Tuhan sebagai sumber kebahagiaan keluargaku.

Saat anakku memasuki usia belasan bulan, ia mulai karib dengan Sirat. Ia sering tak mau makan jika tidak disuapi Sirat. Hanya mau lelap ketika dininabobokan Sirat. Sehari-hari ia sering bermain bersama Sirat dan ia akan sedih bila Sirat tidak datang ke rumah. Aku pun merasa senang dengan kehadiran Sirat, ia sering membantuku mencuci, berbelanja ke pasar, atau mengantarku menonton lomba pacuan kuda. Berduaan dengan Sirat tak memunculkan fitnah apa pun dari warga, sebab semua memahami bahwa Sirat itu idiot, sama seperti anak kecil, tak punya nafsu kepada lawan jenis.

Waktu terus berlalu, hingga tak terasa hampir dua tahun aku dan ibu hidup dengan Sirat. keberadaannya benar-benar mampu menghapus kenangan burukku dengan Bando. Saat tertidur di teras, aku sering mengamati wajahnya yang lugu, demikian damai dalam pejam dan dengkur. Aku menggeleng dan mengelus dada, betapa dia adalah manusia tanpa dosa, tercipta dengan cacat, tapi cacat itulah yang justru menabirinya dari segala dosa. Tak jarang aku memasangkan selimut kepadanya, laiknya aku mengayomi anakku sendiri.

Hari-hari bersama Sirat, membuat keluargaku tak ingin kehilangan dia. Aku sendiri merasa tak nyaman bila Sirat tidak ada di rumah. Aku selalu mengkhawatirkannya, mengasihinya, menyayanginya, bahkan merindukannya. Kadang aku bingung, jangan-jangan aku telah jatuh cinta kepadanya.

Saat anakku berumur tiga tahun, ibu meninggal. Luka kembali mendera hidupku. Saat-saat seperti itu, Sirat semakin kubutuhkan untuk membantu meringankan pekerjaan sekaligus menghiburku karena ia sering bertingkah polos dan lucu.

Suatu malam, sekitar sebulan dari meninggalnya ibu, aku terkejut saat malam-malam ada yang mengetuk pintu dari luar. Saat kutanya siapa, ternyata Sirat yang menjawab. Aku pun membuka pintu. Sirat nongol di depan pintu, wajahnya diterpa sinar merah redup lampu. Angin dingin berembus dari luar. Kami sama-sama tersenyum.

“Apa anakmu sudah tidur?” Tanyanya serius sembari melirik ke dalam.

“Iya, sudah tidur. Kenapa?” Tanyaku dengan suara lelah.

Ia melihat ke sana kemari, lalu masuk menggandeng lenganku dengan gerak yang lembut. Aku pun menuruti ke mana ia menarikku. Ia menuju kamar almarhum ibu. Masuk ke dalam dan mengunci pintu, aku penasaran gerangan apa yang hendak ia lakukan. Setelah menutup pintu, ia menarik lenganku kembali dan kami duduk di tubir ranjang.

Sebagai wanita dewasa yang sudah lama tidak disentuh lelaki, tentu aku berdebar dengan adegan Sirat itu. Tangan kanan Sirat memegang bahuku dan menariknya perlahan hingga wajahku dekat ke bibirnya. Malam sunyi dan dingin. Naluri kewanitaanku jadi bangkit dan Sirat yang idiot terlihat tampan dan gagah malam itu. Napasku mendengus agak liar.

“Ayo lebih dekat lagi,” ajaknya.

“Aku datang ke sini untuk meminta sesuatu milikmu yang menurutmu paling berharga dan rasanya enak tak ada duanya,” bisiknya di telinga.

“Maksudmu apa itu?” aku melirik wajahnya meski sebenarnya aku paham.

“Ya, aku juga tidak tahu itu apa,” jawabnya polos. Dia melepaskan bahuku dan membalikkan tubuhnya menghadap tembok.

Lho? Kan kamu yang minta seharusnya kamu tahu apa itu.”

“Aku tidak tahu, aku kan hanya disuruh Bando.”

Jawaban Sirat membuatku terkejut. Aku berdiri dan menatap tajam wajah Sirat dengan sedikit emosi.

“Jadi kamu disuruh Bando.”

“Iya.”

Saat emosiku memuncak, seketika pintu rumah dibobol dari luar. Beberapa warga masuk sambil membawa senjata tajam dan lampu senter.

“Mereka berdua telah berbuat mesum. Tangkap!” suara ketua RT begitu nyaring, membuat malam seperti tercabik petir. Di samping ketua RT, Bando tersenyum puas.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

MAKLUMAT

Para penulis bisa mengirimkan cerpen, puisi, dan esai seni-budaya untuk Tempo lewat email: [email protected] dan cc: [email protected]. Panjang cerpen maksimal 13.000 karakter. Kiriman puisi minimal lima judul. Panjang esai maksimal 6.000 karakter. Karya-karya tersebut belum pernah terbit di medium apa pun, seperti media, blog, hingga media sosial. Lampirkan biodata singkat, alamat lengkap, kontak, dan nomor rekening. Waktu tunggu maksimal enam pekan. Terima kasih.

 

 

A. Warits Rovi

A. Warits Rovi

A.Warits Rovi adalah penulis yang lahir di Sumenep, Madura, Jawa Timur, 20 Juli 1988. Karya-karyanya berupa cerpen, puisi, esai, dan artikel memenangkan beberapa sayembara dan dimuat di berbagai media massa.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus