Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pikiran para penganjur gerakan menarik simpanan dari bank jelas cupet. Mereka dibutakan oleh perseteruan menjelang pemilihan kepala daerah DKI Jakarta yang panas—melibatkan sentimen ras, agama, dan akhirnya juga merembet ke mana-mana hingga urusan perbankan. Agitasi itu sungguh konyol karena bisa memicu krisis keuangan.
Bisa dimengerti bila Menteri Keuangan Sri Mulyani amat marah terhadap munculnya propaganda sesat yang bertebaran di media sosial. Ia bahkan meminta polisi menangkap para provokator yang menghalalkan segala cara dalam berpolitik. Soalnya, bank merupakan sendi terpenting dalam sistem perekonomian. Kalau bank goyah, perekonomian akan mandek karena siklus investasi terhenti dan roda pembangunan tersendat.
Kita tentu masih ingat, kegagalan sistem perbankan pada 1997-1998 menyeret mundur perekonomian nasional hingga bertahun-tahun ke belakang. Bahkan sampai sekarang pertumbuhan ekonomi kita belum bisa menyamai kembali angka sebelum krisis, yang rata-rata di atas tujuh persen.
Di negara lain, kisruh di sistem perbankan juga gampang merusak perekonomian. Pada 2008, misalnya, skandal subprime mortgage di Amerika Serikat yang disusul pemindahan simpanan besar-besaran di bank memaksa perekonomian negara itu dan dunia tiarap selama bertahun-tahun.
Orang yang berpikiran waras tidak akan mempertaruhkan perekonomian negara dalam berpolitik. Apalagi rakyat kecil yang selalu menjadi korban pertama jika krisis ekonomi terjadi. Begitu laju perekonomian melambat, banyak pekerjaan yang hilang. Terjadi pemutusan hubungan kerja secara massal, dimulai dari kelompok paling bawah. Mereka yang baru masuk usia kerja akan sulit mendapatkan pekerjaan.
Masyarakat jangan mudah panik oleh propaganda keji demi kepentingan politik sesaat itu. Jika mendapatkan sebaran informasi di media sosial, lengkap dengan foto antrean panjang di bank atau anjungan tunai mandiri, sebaiknya diteliti dulu. Belum tentu itu benar. Akhir-akhir ini terlalu banyak kebohongan menyebar di media sosial.
Tak perlu khawatir bank-bank kita kehabisan duit. Otoritas keuangan sudah menegaskan bahwa kondisi perbankan kita saat ini baik-baik saja. Hingga akhir September lalu, rata-rata rasio kecukupan modal bank nasional sekitar 22,30 persen dan rasio kredit bermasalah masih di ambang aman, yakni 3,1 persen (gross) dan 1,4 persen (net). Cadangan devisa kita juga tinggi, US$ 115 miliar, cukup untuk membiayai impor dan membayar utang hingga delapan bulan mendatang.
Di banyak negara, krisis likuiditas perbankan berpotensi sistemik kalau ada pelarian simpanan milik nasabah besar ke luar negeri. Mereka bisa warga negara, bisa juga orang asing yang menaruh uang di salah satu bank negara lain. Deposan besar perbankan itu biasanya para rasionalis yang tidak mudah terpengaruh oleh propaganda konyol.
Hanya, agitasi di media sosial yang sudah menjurus ke arah merusak kepercayaan terhadap perbankan tetap tidak bisa dipandang enteng karena bisa memunculkan kepanikan masyarakat luas. Jika itu terjadi, perbankan bisa kewalahan dan akhirnya menimbulkan efek negatif secara berantai.
Itu sebabnya penegak hukum perlu mendengarkan keluhan Menteri Sri Mulyani. Jika seruan berbagai pihak agar menghentikan propaganda berbahaya itu masih tidak mempan, ada baiknya polisi bergerak mengusutnya. Tidak selayaknya provokator yang membahayakan perekonomian negara dibiarkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo