Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Seni Patung Yi Hwan-kwon

Pematung Korea Selatan, Yi Hwan-kwon, mengembangkan kesan monumental lewat pengamatan optis. Kini kecenderungan tersebut menjadi idiom khas pada karya-karyanya.

26 Mei 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni patung hanya bisa bergerak perlahan: sejengkal demi sejengkal. Sementara pelukis menyimpan gagasannya ke dalam sketsa di atas kertas, pematung mengawetkan gagasan pada sebuah model dari tanah liat atau bahan lainnya. Bentuk trimatra dan citra masif pada seni patung tentu saja menjadi beban tersendiri serta membuatnya tak bisa bergerak leluasa.

Apa boleh buat, ia tertinggal di belakang dibanding seni lukis yang notabene ilusif dan datar, bisa bergerak lincah secepat orang berlari atau secepat pelukis menggarap sketsa pada selembar kertas.

Wacana seni rupa kontemporer pada era 1960 yang terus memperbarui dirinya hingga kini dan ditemukannya pelbagai material baru dalam berkarya membawa perkembangan berarti pada seni patung. Di masa kini, para pematung tak lagi semata-mata bicara dari tradisi yang membentuk dirinya, tapi bisa bertolak dari pelbagai arah yang bahkan tak terduga sama sekali.

Para pematung bahkan melancarkan subversi ke dalam kawasan atau tradisi rinupa dwimatra. Material yang di masa sebelumnya dalam seni patung diyakini memiliki pesona memancarkan kekuatan dirinya, kini justru diredam dengan memasukkan unsur warna. Tradisi pahat yang hangat diganti dengan perkakas industri elektrik yang dingin dan kaku. Gejala baru ini memperluas cara pandang kita terhadap seni patung.

Dalam rangka pergeseran inilah karya-karya Yi Hwan-kwon, 34 tahun, pematung kontemporer Korea Selatan, kiranya dapat dipahami. Dalam pamerannya di Edwin’s Gallery yang berlangsung 10-22 Mei pekan lalu, Yi menampilkan 16 patung, sebagian merupakan karya seri. Dan di situ kita dibawa ke dalam sebuah pemandangan baru seni patung.

Pemandangan baru itu bertolak dari pengalaman Yi mengamati efek optis yang datang dari sudut pandang kamera dan dari utak-atik perangkat lunak photoshop. Efek tersebut kurang-lebih sama dengan ketika kita melihat bayang-bayang diri sendiri dalam air yang beriak. Efek optis serupa ini sebelumnya banyak dikembangkan terutama dalam seni lukis kontemporer Cina dan oleh Yi diterapkan dalam karya trimatra. Sampai di situ sesungguhnya tak ada sesuatu yang luar biasa. Yi hanya memindahkan sesuatu dari ruang ilusi ke ruang konkret. Kalaupun banyak orang terperangah melihat karya-karyanya, itu lebih disebabkan oleh keberaniannya memulai tradisi baru dalam seni patung.

Persoalan cukup berarti justru pada celah optis yang dapat dimanfaatkan oleh lulusan Department of Environmental Sculpture, College of Fine Art, Kyung Won University, itu untuk menghadirkan suasana monumental pada karya-karyanya. Umumnya, kesan monumental dalam seni patung dapat dicapai dengan membuat obyek dalam skala sangat besar. Cara lain adalah dengan melakukan pemiuhan pada sebuah obyek sebagaimana dilakukan Henry Moore pada karya-karyanya yang mencitrakan vitalitas.

Kesan monumentalitas yang dibangun Yi misalnya dapat kita lihat pada Becoming a Book. Karya berukuran 150 x 43 x 268 sentimeter dengan media campur itu menggambarkan sosok pria tengah duduk tekun membaca buku. Sosok kurang-lebih seukuran orang dewasa tersebut terkesan jauh lebih besar daripada kenyataan sesungguhnya.

Kesan itu terbangun karena terjadi pemiuhan pada bentuk tubuh yang pada bagian kaki dibuat lebih besar ketimbang bagian lain-lainnya. Di depan karya itu, tanpa disadari kita telah terbawa oleh pengalaman optis pematungnya. Seluruh karya Yi yang berangkat dari peristiwa sepele sehari-hari: suasana di halte bus; seorang anak sedang malas belajar; seseorang tengah membaca buku; serta orang-orang tengah berdiri, membungkuk, duduk, atau terbaring dengan botol minuman yang tergeletak di sampingnya.

Dan itu artinya, Yi dengan sadar memposisikan idiom tersebut sebagai posisi tawar karya-karyanya di tengah kancah seni rupa kontemporer internasional yang makin penuh persaingan gagasan.

Asikin Hasan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus