Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Risma Meredam Panas Sang Surya

Sebanyak apa pun ruang terbuka hijau di Surabaya tak akan memadai untuk menurunkan karbon monoksida. Wali Kota Risma menyiapkan alat baru untuk meredam panas kemarau nanti.

28 April 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hari masih pagi, Ahad dua pekan lalu. Tapi Markas Komando Resor Militer Bhaskara Jaya, Surabaya, ramai oleh anggota TNI Angkatan Darat dan jajaran satuan kerja perangkat daerah. Beberapa orang tampak masih mengantuk. Sekitar pukul 07.45, Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini datang dan memasuki ruang perjamuan. Selesai berbincang dengan pejabat TNI AD di lantai dua, Risma menaiki jip tentara. "Jik ngantuk, rek," katanya menyapa wartawan sembari tertawa. Pukul 09.00, mobil polisi, puluhan mobil jip, mobil dinas instansi pemerintah kota, dan beberapa ambulans berjalan beriringan.

Sepanjang jalan, arak-arakan yang dimulai dari Korem menuju Taman Surya melalui Jalan Ahmad Yani dan Darmo disambut pengguna jalan. Mereka melambaikan tangan kepada Risma sambil berteriak, "Bu Risma…, Bu Risma...." Ada juga yang mengambil foto. Risma hanya melambai dan tersenyum. "Salut sama Surabaya, sering banget dapat penghargaan," ujar Randi, warga Prambon, Sidoarjo, yang berada di rute arak-arakan.

Rombongan mengarak enam penghargaan untuk Surabaya dalam caturwulan pertama 2014. Di antaranya Socrates Award dari London, MDGs Award, Piagam Penghargaan Pengembangan Pelayanan Perpustakaan Umum, dan Penghargaan Award Persagi Jawa Timur. Penghargaan paling anyar adalah Socrates Award untuk kategori Future City atau Kota Masa Depan, kategori tertinggi untuk tingkat kota.

Menyisihkan 110 kota di seluruh dunia, Surabaya dinilai Europe Business Assembly, pemberi penghargaan, berhasil menangani berbagai masalah secara komprehensif. Indikatornya: intensitas banjir berkurang, kualitas udara membaik, sosial-pendidikan juga lebih baik, dan penanganan sosial dilakukan secara manusiawi.

Di antara deretan penghargaan itu, yang paling dirasakan penduduk dan pelancong dari luar kota adalah Surabaya yang lebih teduh dan sejuk. "Lebih manusiawi, sudah banyak pohon meski belum merata di seluruh kota," ujar V. Etty Rusiwiani, 52 tahun, pegawai swasta di Jakarta, Rabu pekan lalu.

Menurut Etty, pohon-pohon itu membuat lingkungan menjadi lebih adem. Tapi, "Karena kurang merata, hanya tempat tertentu yang adem," katanya. Etty menyarankan penghijauan merata hingga ke daerah-daerah yang lain, tak hanya di sekitar jalan protokol.

Hal serupa dirasakan Lulu Zain, 45 tahun, penduduk Tandes, Surabaya Barat. Surabaya dirasa sangat panas ketika musim kemarau. Namun, karena banyak pohon di hampir sepanjang jalan, suasana menjadi lebih teduh. "Penghijauan sangat membuat rasa panas itu menjadi gak sepiro," ujarnya. Sebaliknya, di kawasan pinggiran kota yang belum memadai penghijauannya, tetap terasa panas.

Hasil penelitian tugas akhir Fariz Rifqi Ihsan di Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Institut Teknologi Sepuluh Nopember pada 2012 menunjukkan ruang terbuka hijau (RTH) berpengaruh terhadap suhu udara rata-rata atau disebut urban heat island (UHI). Temperatur sebuah kota lebih hangat atau lebih panas dibanding kawasan pedesaan di sekitarnya. Temperatur malam lebih tinggi ketimbang siang hari. UHI disebabkan panas matahari yang disimpan oleh bangunan dengan bahan beton, aspal, dan atap berwarna gelap (impervious engineered surfaces) pada siang hari. Panas dilepas ke atmosfer pada malam hari.

Menurut Fariz, faktor-faktor yang berpengaruh pada suhu rata-rata di Surabaya adalah kerapatan tanaman dan jenis RTH. RTH dengan tanaman yang rapat menurunkan suhu udara. Sedangkan luas RTH tidak berpengaruh.

Penelitian serupa dilakukan Joni Hermana. Guru besar Fakultas Teknik Lingkungan ITS ini meneliti kemampuan RTH menyerap CO2. Hasilnya, Surabaya masih dianggap sebagai kota yang masih layak huni. Kualitas pencemaran udara Surabaya masih dalam kategori sedang. "Tidak berbahaya, tapi baik juga tidak. Baik mungkin hanya dua bulan dalam setahun. Tidak sehat mungkin hanya sepekan dalam setahun," kata Joni, Selasa pekan lalu, di kantornya.

Surabaya, menurut Joni, diuntungkan oleh lanskap yang mendatar sehingga lebih banyak tertiup angin. Penghijauan juga berpengaruh terhadap kenaikan atau penurunan suhu udara dan mengurangi emisi karbon. Meski begitu, RTH Surabaya masih belum memadai.

Luas RTH ditetapkan 20-30 persen dari luas kota. Jika luas Surabaya 32.636 hektare, RTH publik seharusnya sekitar 6.500 hektare. Faktanya, RTH Surabaya hanya 3.000 hektare, tak sampai 10 persen dengan perkiraan total emisi karbon monoksida 5.410.595,97 ton per tahun. Transportasi adalah penghasil emisi karbon monoksida terbesar.

Dengan kemampuan menyerap karbon monoksida 406 ton per hektare, diperlukan RTH 13.327 hektare. "Estimasi kecukupannya 22 persen dari yang seharusnya," ujar Joni. RTH minimal yang dibutuhkan adalah 333,2 hektare untuk menahan konsentrasi CO2 ambien permukaan. Ketinggian dan jenis pohon pun mempengaruhi daya serap terhadap karbon monoksida. Pohon trembesi, misalnya, menyerap karbon monoksida 28.443,39 kilogram per tahun.

Joni berpendapat, selama sistem transportasi tak diperbaiki, berapa pun luas RTH akan tetap kurang memadai untuk menyerap karbon monoksida. "Apalagi penduduknya cukup aktif," ujar anggota tim ahli perencanaan tata kota Surabaya ini.

Demi memenuhi kebutuhan RTH, Joni menyarankan pemerintah memberlakukan regulasi untuk penghijauan rumah. Area permukiman juga penghasil emisi yang besar. Kegiatan membakar sampah, misalnya, bisa menghasilkan karbon monoksida dan particulate matter (PM-10) sangat besar. Ketika bereaksi dengan sinar matahari, akan terkonversi menjadi polutan berbahaya di ground level atau kurang dari 10 kilometer lapisan udara.

Tapi Wali Kota punya cara dan rencana lain. Setiap hari sekitar 50 orang dari lima rayon kota menanam ratusan pohon. "Kalau jenis semak ribuan," ujar Risma kepada Tempo, Rabu pekan lalu, di ruang kerjanya.

Penanaman dilakukan dengan teknik berlapis. Bagian bawah ditanami semak atau tanaman pendek, bagian tengah dengan ketinggian sedang ditanami tanaman perdu. Terakhir, ditanami pohon. "Pohon pun ditempeli dengan tanaman rambat, anggrek, dan macam-macam. Supaya bisa nyerap karbon, panasnya turun, dan lebih cantik." Pohon yang ditanam pun diusahakan yang berbentuk kanopi lebar untuk mengurangi temperatur. Air mancur dibangun di beberapa wilayah agar cuaca lebih dingin.

Memasuki musim kemarau panjang, Risma menyiapkan inovasi baru untuk pengairan tanaman dan rekayasa cuaca. Di antaranya sprinkle dan embun buatan. Sprinkle dengan pompa berisi air beserta timer ditanam di bawah tanah. Sprinkle akan mengairi tanaman langsung ke batang pohon melalui akarnya saban beberapa jam. "Tahun ini mau saya tambah lagi embun buatan. Kayak kabut, biar lebih dingin," kata Risma.

Embun buatan adalah alat yang akan dipasang di tiang atau batang pohon bagian atas. Alat ini akan menyemprotkan air berukuran sangat lembut menyerupai kabut. Radiusnya mencapai dua-tiga meter. Penempatannya akan disesuaikan dengan kondisi jalan. Alat ini akan dipasang lebih rapat di jalan protokoler. Sedangkan di taman akan dipasang di titik pengunjung berkumpul. "Juga akan dipasang di pinggir-pinggir kota yang panas," ujar Risma.

Pemasangan sprinkle baru selesai di Bambu Runcing. Survei sedang dilakukan di Jalan Ahmad Yani, MERR, Mayor Jenderal Sungkono, Darmo, dan taman-taman aktif lainnya. Proyek ini ditargetkan siap sebelum kemarau.

Risma telah membongkar 13 pompa bensin untuk membangun taman tematik. Proses penghijauan ini semakin lancar dengan adanya hari bebas kendaraan bermotor atau car-free day saban Ahad. Car-free day kini ditetapkan di enam lokasi, yakni Jalan Darmo, Tunjungan, Kertajaya, Kembang Jepun, Jemursari, dan Jimerto.

Agar masyarakat mau berpartisipasi menghijaukan lingkungannya, Risma melombakan keindahan kampung. "Kami adakan lomba green and clean. Makanya sekarang banyak kampung yang asri."

Sejak menjadi Kepala Dinas Pertamanan, selain menanam pohon, dia mengecat ornamen kota dengan warna-warna cerah. Menurut dia, hal itu mempengaruhi kondisi emosional warga. Dulu warga lebih pemarah. Klakson kendaraan bersahutan terus-menerus. "Bawaannya pingin marah terus. Padahal dulu penduduknya lebih sedikit dibanding sekarang," kata Risma.

Endri Kurniawati, Agita Sukma Listyanti, Dewi Suci Rahayu

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus