DARI NEGARA INDONESIA TIMUR KE REPUBLIK INDONESIA SERIKAT Oleh: Ide Anak Agung Gde Agung Penerbit: Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1985, 848 halaman SALAH satu kekosongan dalam sejarah politik modern Indonesia adalah kurang diketahuinya proses politik yang terjadi pada "Negara Bagian", yang terbentuk setelah Konperensi Malino, 16 Juli 1946. Hal ini terjadi karena buku-buku sejarah politik yang ada, umumnya, meneliti revolusi yang terpusat di Jawa dan Sumatera saja, yang juga belum terungkap semuanya. Selama periode antara Perjanjian Linggarjati (1946) dan Pengakuan Kedaulatan (Desember 1949), wilayah yang relatif tidak mengalami pergolakan adalah Indonesia bagian Timur dan sebagian besar Pulau Kalimantan. Stabilitas tersebut akibat sulitnya medan, sehingga kegiatan gerilya terbatas. Misalnya, di Kalimantan Selatan dan Sulawesi Selatan, yang bergerilya hanya ALRI Divisi IV dan beberapa kelompok Tentara Ekspedisi dari Jawa. Wilayah selebihnya ditandai oleh suasana "aman" -- sangat berbeda dengan situasi penuh gejolak di Jawa dan Sumatera. Buku ini menonjolkan sisi lain dari ketenangan di Indonesia Timur itu. Yakni adanya suatu sistem politik yang dapat menyerap kekuatan-kekuatan pokok di wilayah tersebut, dan sangat fungsional sifatnya, sehingga memberikan perspektif baru, yang belum banyak diketahui selama ini. Menurut Anak Agung, Negara Indonesia Timur (NIT) merupakan satu-satunya negara bagian yang terbentuk dari rencana Gubernur Jenderal Van Mook (dan Belanda, umumnya) untuk mendirikan RIS, sejak Persetujuan Linggarjati. Anak Agung menyesalkan Van Mook, yang mengingkari janjinya dan membentuk begitu banyak negara bagian -- pada saat pembubaran RIS, Agustus 1950, terdapat 14 negara bagian -dengan tujuan menjepit Republik Indonesia. Padahal, rencana semula, hanya ada tiga negara bagian dari RIS, yakni Jawa, Sumatera, Kalimantan dan Timur Besar (NIT). Mengapa NIT bisa begitu fungsional selama eksistensinya, dari Desember 1946 sampai saat peleburannya ke dalam Negara Kesatuan RI, Agustus 1950? Buku ini memberikan jawaban. Pertama karena NIT lahir setelah operasi militer Belanda yang melahirkan Peristiwa Westerling di Sul-Sel dan Perang Puputan di Bali. Karena itu, selama 31/2 tahun, pemerintah NIT berjalan tanpa adanya persengketaan dengan tentara RI atau gerllyawan, seperti dialami banyak negara bagian di Jawa dan Sumatera. Kedua, NIT pada dasarnya merupakan satuan (entitas) politik yang sudah lama berfungsi, yakni sejak dibentuknya Provinsi Timur Besar, yang berpusat di Makassar, pada 1938. Dan, tokoh-tokoh yang masuk NIT adalah penguasa-penguasa lokal yang sama, dan telah bekerja sama sejak sebelum pendudukan Jepang. Tidak berlebihan jika Anak Agung menyebut NIT sebagai "negara bagian yang ideal dari sistem federal". Di NIT, dari unit politik yang ada, sekitar 75% adalah pemerintahan swapraja otonom yang terikat Perjanjian Pendek (113 buah) dan Perjanjian Panjang (hanya 3 kesultanan di Sumbawa) dengan Belanda. Unit-unit politik ini, umumnya, belum terikat secara faktual dengan pemerintahan RI di Yogya. Karena mobilitas geografis yang terbatas, rakyat di wilayah NIT tidak memiliki kesempatan melakukan perjuangan gerilya. Tapi, Anak Agung juga mengemukakan betapa pemerintah NIT mencakup spektrum politik yang sangat luas, mulai dari fraksi Nasional Progresif pimpinan Arnold Mononutu (dalam Negara Kesatuan RI, ia menjadi tokoh PNI) yang pro Republik, sampai tokoh seperti Mawaikere dari Minahasa, yang menginginkan daerahnya menjadi provinsi kedua belas dari Belanda. Di antara kedua ekstrem itu terdapat pemikiran "federalis murni", yang menginginkan NIT sebagai bagian dari RIS dengan hak-hak otonom -- sejalan dengan pemikiran Hatta dan Sjahrir, sebelum ide federalisme "dibajak" Van Mook. Kelompok "federalis murni" ini ditokohkan oleh tiga orang, yakni Tjokorde Gde Raka Soekowati (Presiden NIT Raja Tabanan dari Bali) Anak Agung Gde Agung (Perdana Menteri NIT Raja Gianyar dari Bali), dan Mohammad Kaharoedin (Ketua Parlemen NIT Sultan Sumbawa) yang menjadi "stabilisator" NIT selama usianya yang pendek itu. Kelompok lainnya adalah kaum "federalis ekstrem", yang menginginkan ikatan seminimal-minimalnya dengan Jakarta. Tokohnya, Soumokil dari Ambon. Ketika kelompok "federalis murni" bergabung ke RIS (Anak Agung menJadl Mendagri RIS, dan Kaharuddin anggota Senat RIS), maka kelompok "federalis ekstrem" merasa terasing di Makassar -- lalu dengan dukungan lebih dari 5.000 pasukan bekas KNIL, yang nasibnya juga belum jelas, memproklamasikan gerakan separatisme dan pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS) yang terkenal itu. Salah satu masalah yang diperdebatkan dalam buku ini adalah pandangan Anak Agung tentang Nadjamuddin Daeng Malewa, perdana menteri pertama NIT, yang hanya bertahan beberapa bulan. Anggapan pokok Anak Agung adalah, pemecatan Nadjamoeddin sebagai PM oleh Penjabat Presiden NIT Mohamad Kaharoedin sematamata disebabkan oleh penyalahgunaan tekstil Lebaran. Sedangkan teman-teman dekat Nadjamoeddin, seperti Manai Sophian dan Achmad Siala, mengajukan argumen politik. Mereka mengatakan, Nadjamuddin menjadi tak terkendali lagi dalam tuntutan politiknnya. Ketika Nadjamuddin dipecat, ia dan Soekowati sedang dalam perjalanan pulang dari New York setelah menghadiri perdebatan tentang Indonesia di PBB, khususnya tentang pelanggaran gencatan senjata oleh Belanda. Ia, setelah bertemu dengan Sjahrir dan wakil-wakil Indonesia di PBB, mulai meragukan kebijaksanaan Belanda, dan bahkan menuntut agar NIT diizinkan memiliki wakil-wakilnya di luar negeri. Kabarnya, Nadjamuddin termasuk kelompok "federalis murni", tapi dengan sifat kedaerahan Makassar yang sangat kuat. Ia sangat aktif dalam kegiatan perdagangan dan pelayaran -- bahkan merupakan Godfather pengusaha-pengusaha Makassar. Kegiatan bisnisnya sudah berlangsung sejak 1930-an, hingga kedudukan ekonominya cukup baik. Apalagi semasa pendudukan Jepang ia sempat menjadi wali kota pribumi pertama di Makassar. Dalam hubungan ini, kegiatannya di bidang tekstil Lebaran hanyalah bentuk baru dari sifat Godfather-nya (patron client), yang sudah melembaga di masyarakat Makassar. Kegiatan politik Nadjamuddin lebih tidak jelas dibandingkan kegiatan dagangnya. Pernah bergabung dengan PBI dari Dr. Sutomo pada 1930-an, ia kemudian mendirikan Partai Celebes Selatan -- yang mungkin partai regional pertama di Indonesia. Masuknya dalam NIT pun lebih merupakan suatu mukjizat sejarah, karena hampir semua bangsawan Sul-Sel sudah berpihak pada Arumpone, di bawah pimpinan Andi Mappanyukki yang berada di pihak Republik. Ditambah oleh kebijaksanaan Belanda menggantikan Mappanyukki dengan Andi Pabenteng sebagai Arumpone (padahal salah seorang anak Mappanyukki gugur dalam Peristiwa Westerling), maka masalah ini meningkat menjadi masalah adat harga diri (siri). Akibatnya, NIT ditandai oleh perwakilan yang periferal dari kaum bangsawan. Bugis-Makassar. Kekosongan itulah yang diisi Nadjamuddin Daeng Malewa, yang berdarah cam- puran Buton -- Makassar, dan yang memiliki jaringan luas di sepanjang pantai Sul-Sel berkat perdagangan kopra dan armada perahunya. Semasa menjadi PM NIT, sifat kedaerahan yang eksklusif dan intoleran dari Nadjamuddin makin terlihat. Dalam birokrasi yang demikian kecil, hal semacam itu menjadi sangat kentara. Demikian pula, fanatisme agamanya kurang memungkmkan kera sama dengan tokoh-tokoh lain dari wilayah NIT yang majemuk itu. Karena itu, ketika Nadjamuddin melakukan kesalahan politik dengan tindakan-tindakannya di New York dan Amsterdam, lawan-lawan politiknya segera bergerak. Tampaknya, "otak" penggulingan Nadjamuddin adalah Soumokil, yang menjabat menteri kehakiman, dibantu oleh Menteri Kesehatan Dr. Warouw dan Wakil Menteri Keuangan R.E.J. Matekohy. Penyelidikan-penyelidikan yang dilakukan tim Soumokil-Matekohy menyodorkan hal-hal yang menyudutkan Nadjamuddin. Akibatnya, untuk ketenangan politik, akhirnya Nadjamuddin diberhentikan oleh Penjabat Presiden NIT Kaharoedin. Tapi, pertentangan suku dan regional ini tidak berhenti ketika Warouw menggantikan Nadjamuddin sebagai PM. Manuver-manuver berikutnya menghasilkan naiknya Anak Agung sebagai PM, yang boleh dikatakan bertahan sampai ia masuk ke pemerintahan RIS di Jakarta. Soal lain yang diungkapkan buku ini adalah awal pemberontakan RMS pimpinan Soumokil, yang bersama Matekohy sudah merencanakannya dari Makassar. Di samping dorongan dari ide "federalisme ekstrem", hal ini juga disebabkan oleh ambisi Soumokil sendiri. Timbul pertanyaan: apakah pemberontakan RMS akan tetap terjadi, seandainya Soumokil "ketarik" ke pusat kekuasaan di Jakarta, dan tidak merasa terasing sendiri di Makassar pada saat pemerintahan NIT sudah dikuasai orang-orang Republik. Hal ini mengingatkan kita akan peranan sentral tokoh-tokoh seperti Nadjamuddin dan Dr. Soumokil yang belum banyak diteliti. Sebagai tokoh berpendidikan paling tinggi di antara rekan-rekannya di NIT, Soumokil ternyata selalu gagal mencapai kedudukan tertinggi, yang pada saat terakhir membuatnya sangat kecewa. Dalam suasana Makassar di awal 1950, yang sudah dipenuhi tentara-tentara Indonesia dari Jawa dan bekas geriIyawan Sul-Sel, bisa dibayangkan bahwa Soumokil menjadi tergiur untuk mencapai jabatan yang gagal diraihnya di NIT, yaitu perdana menteri, kendatipun dari RMS yang cepat tertumpas. Karena itu, dalam penelitian tentang tokoh-tokoh semacam Soumokil, kita hendaknya jangan melihat masalahnya secara sederhana, seperti juga kasus Nadjamuddin. Hal-hal itulah yang dapat kita ambil manfaatnya dari karya Anak Agung ini, yang walaupun tidak khusus memberikan pembahasan panjang (mungkin agar tidak menyinggung teman-temannya), datanya cukup kaya untuk menggambarkan intrik politik suku, daerah, dan regional pada masa NIT, yang juga berguna bagi kita kini. Burhan Magenda
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini