Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Sebuah Paket Sukses Bernama Sherina

Kini Sherina Munaf, sang anak ajaib, tampil di layar lebar sebagai dirinya sendiri. Akting yang bagus, musik yang cemerlang. Mampukah suatu hari dia berperan sebagai orang lain?

11 Juni 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PETUALANGAN SHERINA
sutradara:Riri Riza
Skenario:Jujur Prananto
Pemain:Sherina Munaf, Didi Petet, Mathias Muchus, Ratna Riantiarno, Derby Romero
Produksi:Miles Production
DI kiri-kanan jalan, ia melihat pohon-pohon karet dan pinus yang menjulang tinggi. Dia merasakan angin sejuk yang berembus melalui jendela mobil dan menyaksikan jalanan menanjak yang seolah menjanjikan petualangan yang menggairahkan. Tapi itu semua tak kunjung mengusir kegundahan hatinya karena perpisahan dengan teman-temannya di Jakarta.

Sherina, si kecil cerdik yang lincah itu, masih cemberut ketika sang ayah (Mathias Muchus), yang mendapat pekerjaan baru di Bandung, membujuknya sembari memperlihatkan tanaman-tanaman yang bagus. Bibirnya cemberut, monyong ke depan. Kejengkelan itu semakin parah ketika, di sekolahnya yang baru, Sherina dihadapi Sadam, biang kerok sekolah yang gemar mengganggu ketenteraman warga kelas empat. Sherina mengajak rekan-rekan barunya "melawan" sang jagoan. Dan yang lucu (ini memang betul lucu), ternyata sang jagoan adalah anak pasangan Ardiwilaga (dimainkan dengan baik oleh Didi Petet dan Ratna Riantiarno), yang sungguh mati memanjakan si Jagoan Sadam dengan panggilan "Yayang".

Lalu, di mana petualangannya? Tunggu dulu. Memang awalnya agak lamban. Film merambat perlahan masuk ke pokok persoalan. Bapak Ardiwilaga kebingungan melihat perkebunannya gagal panen terus; ayah Sherina yang agronom itu mencurigai ada "tangan manusia" yang melukainya. Sementara itu, konglomerat Kertarejasa, yang bernafsu membuat Pasundan Millenium Valley, ngebet membeli tanah perkebunan Ardiwilaga dengan cara apa pun. Sayangnya, Pak Ardiwilaga ogah menjual tanah itu. Maka, Sadam, sang Yayang, diculik. Dan di situlah petualangan dimulai. Tentu saja Sherina keluar sebagai pahlawan ala Home Alone Indonesia.

Bisa dibayangkan toh bagaimana Djadug Ferianto dengan karikatural memerankan Kertarejasa sembari ber-tango dengan Henidar Amroe? Lalu, Anda juga bisa membayangkan bagaimana komikalnya si Raja Monolog Butet Kertarejasa yang menjadi Pak Raden, kaki-tangan sang konglomerat yang menculik Sadam, yang kemudian "dikerjai" Sherina? Apalagi Pak Raden juga memiliki dua "tiga pengawal" yang super-blegug; sudah pasti bagian kejar-mengejar antara Sherina dan para penculik bego itu akan menjadi periode yang ger-geran untuk penonton anak-anak. Harus diakui, para penggarap film ini, meski menggunakan penyelesaian klise, dengan cerdik menggunakan Djadug-Butet untuk menjadi bagian "si jahat" yang lucu.

Sementara itu, Sherina (Munaf) memang seorang "anak ajaib", seorang prodigy yang tumbuh di tanah subur yang rajin diberi pupuk dan air oleh tangan-tangan yang tepat. Maka, tak sulit untuk membayangkan Sherina bisa sukses memerankan dirinya sendiri dalam film yang juga dikelola oleh tubuh dan otak yang sangat intim dengan dunia musik dan film. Karena diinspirasikan oleh kehadiran Sherina sang penyanyi, film ini kemudian disebut sebagai "film musikal". Tapi ini bukan persoalan mudah. Meski Sherina adalah penyanyi andal, Elfa Secioria juga pencipta lagu yang oke punya, serta duo Mira Lesmana-Riri Riza juga bukan muka baru di dunia sinema, tidak berarti segalanya jadi beres. Membuat film musikal bukan berarti asal memasang-masang musik dan lagu pada setiap momen yang asoi seperti film India.

Patokan film musikal dalam dunia sinema tentu saja film klasik seperti Mary Poppins karya Robert Stevenson atau The Sound of Music karya Robert Wise. Di masa lalu, Teguh Karya pernah berupaya "memaksa" Ninik L. Karim dan Nurul Arifin bernyanyi melalui Pacar Ketinggalan Kereta. Sebelumnya lagi, ada sukses film operet Titiek Puspa, Bawang Putih, yang menampilkan Tanti Josepha dan Broery Pesolima. Dan jangan lupakan pula film Chicha karya Edward Pesta Sirait, yang mempesona bukan hanya karena akting cemerlang Chicha Koeswoyo—juga muncul sebagai prodigy seperti Sherina—dan Irwan Sumadi, yang kebetulan juga berperan sebagai "jagoan". Tapi musik yang masuk sebagai bagian integratif dari cerita—hingga menggunakan lagu dan lirik sebagai dialog—mungkin baru berhasil tampil dalam Bawang Putih. Film "musikal" lainnya, termasuk Petualangan Sherina, apa boleh buat, masih mempergunakan musik sebagai ilustrasi alias pendukung cerita belaka.

Tapi itu bukan persoalan besar, apalagi musik dalam film ini tetap menarik, enak di telinga (dan apalagi sudah dikenal karena kasetnya sudah meluncur beberapa pekan sebelum film dimulai). Visualisasi cemerlang; penyuntingan agak gelagapan, dan koreografi tari anak-anak agak lemah.

Toh, secara keseluruhan, produksi ini adalah paket sukses jauh sebelum diluncurkan karena Sherina (dan bukan Joshua, lo)—berikut Riri Riza dan Mira Lesmana—memang sebuah jaminan mutu.

Leila S. Chudori

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus