Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hiburan

Ber-'Jam Session' di Beranda Hotel

11 Juni 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KURSI-kursi The Bar belum penuh terisi ketika Monica Crosby melantunkan Stormy Monday—sebuah nomor
jazz standard—yang menghangatkan malam. Sambil mengitari panggung, ia menyapa penonton dari meja ke meja, diiringi gitar Kiboud Maulana dan denting piano. Sesekali Kiboud memamerkan glissando—meluncurkan jari tangan sepanjang tuts atau senar dan menghasilkan percepatan irama—yang memanaskan suasana. Monica Crosby menimpali dengan improvisasi scat singing: menyanyi sembari bergumam, yang dipopulerkan legenda jazz Louis Amstrong. Penonton mengetuk-ngetukkan kaki. Mereka mengikuti langkah sang penyanyi dengan tepukan tangan dan memberinya sebuah aplaus panjang yang menggemuruh bersamaan dengan nada terakhir Stormy Monday.

Penampilan Crosby, penyanyi jazz asal Amerika, yang memikat, mengawali malam pertama The 1st Regent Jazz Festival. Kemudian, muncul vokalis jazz Alice Day, yang di tempat kelahirannya di Florida, AS, dijuluki "The First Lady of Jazz". Bersama Crosby, Alice Day berduet membawakan satu nomor American jazz: You'd Be So Nice to Come Home. Pada malam kedua, Day muncul lagi, "berduet" dengan Bubi Chen dalam sesi Bubi Meets Alice. Tapi malam itu sepenuhnya milik Om Bubi—begitu ia biasa disapa.

Bubi mendominasi panggung dengan dentingan piano yang menggelitik hati dan kuping. Penonton terpaku menyaksikan permainan sang maestro, yang beberapa tahun absen dari panggung. Penyakit diabetes yang menggerogoti tubuh berusia 62 tahun itu tidak menjadi halangan. Alice Day, yang kurang berhasil membangun komunikasi dengan penonton, dilibas oleh kecemerlangan Bubi Chen.

Ia memanaskan hawa malam dengan repertoar Ratu Sejagat berirama swing, yang pas betul untuk berdansa. Pengunjung The Bar (kedai minum The Regent), yang membeludak hingga ke lobi, seolah disetrum entakan-entakan irama synthesizer serta gitar yang dimainkan Bubi. Di sana-sini, ia kembali mempercepat irama dengan memainkan glissando. Aksinya dibalas penonton dengan tepuk tangan meriah. "Dia masih yang terbaik di negeri ini," ujar Klaus, 45 tahun, ekspatriat asal Jerman, yang malam itu hadir khusus untuk menyaksikan Bubi Chen.

Selepas Bubi, Ireng Maulana memainkan Polkadots and Moonbeans, lalu All the Things You Are. Musik mengalun di tengah denting gelas minuman dan kepulan asap rokok dalam keremangan khas pertunjukan jazz.

Panggung pertunjukan jazz itu sendiri relatif sederhana, didesain untuk sebuah jam session. Berawal pada Rabu malam pekan lalu, festival dengan biaya sekitar Rp 70 juta ini berlangsung selama empat hari. Acara puncak berlangsung pada Sabtu malam—menyajikan aneka jam session—di beranda The Regent. Musisi Indra Lesmana dan vokalis Syaharani yang jelita turut meramaikan malam ini.

Hampir seluruh garda depan jazz Indonesia hadir dalam acara itu: Bubi Chen, Bill Saragih, Suwelleh bersaudara, Jacky Pattiselano, Margie Segers, Ireng dan Kiboud Maulana, Karim Tess, Idang Rasjidi, serta sejumlah musisi lain. Monica Crosby dan Alice Day mewakili artis musik jazz Amerika.

Pertunjukan musik sebetulnya mudah ditemukan di berbagai hotel berbintang. Namun, sajian kali ini punya nuansa istimewa: menggelar festival jazz dari bar hingga lobi hotel selama beberapa hari—jenis acara hotel yang baru pertama kali digelar di jajaran hotel berbintang di Indonesia. "Kami ingin meniru Hilton Jazz Festival di New York, yang dimulai dari bar dan lobi hotel. Jika kontinu, kita akan sebesar mereka juga, suatu saat," ujar Ireng Maulana.

Ireng, yang pernah terlibat dalam berbagai pertunjukan jazz, tahu benar bahwa tidak mudah menggelar sebuah musik jazz. Jakarta Jazz Festival (Jakjazz), misalnya, boleh disebut sukses jika penonton yang menjadi ukuran. Pada 1997, festival ini menghabiskan dana Rp 2,6 miliar. Acara ini diikuti 250 artis penyanyi berikut 45 band dari dalam dan luar negeri. Tiket yang diborong mencapai hampir 25 ribu—untuk menonton permainan Lee Ritenour, Bob James, Casiopea, Chick Corea, serta berbagai musisi kelas dunia lainnya—dan masih menyisakan untung bagi panitia.

Ironisnya, jumlah penonton tidak identik dengan majunya jazz di Tanah Air. Lihat saja! Sudah dua tahun Jakjazz sekarat. Dan tahun ini, festival akbar itu belum tentu jadi. Lalu musisinya? Masih didominasi old crack macam Bubi Chen ataupun Maulana bersaudara. Soal vokalis, setelah generasi Margie "Senior" Segers, Vonny Sumlang, dan Ermy Kulit, baru ada nama Syaharani dan Andien—orbitan terbaru Elfa Secoria, yang amat berbakat, berusia 15 tahun.

Akhirnya, musik jazz hanya terbonsai di bar hotel atau kafe sambil sesekali tampil di festival. Bandingkan dengan gemuruh musik pop, yang menghasilkan puluhan grup dan ratusan ribu kopi rekaman saban tahun. Musik pop atawa rock juga lebih menarik hati para ABG—anak baru gede—dibandingkan dengan jazz, yang "susah dan serius".Alhasil, band yang sudah berkibar semacam Karimata dan Krakatau, yang pernah tampil di North Sea Jazz, hanya sayup-sayup terdengar. Dan jangan coba mencari album barunya di toko kaset. Bahkan, album jazz terbaru, What a Wonderful World-nya Syaharani, hanya laku di bawah 50 ribu keping. Beberapa musisi jazz berbakat seperti Dewa Budjana dan Cendy Luntungan lebih memilih ngepop ketimbang ngejazz. Begitu pula para kampiun seperti Elfa Secoria dan Abadi Soesman.

Faktor bisnis memang banyak berperan dalam pergeseran jazz ke pop—sebuah fenomena industri musik yang tidak hanya melanda Indonesia. Selain itu, Ireng Maulana menyebutkan, stagnasi jazz di Indonesia terjadi karena inkonsistensi karya dan ketiadaan sistem yang bagus. "Setiap musisi jalan sendiri, sehingga tak ada pertemuan akbar untuk menguji kemajuan bermain. Pada 1960-an, kita sudah punya pojok jazz di TVRI, tapi hilang begitu saja," ujarnya.

Sementara itu, mengandalkan perkembangan jazz pada segelintir filantrop jazz seperti Peter Gontha tentu bukan pula jalan keluar. Artinya? Mereka yang masih bertahan memainkan jazz layak kecewa. Ini bukan berarti tak ada sama sekali titik cerah. Bubi Chen, misalnya, melihat munculnya generasi baru yang memainkan jazz etnis seperti Pra B. (Krakatau), Syaharani, dan Andien sebagai pertanda positif. "Jazz di Indonesia tidak mandek begitu saja," ujarnya.

Memperbanyak tampil juga akan meningkatkan kemampuan dan apresiasi masyarakat terhadap jazz—seperti yang berlangsung di The Regent, pekan lalu. Para musisi jazz memang tidak punya banyak pilihan untuk menggiring penonton ke depan panggung—kecuali terus-menerus memainkan musik itu sendiri. Seperti yang diperlihatkan (almarhum) Jack Lesmana, Bubi Chen, Bill Saragih, Maulana Bersaudara, Idang Rasjidi, atau Jacky Pattiselano. Ini hanya sebagian nama yang tetap setia memainkan jazz. Dan mereka tetap dikenal di tengah deru industri pop yang gegap-gempita.

Hermien Y. Kleden dan I G.G. Maha Adi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus