Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Wajahnya mirip sosok the man with no name. Ia tidak menyeret peti mati, tapi membawa sebuah bas gitar. Itulah Kyle Eastwood, anak Clint Eastwood. Parasnya mirip masa muda ayahnya ketika memerankan koboi pemburu hadiah yang dingin seperti dalam film For Few Dollars More itu. ”Eastwood junior”, itu agaknya menempuh karier lain, bukan sebagai ”pembunuh bayaran” tapi musisi jazz.
Tepat pukul 9 malam ia naik ke panggung Java Jazz.
”Berikutnya lagu Marrakech, inspirasinya dari sebuah kota di Maroko…,” katanya. Lalu ia mengambil sebuah cello bas dan menggeseknya. Musik bernuansa magribi. Pertunjukannya ber-tepatan waktu dengan penampilan raksasa jazz Sergio Mendez di ruang lain.
Java Jazz dianggap sukses mendatangkan para godfather, juga wajah-wajah baru dalam blantika jazz dunia. Riza Arshad, musisi jazz kita, melihat Java Jazz kini menancapkan diri sebagai festival jazz terbesar di Asia. Sebagai bandingannya, pada November tahun lalu di Manila telah terselenggara Manila Jazz Festival. Pada Maret nanti di Dubai akan berlangsung Dubai International Jazz Festival. Selanjutnya pada Mei menyusul Malaysia menggelar Mini International Jazz Festival.
”Dari semua itu yang paling heboh adalah Java Jazz Festival,” kata dedengkot ”Simak Dialog” ini. Bahkan, menurut dia, komunitas musisi jazz Singapura pun merasa tertampar (baca: kecolongan). Juga Australia. Saat ber-kunjung ke Australia, Riza bertemu dengan musisi jazz Australia Cameron Undy. Ia termasuk aktivis festival musik jazz di Benua Kanguru. ”Di Australia saja tak ada festival sebesar itu,” kata Cameron seperti ditirukan Riza.
Sekiranya ”kawan-kawan” di Australia itu tahu bagaimana antusiasnya para penggemar jazz kita melantai bersama legenda hidup Sergio Mendes yang menampilkan bosanova dengan denyut keliaran metropolitan, tentu mereka makin ”cemburu”.
”Inilah ritme Rio de Janerio. Ritme Karnaval,” ujar Mendes. Lalu di antara lagu-lagunya tiba-tiba seorang perkusionis Mendes meloncat ke panggung jumpalitan memeragakan capoirea. Adalah menggetarkan bagaimana menyaksikan tiga ribuan penonton kita bersama duta besar Brasil untuk samba itu melantunkan lagu termasyhur Mas Que Nada: aria raio, Oba oba oba... Mas que nada, Sai da minha frente.…
Juga ketika mereka mengikuti beat energetik dari Level 42, kelompok fusion dari London yang sangat terpengaruh Chick Corea dan Herbie Hancock. Dipimpin basis Mark King yang terkenal maestro teknik slapping (memukul senar dengan ibu jari diikuti jari telunjuk memetik senar) Level 42 memborbadir penonton kita dengan hit lama seperti Running in the Family sampai lagu-lagu terbaru dari album Retroglide. Melodi yang bernas membuat badan seakan dipaksa bergoyang. Mark King pun tertawa riang: ”Kalian berhasil membuat orang jazz makin percaya datang kemari….”
Ya, Java Jazz kali ini memang tak hanya kedatangan para tamu populer, tapi juga ”macan gaek” seperti John Scofield, Ronn Carter, Harvey Mason. Ron Carter, misalnya, adalah salah satu basis legendaris yang telah terlibat penggarapan lebih dari 2.500 album dengan tonggak-tonggak musisi jazz. Juga Flora Purim, bersama Airto Moreira datang ke Jakarta. Pada 1971 Purim adalah biduanita yang turut membantu Stan Getz, Chick Corea, dan Joe Farell, membentuk grup legendaris Return to Forever. Tapi ketika Chick Corea lebih memilih jalan elektrik, ia keluar, menempuh ”jalan konvensional”.
Dan hari itu Scoffield menunjukkan kelasnya. Ia sering disebut sebagai salah satu gitaris jazz terbaik masa kini, di samping Pat Metheny. Ia dikenal sebagai seorang penjelajah yang mengeksplorasi rock, fusion, post-bop, dan soul yang dekat dengan blues. Dan seperti dipertunjukkannya malam itu, ia bahkan tak tabu bermain dengan tambahan iringan sampling komputer.
Jazz yang ditampilkannya berwatak garang. Tapi style-nya unik. Terkadang menggunakan teknik picking, sehingga menimbulkan harmoni yang menjerit. Atau, menggesek senar dengan pick. Tak pelak timbul suara kasar dari senar bernada rendah. Ketika membawakan melodi yang cepat yang berbelit-belit, Scofield sering melakukan tapping memukul senar gitar dengan jari telunjuknya….
Walhasil, Java Jazz kali ini lumayan lebih beragam dibanding tahun lalu. Tahun lalu Java Jazz didominasi oleh seksi bras atau tiup. Kini penonton bisa menyimak acid jazz sampai yang bernada hip-hop. Untuk bosanova, misalnya, ada perspektif lain dari Lisa Ono. Kita tahu masyarakat imigran Jepang banyak terdapat di Brasil. Dan Lisa adalah wanita berdarah Jepang yang tumbuh dan besar di sana.
Atau bila ingin balada-balada jazz, duduklah dan dengarkan dengan nyaman bagaimana sembari bermain piano Diane Schuur melantunkan tembang dengan nuansa keperihan blues yang kuat. Suaranya seperti merintih saat ia menyanyikan: When October goes… I should be over it now… I know, it doesn’t matter much. How old I grow. I hate to see October go. Akan halnya bila ingin nada-nada dinamik bauran antara funk hip hop, disko, ikutilah Chaka Kan. Kekuatan vokalnya memberi kita penjelasan bagaimana dahulu Whitney Houston pun pernah menjadi salah satu penyanyi latarnya.
Sementara Omar Sosa, pianis asal Kuba yang tinggal di Carolina Utara, menyuguhkan perkawinan antara swing dan musik spiritual Yoruba Afro-Kuba. Banyak musisi jazz Kuba selama ini menganggap bahwa jazz yang identik dengan kebebasan tidak bisa hidup di Kuba dan lalu mereka eksil. Sosa dianggap sebagai jagoan terbaru generasi migran ini.
Yang juga menggembirakan adalah bagaimana aktifnya sejumlah kedutaan berpartisipasi dalam Java Jazz kali ini. British Council membantu kehadiran Dennis Rollins, Instituto Italiano Di Cultura mensponsori kedatangan Raphael Gualazzi dan Chiara Civello, Centre Culturel Francais Jakarta bekerja sama dengan Korean Art Council mendukung penampilan Youn Sun Nah.
Bila Java Jazz tahun lalu ada acara bertajuk Mollucan Night yang menghadirkan musisi-musisi kita berdarah Maluku, mulai yang senior: Margie Segers sampai Ruth Sahanaya, Andre Hehanusa, Daniel Shahuleka, kini atas bantuan Erasmus Huis datang jazzer anak-anak Belanda keturunan Maluku. Maurice Rugebregt, gitaris lulusan Konservatori Rotterdam, salah satunya, menyuguhkan sebuah eksplorasi berjudul Sioh Maluku yang kebanyakan bertolak dari lagu Maluku.
”Bertahun-tahun hidup bersama…, saat ini ribut agama…,” lantun Julia Loko, vokalis keturunan Ambon yang ayahnya menjadi anggota angkatan laut Belanda. Tampak adanya kerinduan yang sangat akan tanah asal: Ambon manise. Juga grup fusion Djanecy—yang kedelapan anggotanya berdarah Maluku. Saat menyanyi sebuah lagu Maluku yang diolah secara smooth jazz. Danjil Tuhemena, anak muda berambut panjang, motor Djanecy itu, matanya agak berkaca-kaca. ”Maaf, saya agak sedikit emosional….”
Java Jazz kali ini memang lebih banyak menampilkan musisi luar. Untuk mendatangkan tamu-tamu ini, terdengar bahwa terjadi pemotongan honor musisi dalam negeri sebesar 40 persen. Itu membuat beberapa musisi kita keberatan. Hal ini diakui oleh Eki Puradiredja, Program Coordinator Java Jazz. Namun toh tak ada musisi kita yang kemudian mogok main. ”Kita minta mereka gotong-royong…,” katanya.
Dan hari terakhir sebagai penutup adalah Jammie Cullum. Inilah bintang masa kini. Inilah pianis dengan wajah tanpa dosa. Tiket Rp 800 ribu pun laris. Penampilan Cullum bisa memberikan Java Jazz ”sidik jari” sebagai festival antargenerasi. Yang tua-tua, Watanabe, Mendes, Diana Schuur, Chaka Kan, ternyata masih karismatis. Yang muda tampil dengan segar .
Itulah pentingnya sebuah festival. Semua khazanah bisa tertampung. Dan bagi Mark King keragaman ini memukau. Bahwa Indonesia yang belakangan ini bertubi-tubi dihajar banjir dan gempa mampu menyelenggarakan sebuah festival yang menurut dia cukup besar, baginya itu ”jazzy” sekali. ”Java Jazz tahun ini seimbang dengan Montreaux Jazz Festival”. Begitu pendapatnya.
Seno Joko Suyono, Andi Dewanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo