Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perkusi sahut-menyahut, rapi, ritmis, dan menggedor. Ratusan anak-anak bergerak serempak memukul berbagai instrumen dan musik pun mengalir dengan permainan tempo, dinamika, keras-lunaknya nada. Semua bergerak tanpa melodi. Ya, sampai akhirnya saksofon nimbrung, membawakan nada-nada di antara tetabuhan itu.
Tampil bersama 200-an anak itu, laki-laki tua pemain saksofon ini tampak bahagia sekali. Saking girangnya ia melompat-lompat dan tertawa. Tak ada jarak antargenerasi kakek dengan cucunya, tak ada jarak antarbenua. Anak-anak itu ikut memekik mengangkat-angkat pria tua ini; beberapa anak berpelukan, menangis. ”Inilah puncak karier saya yang sangat luar biasa,” ujar laki-laki itu.
Ia Sadao Watanabe, pendekar saksofon kelahiran Utsunomiya, Jepang. Umurnya kini sudah 74 tahun. Dimulai pada usia 18 tahun, sejak pindah ke Tokyo, ia bersentuhan dengan musik. Ia sangat tertarik pada saksofon. Sejak itulah, 56 tahun perjalanan hidupnya diisi dengan meniup saksofon. Ia telah merasakan suka-duka kehidupan jazz. Dalam perjalanan sepanjang itu, apa yang sangat berarti dalam hidupnya?
Tiba-tiba, ia justru menemukan kembali arti kebahagiaan sebagai musisi jazz ketika membuat musik bersama ratusan anak berusia di bawah 15 tahun dari berbagai ras, suku, dan agama.
Pertama kali acara yang menampilkan 200 anak bermain perkusi ini muncul di Expo 2005 Aichi, Jepang, dalam acara bertajuk Share The World. Permainan ini direkam dan disebarnya ke seluruh dunia sebagai pesan perdamaian. Dalam rekaman yang sempat diputar dalam konferensi pers Januari lalu, terlihat anak-anak beda ras melupakan perbedaan. Mereka tak saling memahami bahasa satu sama lain, kata Sadao, tapi musik menyatukan semuanya. Ini yang menjadi syarat utama Sadao bersedia main di Java Jazz. ”Saya mau datang, asal ada acara untuk anak-anak,” ia menegaskan.
Pementasan di Java Jazz ini, alhasil, menjadi pentas besar keduanya bersama anak-anak. Pentas yang diberi nama Children Are the Future membuatnya memboyong 30-an anak didiknya dari Jepang ke Jakarta untuk berkolaborasi dengan 75 siswa-siswa Dwiki Dharmawan dan 90 vokal anak murid Elfa Seciora. Untuk anak-anak ini, Sadao lebih mengutamakan ritme yang benar, selanjutnya melodi akan menyusul dengan sendirinya. Maklum, anak-anak dengan latar belakang berbeda tentu memiliki referensi beda pula tentang musik. ”Kalau salah-salah tak jadi masalah, yang penting rasakanlah kebersamaan yang kuat,” Sadao menandaskan.
Gita Puspita, siswa kelas V Sekolah Bahasa Asing Saraswati, mengaku senang sekali ikut serta. Baginya, Java Jazz bukan lagi milik orang dewasa maupun remaja. Anak-anak pun bisa berpartisipasi. Pada konser ini Gita memegang alat yang namanya reyong, gong kecil dari Bali. ”Senang sekali memiliki teman dari Jepang,” katanya singkat.
Total pertunjukan ini memakan waktu satu setengah jam dengan perincian 75 menit memainkan repertoar Sadao Watanabe; 15 menit kemudian memainkan ritme khas Indonesia. Dwiki yang kenyang dengan berbagai musik tradisional membawa instrumen perkusi mulai dari Papua hingga Bali ke panggung. ”Ini kebanggaan bagi saya. Sadao adalah fan saya. Sejak 1980-an saya sudah mengoleksi album-albumnya,” aku Dwiki.
Tak mengherankan, kiprah Sadao di Jakarta menyedot perhatian media Jepang. Beberapa media Jepang mengirim reporternya untuk liputan langsung seperti radio J Wave dan stasiun TV NHK. Pertunjukan ini sendiri secara khusus akan dibuatkan rekaman langsung versi DVD-nya, yang akan didistribusikan ke segala penjuru dunia.
Sadao Watanabe—hari itu matanya berkaca-kaca. Jakarta membuatnya menitikkan air mata. ”Saya sudah tua, tak punya masa depan. Anak-anak inilah yang memiliki masa depan,” tutur lulusan Berklee College of Music ini.
Andi dewanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo