Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PADA 2011, Guruh Sukarno Putra masih tetap mengatakan Beta Cinta Indonesia. Masih melalui bunyi gamelan Bali dan orkestrasi yang megah, lenggak-lenggok penari lelaki dan perempuan yang sama-sama gemulai; masih menyajikan lagu-lagu yang tahun 1980-an menjadi salah satu tonggak musik Indonesia. Tapi, kali ini, Janger diaransemen oleh Erwin Gutawa dengan warna yang lebih modern. Energetik dan meriah.
Pada kiprahnya yang ke-40 tahun, Guruh membuka perayaan pengabdiannya ke dunia seni dengan apa yang sudah kita kenal dari karya-karyanya selama ini: nasionalisme yang gemerlap. Di hadapan bendera Merah Putih yang berkibar di atas tiang, dua pelajar sekolah dasar itu berdiri. Diiringi alunan lagu Padamu Negeri, mereka bersumpah menjaga Indonesia. Panggung yang sunyi tiba-tiba menggeliat. Gemuruh angin diselingi suara petir yang menyambar membuat suasana khusyuk menjadi kacau-balau. Meja, kursi, piano, tiang bendera, dan tubuh bocah-bocah melayang di udara tertiup angin kencang. Gemuruh angin perlahan mereda, berganti dengan nada pentatonik gamelan. Panorama Bali dengan sawah-sawah menghijau, danau, gunung, dan puranya, seperti lukisan mooi Indie, kemudian hadir di layar multimedia yang melatari panggung.
Inilah sajian pembuka pergelaran Beta Cinta Indonesia di Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki, sepanjang 21-23 Oktober lalu. Pentas yang menandai 40 tahun kiprah dan dedikasi Guruh Sukarno Putra terhadap karya seni di Indonesia itu digelar Guruh bersama Kinarya Gencar Semarak Perkasa dan Djarum Apresiasi Budaya. Beta Cinta Indonesia adalah rangkuman petikan pergelaran terbesar yang pernah dibuat Guruh selama empat dekade. "Pentas ini adalah petikan dari pergelaran yang dulu pernah saya buat. Hanya dikemas secara sekarang," kata Guruh.
Dalam pergelaran berdurasi sekitar dua jam itu, Erwin Gutawa mengaransemen ulang 18 lagu karya Guruh yang disuguhkan malam itu. Dia juga melibatkan lebih dari 200 musikus, seniman, dan penari, antara lain Vina Panduwinata, Tompi, Once, BE3, Vidi Aldiano, Butet Kartaredjasa, Yati Pesek, Tike Priatnakusumah, Asri Welas, dan Netta. Selain lagu-lagu yang sudah dikenal para pendengar dan penggemar kelompok Guruh yang di masa lalu disebut Swara Maharddhika itu, tata panggung menjadi kekuatan utama. Kini Guruh menggunakan permainan video yang diproyeksikan ke seluruh sisi dinding panggung. Suasana panggung berubah-ubah sesuai dengan tema lagu yang dibawakan.
Lagu Zamrud Khatulistiwa, yang di masa lalu dinyanyikan oleh Keenan Nasution, kini dibawakan penyanyi Vidi Aldiano. Panorama hutan Nusantara dihiasi bunga-bunga raflesia yang tengah mekar menjadi latar belakang panggung. Guruh memang seperti mengajak penonton memasuki sebuah mesin waktu. Bukan hanya Vidi, tapi juga ketika Tompi menyanyikan lagu Nostalgia, para penonton serempak ikut bernyanyi lagu yang bertutur tentang Hotel Des Indes yang termasyhur itu. Guruh menyajikan sosok pemuda Belanda memakai setelan jas berdansa mesra dengan perempuan-perempuan berambut pirang bergaun panjang. Lagu Melati Suci dinyanyikan ala sinden oleh Netta, dan lagu Perikemanusiaan, yang diciptakan untuk sang ayah, Bung Karno, kemudian akhirnya menyimpulkan segalanya. Malam itu bukan sekadar pergelaran, melainkan sebuah pesta reuni antara Guruh dan penontonnya yang telanjur saling melekat. "Banyak keharuan di sini. Ada lagu yang dipersembahkan untuk Bapak dan Ibu," tutur Guruh.
Bagi Guruh, Beta Cinta Indonesiaadalah napak tilas perjalanannya di dunia seni Indonesia, terutama seni pertunjukan. Lewat pergelaran Karya Cipta Guruh Sukarno Putra 1, pada 1979, dia sempat mengguncang perhatian penonton yang belum pernah melihat perkawinan pertunjukan musik modern dengan tradisi budaya Indonesia yang ditata dengan meriah, kenes, ringan, dan asyik. Setelah keriuhan pada 1979, yang kemudian diliput berbagai media saat itu, termasuk majalah ini, Guruh tahu, dia sudah menciptakan sebuah tren. Salah satunya membuat nada pentatonik musik Bali menjadi bagian dari dunia musik populer. Guruh kemudian menancapkan diri dengan menggelar Untukmu Indonesiaku (1980), Cinta Indonesia (1984), Gilang Indonesia Gemilang (1986), Pergelaran Kolosal: Gempita Swara Maharddhika (1987), dan JakJakJakJak Jakarta (1989), Legong Surapati (1998),Konser 100 Tahun Bung Karno (2001), Sri Panggung (2002), dan Lelaki Super (2003). Terakhir, pada 2005, Guruh mementaskan Mahadaya Cinta.
Tak sekadar mengajak penonton memutar ulang kenangan masa lalu, pergelaran Guruh kali ini juga banyak mengkritik pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono, dari kasus Bank Century hingga reshuffle. Sindiran dan kritik itu dilemparkan dalam bentuk guyonan oleh Butet Kartaredjasa, Asri Welas, Tike Priatnakusumah, dan Yati Pesek, sebelum Vina Panduwinata mendendangkan lagu Aji Mumpung. Guruh mencoba membuat lagu yang dibuat pada 1980 itu terasa tetap relevan.
"Ya, itu memang sedang terjadi. Dari dulu saya sudah melihat, sekarang korupsi semakin meningkat," tutur Guruh. awal Guruh menegaskan, baginya seni adalah alat perjuangan. Dengan caranya itu juga ia ingin menghapus dikotomi antara kepentingan kebudayaan dan politik. "Jika seniman tidak tahu politik, kita akan diklecekin (dibohongi) para politikus," katanya.
Nunuy Nurhayati, Syifa Junita
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo