Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
The Three Musketeers
Sutradara: Paul W.S. Anderson
Skenario: Alex Litvak dan Andrew Davies berdasarkan Les Trois Mousquetaires karya Alexandre Dumas
Pemain: Orlando Bloom, Matthew Macfadyen, Ray Stevenson Luke Evans, Logan Lerman, Milla Jovovich, Christoph Waltz
Pada abad ke-17, kita mendapati kapal laut yang berlayar di udara Paris. Pada abad itu pula, Les Trois Mousquetaires bertarung bak tiga serdadu tak terkalahkan. Tak mengapa jumlah musuh: 40 atau 400 orang, mereka pasti menang. Inilah kisah The Three Musketeers yang diangkat ke layar lebar oleh sutradara Paul W.S. Anderson, yang sengaja dibuat untuk konsumsi sekeluarga.
Kali ini kita tak perlu mengulik pengetahuan sejarah Eropa abad ke-17 dan uraian novel karya Alexandre Dumas itu. Film ini berbeda dengan karya Randall Wallace, yang membuat tafsir bebas tentang ketiga serdadu cakap Aramis, Atos, Porthos serta si darah muda temperamental D’Artagnan, yang berupaya menumbangkan kekuasaan Raja Louise XIV dalam The Man in the Iron Mask (1998). Dalam film ini, kita melihat tingkah ketiga serdadu dengan apa yang disebut gaya steampunk—kira-kira sebuah subgenre yang mencampurkan fiksi ilmiah, fantasi, dan sejarah alternatif—dan komedi yang kemudian melibatkan adegan laga dan kejar-mengejar, ledakan bom, serta berbagai pertarungan secara bertubi-tubi.
Anderson tetap mempertahankan cerita sedekat mungkin dengan kisah asli The Three Musketeers. Anak muda D’Artagnan (Logan Lerman), yang berkelana ke Paris, secara tak sengaja malah bergabung dengan trio legendaris Aramis (Luke Evans), Atos (Matthew Macfadyen), Porthos (Ray Stevenson), yang merasa masa kejayaan mereka sudah kedaluwarsa. Tapi kekuasaan Kardinal Richileu (diperankan Christoph Waltz dengan lucu) yang luar biasa—karena Raja Prancis yang masih muda dan labil—memaksa ketiga tentara ini maju dan terjun kembali ke istana agar jangan sampai sang Kardinal merebut kekuasaan sepenuhnya. Tentu saja intrik politik ini penuh adegan seru yang melibatkan computer-generated imagery, seperti kapal laut yang melayang di udara, pengeboman yang terasa terlalu modern untuk zamannya, dan perempuan yang jago silat seperti Milady de Winter (Milla Jovovich), agen ganda yang hanya setia pada dirinya sendiri.
Sejak sukses film-film Pirates of the Caribbean arahan Gore Verbinsky dan Sherlock Holmes yang disutradarai Guy Ritchie, yang mengaduk kisah klasik menjadi film gaya steampunk, laga-komedi dengan aroma yang modern dan penuh warna, tampaknya inilah pilihan yang akan menjadi tren. Sutradara Anderson dengan penuh kesadaran menampilkan semua tokohnya konyol. Tokoh yang baik (trio serdadu dan D’Artagnan) versus yang jahat (Kardinal Richileu dan Duke of Buckingham) sengaja ditampilkan nyeleneh, norak, jauh dari elegan, dan sungguh berjarak dari kebudayaan yang subtil. Mereka semua cunihin; mereka semua sungguh dungu. Bahkan kostum para raja, pangeran, dan bangsawan yang sungguh kenes itu sengaja ditampilkan berlebihan hingga hampir seperti sebuah parodi mode abad ke-17, yang doyan pupur dan benang emas.
Cara paling asyik menikmati film seperti ini adalah melempar buku sastra dan sejarah. Saksikan Orlando ÂBloom, yang pertama kali memerankan sosok antagonis Duke of Buckingham, yang doyan mengejek Raja Louise XIII (Freddie Fox) atau Christoph Waltz yang selalu saja gatal saat sang Raja bersikap lunak kepada para tentaranya. Saksikan Milla Jovovich yang seolah-olah adalah Michelle Yeoh buatan Eropa yang bisa membelah istana dengan gerak laganya atau lontaran humor di antara ketiga tentara kesayangan kita itu. Logan Lerman (dikenal dalam film Percy Jackson & the Olympians, 2010) sebagai D’Artagnan yang muda dan ganteng mengingatkan kita pada aktor Christian Slater di masa remaja. Lerman tampil sebagai sosok anak muda temperamental yang tetap berhasil merebut simpati perempuan (dan penonton). Dia adalah si miskin yang percaya bahwa kebajikan harus dibela.
Karena itu, marilah kita kendarai kapal laut yang mampu berlayar di udara itu sembari menikmati sejarah yang diacak-acak dengan jenaka.
Leila S. Chudori
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo