Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saya masih ingat langit di Tibet begitu rendah. Saya seolah-olah bisa menggapai mega-mega."
Koeboe mengenang. Ia berdiri di sebuah bukit memandang Istana Potala. Ia menggigil. Tibet begitu dingin. Oksigen yang dihirupnya sangat terbatas. Ia butuh penyesuaian beberapa hari sebelum berani keluar jauh dari hotel, menyusuri tempat-tempat yang menarik. Setelah beradaptasi, ia merambah pinggiran-pinggiran Kota Lhasa, ke kaki-kaki Pegunungan Himalaya. Koeboe tercekam oleh panorama kehampaan. Ia ngungun menyaksikan betapa langit biru sangat dekat dengan gundukan-gundukan pasir cokelat. "Saya seolah-olah tak menjejak bumi," katanya.
Bertahun-tahun kemudian, ia menumpahkan segala ketakjuban itu ke kanvas. Lukisannya yang selesai pada 2008, misalnya, berjudul Menuju Alam Abadi. Ia menggambarkan barisan biksu muda berjubah merah. Mereka berjalan di udara, di atas gurun batu. Kita tak tahu apakah para rahib itu dari sekte Nyingmapa, Sakyapa, Gelugpa, atau Kagyupa—sekte-sekte yang hidup ratusan tahun di Tibet. Mereka melayang menuju Istana Potala. Kaki mereka tak kelihatan karena terbungkus jubah yang melambai-lambai. Langit di atas mereka demikian gelap. Cuaca seakan-akan buruk. Selendang merah mereka ada yang lepas terbang tertelan awan hitam.
Kita ingat, melayang di udara sudah menjadi ciri Koeboe. Ia berkali-kali melukis wayang golek dan boneka pasangan pengantin Jawa (Loro Blonyo) yang mengawang di bawah gulungan-gulungan awan yang mengerikan. Ya, obyek-obyek itu selalu ditempatkan Koeboe dalam lanskap yang membuat perasaan tak enak. Tapi tubuh-tubuh kayu itu seakan-akan memiliki daya magis. Ia juga sering melukis sosok eyangnya, Sularmi Joyowanata, yang kini almarhum. Sosok eyangnya itu juga ditampilkan melayang. Tengok lukisannya tahun 2000 berjudul Dialoque. Ada delapan gambar figur neneknya. Figur sang eyang mulanya berdiri, mengenakan kebaya merah dan batik, menengadah seraya memegang tongkat. Kemudian sosok neneknya itu digambar naik, naik, lalu membujur kaku seperti orang mati memakai kafan di awan.
Kita bisa menyaksikan, di banyak lukisannya, Koeboe seolah-olah ingin menyajikan alam yang bukan alam di sini. Kita tak tahu alam apa itu, tapi kepustakaan Buddha, Hindu, atau kejawen sering menyebut ada alam seperti alam nir, alam sunyata, atau alam awung-awung. Dalam bayangan alam seperti itu, Koeboe sering menyajikan tubuh hidup atau mati terangkat dari tanah, mengatasi gravitasi, mendekat kepada yang di atas. Pengalamannya bepergian ke Tibet seolah-olah memang kulminasi dari estetika yang digelutinya selama ini.
Ia juga sering mentransendensikan obyek-obyek seperti candi. Dari Batu, ia sering turun ke Malang mengunjungi candi-candi di Tumpang, Singosari, atau ke Trowulan, Mojokerto. Ia membuat serangkaian gambar sapi di depan arca Ganesha atau arca Buddha. Skala arca itu diperbesar hingga tampak sapi-sapi itu demikian kecil. "Sapi dalam Hindu adalah binatang suci." Menurut Koeboe, "Wajahnya mengandung kejujuran." Sapi dan arca itu sendiri ditempatkan di dalam sebuah alam kosong tanpa rumput yang gumpalan meganya menggelayut begitu rendah.
Koeboe sering disebut pengamat seni rupa sebagai pelukis surealisme. Namun fantasi surealismenya tidak bertolak dari perspektif Andre Breton atau manifesto gerakan dadais di Prancis pada 1920-an. Pengamatan ini betul, karena surealismenya lebih bertolak dari penghayatan akan konsep Jawa: sangkan paraning dumadi (asal dan tujuan kehidupan).
Datanglah ke Batu, mengobrollah malam-malam dengan Koeboe sembari mengudap "kuliner paling top di Batu", ketan panas yang ditaburi bubuk kedelai, di warung dekat alun-alun kota itu. Mintalah Koeboe bercerita tentang sang nenek. Maka kita dapat berkesimpulan bahwa imajinasi dan fantasi Koeboe sangat dipengaruhi visi batin sang eyang.
Eyangnya adalah pembatik. Ia meninggal pada usia 97 tahun. Namun sampai usia 95 tahun ia masih membatik. Batik tersebut tidak dijual. Aktivitas membatik itu lebih untuk melatih rasa sumeleh dan kesabaran. "Sejak kecil, saya sudah terbiasa bau malam," kata Koeboe. Mampirlah ke studio Koeboe di kaki Gunung Panderman. Di situ Koeboe akan dengan senang hati memperlihatkan gulungan-gulungan kain batik sang nenek yang masih disimpannya.
Kita bisa melihat bahwa batik karya sang eyang tak hanya berupa ornamen-ornamen, tapi juga kisah-kisah Rama Tambak, simbol-simbol Pakuwon, dan sebagainya. "Eyang kalau membatik sambil bercerita," ujar Koeboe. Menurut dia, eyangnya selalu bangun pagi, kemudian mengawali hari dengan menulis dalam aksara Jawa. "Yang ditulis piwulang, surat-surat. Suatu saat nanti akan saya terjemahkan." Menurut Koeboe, kegiatan membatik eyangnya dilakukan sore hari. "Eyang akan mbatik sampai secapeknya."
Tampaklah kemampuan detail Koeboe menurun dari sang nenek. Untuk menggambar tangan atau kaki, dia bisa butuh waktu berhari-hari. Lebih dari itu, dari sang eyang tampak Koeboe mewarisi cara menangkap realitas yang sublim. Dalam menggambar, ia terlihat tidak ingin tergesa-gesa. Yang ia kejar adalah lukisannya harus mampu menghasilkan efek misteri. Koeboe seolah-olah seorang penggembala misteri. Pernahkah dia memperlihatkan lukisannya kepada sang nenek? Apa kata sang nenek? Menurut Koeboe, sang nenek tidak kaget melihat karya surealisnya. Sang nenek berkomentar, "Ya, hidup ini memang begitu…."
Maka, ketika sampai ke Tibet, Koeboe ingat pada sikap pasrah sang nenek. Suasana fisik Tibet jauh berbeda dengan kota-kota kita. Kuil-kuilnya tak sama dengan candi-candi atau pura-pura kita. Penduduk, pasar, danau-danau, ritual-ritualnya. Tapi, di Vihara Jokhang, ia melihat para peziarah bersembahyang dengan cara menelungkupkan seluruh badan ke tanah, bukan sekadar sujud kening. Para peziarah itu adalah penduduk desa yang berjalan puluhan kilometer untuk mencapai Kuil Jokhang. Hati Koeboe tergetar: "Ada rasa ngelangut yang sama dengan Jawa," selorohnya.
Lihatlah karyanya yang paling kuat: Puncak Keheningan 1. Seorang rahib berjubah merah berkepala gundul digambar membelakangi kita. Sang banthe memandang kawah-kawah, gumuk-gumuk pasir yang terbentang sampai cakrawala. Kakinya kita lihat membatu, seolah-olah ia telah bertahun-tahun berdiri di situ. Terpancar dari situ, manusia sesungguhnya adalah sesuatu yang nisbi. Yang menarik bila Anda melihat tubuh rahib itu, juga tubuh dan wajah para banthe di lukisan lain, dan mengira wajah itu digambar berdasarkan rujukan muka-muka warga Tibet. Maka Anda salah sangka. Wajah para rahib muda di lukisan Koeboe sesungguhnya banyak mengambil model wajah anaknya. Juga rahib tua yang mengawang: parasnya bertolak dari wajah sahabat karibnya. Tapi tampak mereka bagaikan manusia Tibet asli.
Entah Koeboe tahu kisah ini entah tidak. Atisha Dipankara (982-1054), peletak dasar teologi Tibet, pernah datang ke Sriwijaya, berguru selama 14 tahun pada Sri Dharmakitri, ahli kasunyatan. Ia kemudian mengunjungi Jawa. Ia terkesan oleh Candi Kalasan dan Borobudur. Kalasan adalah candi yang didirikan untuk menghormati Dewi Tara, dan selama ini Atisha merasa pembimbing spiritualnya adalah Dewi Tara. Sedangkan di Borobudur, ia merasa candi ini secara konkret membabarkan hakikat kekosongan.
Dalai Lama 14, yang kini tinggal di pengasingan Dharamsala, India, mengakui bahwa sesungguhnya spiritualitas Tibet dekat dengan Jawa. Ia sehari-hari melakukan meditasi tonglen, suatu jenis meditasi yang berusaha mengambil penderitaan orang lain dan memberikan kebahagiaan sendiri kepada orang lain. Meditasi ini, menurut dia, diajarkan Atisha di Tibet, setelah Atisha belajar dari Dharmakitri. Itulah mengapa beberapa tahun terakhir banyak biksu asal Tibet berziarah ke Borobudur. Mereka berusaha melacak asal-usul ritual mereka ke Jawa. Termasuk Richard Gere, aktor yang menganut agama Buddha Tibet.
Dalam lukisan Koeboe, kita melihat para rahib Tibet bermeditasi di udara, dalam suasana alam beraura kebatinan Jawa. Koeboe dengan caranya sendiri, mungkin tanpa disadarinya, menyajikan hubungan rohani antara Jawa dan Tibet yang terputus tersebut.
Seno Joko Suyono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo