Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Sebuah tempat di luar arus besar

Satu lagi tempat untuk pertunjukan dan kegiatan kesenian alternatif dibuka: teater dalam gang tuti indra malaon. inilah wadah yang menyingkirkan birokrasi dan ongkos tinggi.

11 Desember 1993 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ADA sebuah panggung teater di dalam gang. Gang itu bernama Kebon Kacang yang terletak di belakang jalan-jalan bising Jakarta. Panggung teater itu diberi nama Tuti Indra Malaon sebagai penghormatan pada aktris yang dedikasinya pada dunia teater (dan film) diakui. Ahad kemarin, teater itu resmi dibuka. ''Teater Dalam Gang Tuti Indra Malaon adalah sebuah ladang kecil dari bumi kesenian pertunjukan Indonesia,'' kata Teguh Karya, pemimpin Teater Populer, kelompok tempat dulu Tuti bergabung. Dengan demikian, inilah ''ladang kecil'' ketiga di Jakarta, setelah Padepokan Bengkel Teater Rendra dan Oncor Studio yang terlebih dahulu berdiri. ''Ladang kecil'' bukan cuma sebuah metafora. Untuk sebuah gedung teater, Teater Dalam Gang benar-benar kecil: kurang dari 180 meter persegi, dengan panggung 5 x 6 meter. Kapasitas gedung ini hanya sekitar 100 penonton, belum termasuk kapasitas balkon kecilnya. Suasana yang tampil memang setengah resmi, terutama tercipta dari jarak penonton dan panggung yang begitu dekat. Di belakang panggung, ada kafe untuk ''arena bertukar pikiran setelah menonton pertunjukan''. Di masa ketika muncul kegiatan yang berkaitan dengan seni yang penting dan hanya memerlukan tempat sekadarnya, terasa Taman Ismail Marzuki dan Gedung Kesenian Jakarta, misalnya, terlalu ''birokratis dan mahal''. Umpamanya diskusi terbatas tentang Manifes Kebudayaan, tentang estetika postmodernisme hal yang perlu, yang kadang idenya mendadak dan harus cepat diselenggarakan karena, misalnya, pembicara pokoknya akan segera pergi. Atau, sebuah pertunjukan eksperimental yang tak memerlukan tempat luas, dan diduga peminatnya sedikit, akan lebih muncul di teater mini seperti ini. Pokoknya, seperti dikatakan Teguh, inilah tempat alternatif, yang birokrasinya sederhana, dan relatif murah, tapi justru bisa lebih intens penyelenggaraannya karena skalanya yang kecil. Dan kegiatan seperti itulah yang selama ini berlangsung di Padepokan Bengkel Teater Rendra di kawasan Depok, Bogor, dan Studio Oncor di kawasan Tebet, Jakarta Selatan. Misalnya di awal tahun ini, di Padepokan Bengkel Teater yang bisa menampung 50 orang duduk lesehan, Penyair Sitor Situmorang membacakan sajak-sajaknya. Sesudah itu berlangsung diskusi tentang puisi dan lain-lain, yang lebih intens dibandingkan diskusi di Teater Arena Taman Ismail Marzuki. Soalnya, memang, yang hadir dalam acara kecil seperti ini biasanya memang lebih serius, sedangkan di TIM, idenya memang sebuah diskusi publik. Di Padepokan itu pula pernah diputar film karya sutradara Jepang Akira Kurosawa. Di Oncor, pernah dipertunjukkan teater eksperimen karya pemilik Oncor, Ray Sahetapy. Gokil, demikian judul drama itu, menggunakan seluruh rumah berikut ruang-ruangnya menjadi panggung pertunjukan. Perlu diketahui bahwa Oncor Studio memang tak banyak berubah dari aslinya, yakni sebuah rumah tinggal. Di Oncor pula diskusi tentang Manifes Kebudayaan yang menyertakan seorang penentangnya, dulu, Sitor Situmorang, dilakukan. Meski belum tercapai, dengan diskusi yang lebih intens ini fakta dan data sekian puluh tahun lalu, yang biasanya sudah terdeformasi oleh berbagai opini, bisa ditelusuri kembali. Di Oncorlah pertama kali karya tari Sulistyo, Panji Sepuh, dipergelarkan, dan menurut beberapa pengamat justru di sinilah tari itu tampil prima, didukung oleh suasana Oncor. Persamaan dari ketiga teater mini ini, tidak mengomersialkan pertunjukan. Maksudnya, baik Rendra, Ray, maupun Teguh tidak ingin memungut bayaran apa pun dari pengunjungnya. ''Terkadang memang ada pundi-pundi sumbangan yang diedarkan, tapi jumlahnya kan hanya sekadarnya,'' kata Ray. Jadi, ketiga ''panggung swasta'' ini benar-benar menyandarkan diri pada donor. Rendra mengaku dana operasional untuk ongkos mencetak undangan yang sederhana, ongkos listrik, dan bujet untuk makanan ala kadarnya berasal dari koceknya sendiri, plus ''sumbangan dari kawan- kawan seperti Setiawan Djodi.'' Teguh Karya akan menjalankan kegiatan Teater Dalam Gang dengan dana yang didapat dari ''kawan-kawan pengusaha pecinta seni.'' Ray Sahetapy agak beruntung karena memiliki dua buah perusahaan yang membantu kegiatan Oncor, yakni PT Giz yang bergerak di bidang audio visual dan PT Maraputera yang bergerak di bidang perfilman. Dengan kesederhanaan seperti itu, justru masalah kualitas lalu benar-benar menjadi fokus. Memang, tak mungkin sebuah pertunjukan kolosal dilakukan di tiga teater mini ini. ''Dan saya kira memang bukan itu tujuannya,'' kata Ray. Itulah sebabnya Gedung Kesenian Jakarta dan TIM akan tetap punya peranan. Betapapun karya seni memerlukan tempat untuk bertemu publiknya, entah itu bernama gedung teater, galeri, atau yang lain. Dan bila dipercaya bahwa kesenian punya makna untuk meningkatkan kualitas hidup, fungsi tempat-tempat itu mestinya dipahami pentingnya. Leila S. Chudori dan Nunik Iswardhani

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus