Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
12 Years a Slave
Sutradara: Steve McQueen
Skenario: John Ridley (berdasarkan memoar Solomon Northup)
Pemain: Chiwetel Ejiofor, Michael Fassbender, Lupita Nyong'o, Sarah Paulson, Benedict Cumberbatch, Brad Pitt
Pada 1841, Solomon Northup (Chiwetel Ejiofor), pemain biola Afro-Amerika, adalah lelaki bebas yang bahagia, beristri cantik, dengan tiga anak, yang hidup nyaman di utara Amerika. Itulah sebuah masa ketika wilayah selatan Amerika Serikat masih menganggap warga kulit hitam tidak setara dengan manusia. Siang itu, Northup diundang makan siang mewah di New York oleh sepasang lelaki yang menawarkan pekerjaan dengan honor dan berbagai fasilitas menggiurkan yang sukar ditampik.
Tak menyadari gelasnya berisi anggur bercampur ramuan obat bius, Northup terbangun di dalam kegelapan dengan tangan dan kaki dirantai. "Namamu kini adalah Platt Hamilton," kata penjual budak nun di ujung Selatan yang langsung menggampar karena dia berani-beraninya memprotes dan memperkenalkan diri sebagai "orang yang bebas". Northup harus melalui deraan cambuk bertubi-tubi hingga potongan daging punggungnya melekat tebal di sekujur untaian cambuk rotan. Itu semua dilakukan agar dia bermetamorfosis sebagai Platt, orang dari Selatan yang buta huruf.
Sejak itulah hidup sang pemain biola jungkir-balik. Dia dibeli oleh seorang tuan dari keluarga Ford (Benedict Cumberbatch), yang berhati lembut dan mencoba memperlakukan budak-budaknya dengan lunak. Dia adalah pemilik, bukan tuan di perkebunan yang gemar menyiksa. Tapi tetap saja Northup alias Platt mengalami berbagai siksaan.
Pada satu saat, dia digantung dengan tali, tapi ujung jari-jari kakinya masih bisa menggapai tanah agar dia bisa bertahan untuk tidak tewas. Posisi tersebut berlangsung—tanpa musik, tanpa suara sedesir pun—beberapa menit lamanya, tapi terasa berjam-jam, hingga akhirnya Pak Ford tergesa-gesa datang berkuda menyelamatkannya. Karena Northup terlalu pemberontak, Ford terpaksa menjualnya kepada seorang pemilik perkebunan kapas paling kejam di seantero Selatan: Epps (Michael Fassbender).
Epps adalah jelmaan kejahatan dan kekejian yang tak terbayangkan. Ia seorang pemabuk yang gemar mengutip dan membolak-balikkan ayat Injil untuk pembenaran perilakunya. Bukan hanya suara dan wajahnya yang tenang dan menekan setiap kali dia akan memerkosa atau menyiksa budak, justifikasinya yang berpretensi bahwa apa yang dilakukannya itu karena dia manusia dan para budak bukan manusia membuat film ini menjadi tontonan yang sangat sulit disaksikan tanpa rasa marah.
Steve McQueen (sebelumnya dikenal sebagai sutradara Hunger dan Shame) tentu saja menggarap film ini dengan penuh kesadaran bahwa dia sama sekali tak akan memberikan ruang buat bernapas atau bahkan jeda bagi penonton untuk menikmati satu-dua adegan yang menyenangkan. Sejak awal hingga akhir, film ini terdiri atas cambuk demi cambuk, darah yang bercucuran, dan kesunyian yang berisi ketegangan, serta nyanyian pemetik bunga kapas yang terdiri atas puisi kematian.
Steve McQueen menjadi sutradara dengan sidik jari yang jelas. Pemenang penghargaan Camera d'Or Festival Film Cannes ini selalu menggunakan aktor Michael Fassbender dalam ketiga filmnya dan dia sama sekali tak memberikan ruang untuk bersantai. Repetisi adegan demi adegan (apakah itu kecanduan seks dalam Shame atau cambukan dalam film ini) dilakukan karena tujuannya ingin membuat penonton mengalami teror mental seperti tokoh-tokohnya.
Leila S. Chudori
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo