Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teroka

Selubung Dunia Kematian Hades

Kolaborasi Mainteater Bandung-Melbourne menyuguhkan pertunjukan yang berkisah tentang situasi pasca-apokaliptik berlatar mitos dunia Hades.

31 Agustus 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI ruang perpustakaan dunia kematian yang telah menjadi puing, Eurydice tercenung. Ia berusaha mengobati ingat-an-nya yang memudar lewat buku-buku di sekitarnya. Tangannya meng-arah ke komputer untuk melacak asal-usul dirinya. Hasilnya membingungkan. Riwayat ibunya ternyata punya banyak versi dalam cerita. Konon ia anak peri hutan, tapi kisah lain menyebutkan sang ibu adalah seorang peri sungai.

Lalu samar-samar muncul Persephone di ruangan itu. Ia mengisahkan dunia yang telah kiamat. Mobil rongsok, pecahan kaca, motor skuter terbalik. Mereka berkarat se-tengah tenggelam dalam air cokelat pe-kat. Mobil, bus, juga taksi berserakan. Tak ada yang mendorong kereta atau ber-jalan kaki di tanah yang pecah. Beribu-ribu kilometer tanah telah tandus dan su-ngai-sungai ber-warna jingga. “Tak ada se-orang pun,” kata Persephone ber-ulang-ulang, “tak ada se-orang pun yang memba-yangkan kita.”

Kelompok Mainteater Bandung-Mel-bourne, Australia, berkolaborasi me-men-taskan lakon surealis berjudul Hades Memudar (Hades Fading) itu di amfiteater NuArt Sculpture Park Bandung, 28-30 Agustus lalu. Ini pertunjukan vokal dan visual yang berkisah tentang situasi pasca-apokaliptik berlatar mitos dunia Hades. Kisah yang membayangkan kembali kera-jaan Hades Yunani kuno sebagai sisa ter-akhir imajinasi manusia yang memudar tanpa ada manusia yang mempercayainya.

Persephone akhirnya teringat kedatang-an Eurydice di dunia kematian. Alam ba-wah tanah itu dikuasai Raja Hades, sua-mi Persephone. “Kau datang ke sini di saat takdir jatuh di hari pernikahanmu. Kau terpincang-pincang karena digigit ular,” ujarnya. Eurydice menjadi ter-ingat hari pernikahannya dengan Orpheus, sang musikus hebat. Hades Memudar me-reflek-sikan ingatan, media, keperca-ya-an, dan potensi bencana yang mengintai manusia. Sutradara dan penulis Sandra Fiona Long mengangkat lakon tersebut dari mitologi Yunani yang diracik dengan situasi masa kini dan kiamat yang akan datang. “Selamat datang di gerbang Dunia Bawah Hades,” kata Sandra menyambut penonton yang berkumpul pada malam perdana pementasan, 28 Agustus lalu.

Dunia itu berada di sebidang lingkaran bergaris tengah sepuluh meter. Tirai ke-lambu membungkus sekaligus menjadi se-kat ruangan di dalamnya dengan pasak tiang-tiang bambu. Selain berperan mem-batasi alam mitologi dengan dunia seka-rang, bentangan kelambu menjadi layar bagi semburan teks naskah. Memakai tiga bahasa, yaitu Indonesia, Inggris, dan se-bagian Sunda, ucapan para pemain kerap ditimpali pemain lain yang menerjemah-kan secara lisan ataupun tulisan di layar kelambu. Metode terjemahan secara lisan itu kadang mengganggu fokus perhatian karena teksnya ikut bicara. Kadang tam-pilannya berganti dengan efek visual animasi yang membuat mata tak jenuh ke panggung.

Alam kematian di panggung itu ber-penghuni Eurydice (Heliana Sinaga), Per-sephone (Rinrin Candraresmi), Orpheus (Wawan Sofwan), dan Hades (Godi Suwar-na). Di bagian sisinya, ada pemusik Sisca Guzheng Harp serta musikus dan vokalis yang berbasis di Melbourne, Ria Soe-mar-djo. Ilustrasi bunyi vokal dan musik yang mereka mainkan secara langsung di pang-gung ikut menjaga penonton anteng di tempatnya. Akting Wawan Sofwan berhasil me-lumerkan suasana yang terbangun for-mal dan serius sejak awal.

Penonton yang hanyut mulai ter-usik ke-tika aktor itu muncul sambil mengomen-tari kostum dan perutnya. Perannya se-bagai manusia, bukan peri atau dewa-dewi seperti pemain lain, membuatnya leluasa untuk keluar dari selubung kelambu dunia Hades. Laiknya musikus terkenal, Wawan berinteraksi dengan penonton se-perti ketika di panggung konser. Kemam-puan menyanyinya yang kurang segera ter-timpa bakat menghiburnya. Bak pesu-lap, ia memainkan balon sabun yang meng-hasilkan gelembung besar. Karakter Orpheus menjadi lebih hidup dibanding mitologinya.

Lakon terbaru Mainteater itu mengam-bil fragmen kisah cinta Eurydice dan Orpheus di dunia bawah tanah Raja Hades dan Persephone, permaisurinya. Sandra, yang mengarang ceritanya, mengangkat soal ingatan, kenangan, dan citra yang me-mudar hingga hilang. Kondisinya seperti buku yang digerogoti rayap atau perangkat dokumentasi lain yang diserang virus. Semuanya rusak dan menjadi artefak sampah.

Pentas kolaborasi Mainteater dengan seniman-seniman Bandung dan Melbourne berjudul Hades Fading di NuArt Sculpture Park, Bandung. TEMPO/Prima mulia

Eurydice berjuang mengumpulkan lagi serpihannya dari sisa ingatan dan cerita orang lain hingga ia menyambut Orpheus, yang datang menjemput. Tujuannya agar ia bisa bangkit dari alam kematian dan hidup lagi di dunia bersama kekasihnya. Namun, di tengah perjalanan itu, muncul keraguan Eurydice yang teringat pada cerita Persephone bahwa dunia telah hancur. Sementara itu, Orpheus pun ragu apakah Eurydice benar-benar mengikuti langkahnya seperti syarat Raja Hades.

Proyek-proyek kolaborasi Mainteater berupa pertunjukan tiga bahasa. Lakon Happy 1000/1000 Bahagia, misalnya, me-raih penghargaan Melbourne Fringe untuk kategori Innovation of Form dan nomine Green Room untuk Innovative New Form. Karya itu sempat dipentaskan keliling ke lima tempat di Indonesia. Sedangkan karya berjudul The Wind in B Minor dipentaskan di La Mama, lalu mengikuti residensi selama sebulan di Albury’s Hothouse Theatre, ke-mudian pada 2012 berpartisipasi di Inter-national Festival of Literatures in Translation Melbourne dengan La Mama.

Pada 2015, Mainteater mementaskan Urat Jagat (Veins of the Universe) di enam tempat di Indonesia, kemudian pertunjukan Mikro-kosmos di State Library of Victoria dalam acara Mapping Melbourne Festival 2015. Sandra mengatakan ide lakon Hades Memudar muncul ketika ia mendapat beasiswa di perpustakaan Negara Bagian Victoria, Australia. Kerjanya di sana men-cari banyak kitab tua untuk riset hingga menemukan cerita-cerita tentang Eurydice dari cerita Yunani. “Akhirnya saya mem-bayangkan Eurydice sebagai tokoh di per-pustakaan,” katanya.

Sandra juga sering berpikir tentang masalah-masalah dunia ini yang mungkin akan sangat parah di masa depan, seperti perubahan iklim dan polusi laut. Juga ada masalah besar lain, seperti peperangan karena dalih agama, uang, atau teritori. Dia pun membayangkan bagaimana kalau manusia nanti musnah karena masalah itu dan hanya ciptaannya yang tersisa.

Apakah semua yang diciptakan dalam imajinasi manusia itu akan memudar. Bagaimana dengan sistem-sistem keper-cayaan manusia? “Juga ada ide kuno bahwa dewa-dewi tidak pernah mati. Mereka hanya memudar,” ucap Sandra. Sementara itu, Hades berujar, “Cinta tidak dapat menaklukkan kematian.”

ANWAR SISWADI

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus