Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Semut-semut tanpa gula

Operet semut hitam semut merah karya titiek puspa & mus mualim dipentaskan di balai sidang, jakarta. terlalu berat untuk anak-anak karena yang muncul bahasa orang dewasa. (ms)

16 Juni 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KURANG lebih seratus anak dikerahkan Titiek Puspa untuk menjadi semut. Terjadi dalam sebuah operet di Balai Sidang, Senayan, Jakarta 3 Juni kemarin. Pertunjukan pertama jam 10 pagi. Yang kedua jam 6 sore. Keduanya tentu saja dibanjiri penonton -- tak usah dibilang lagi. Alkisah gerombolan semut merah selalu berperang dengan gerombolan semut hitam -- akibat hasutan Kakek Durna (Santi Sardi). Tapi diam-diam, puteri raja semut merah (Chicha Koeswoyo) berhubungan baik dan kemudian jatuh cinta dengan putera raja semut hitam (Hendri Nindianto Iskandar). Mereka tak suka perang. Lalu keduanya meninggalkan orangtua masing-masing, mengembara mencari seorang guru yang bisa mengajarkan cara hidup yang baik. Mereka pun bertemu dengan Nenek Putih (Titiek Puspa), yang lantas mengawinkan keduanya. Kaburnya kedua anak raja, dimanfaatkan oleh Kakek Durna untuk menggosok kedua raja yang bermusuhan itu. Dikatakan: Puteri Merah diculik Raja Hitam, dan Pangeran Hitam diculik Raja Merah. Ketegangan memuncak. Pertempuran tak terelakkan, dan Kakek Durna sengaja dibikin terbunuh dalam pertempuran itu -- dengan alasan tak sempat menyingkir. Saat itu muncullah Nenek Putih bersama kedua putera raja yang sudah jadi suami-isteri. Nenek Putih pun menjelaskan duduk perkara, tak lupa memberi wejangan, sehingga dengan mudah kedua gerombolan yang bermusuhan akur kembali. Chicha Cerita yang sederhana itu di tangan Titiek Puspa dan suaminya, Mus Mualim, yang mengaransir musiknya, ternyata menjadi berat bagi anak-anak. Kata-kata, baik yang dinyanyikan, maupun yang diucapkan dalam percakapan, bahkan lelucon, sulit dicerna. Padahal operet ini ditujukan buat mereka. Akibatnya para orangtualah yang paling banyak gerrr. Sehabis menggarap Kartini Manusiawi Kartini, Titiek ternyata masih belum bisa santai bicara dengan bahasa anak-anak. Yang muncul dalam Semut adalah bahasa dan fikiran orang dewasa. Rasanya tak mungkin Titiek tak mengenal dunia anak-anak. Hanya mungkin ia lupa betapapun ia terlalu asyik dengan diri sendiri. Anak-anak itu hanya ia pinjam untuk corong, untuk sesuatu yang berbau slogan. Protes Titiek tentang perang, tentang para pemimpin yang hanya mengumbar nafsu sendiri, atau konsepnya mengenai kebahagiaan, pernikahan, terasa begitu aneh. Terutama karena keluar dari mulut kanak-kanak yang jarang atau tak pernah baca koran. Leluconnya tentang seekor semut yang berada di Vietnam. Ada nama panggilan bagi semut Kecil Merah, sebagai "Kemer" (Khmer Merah). Apakah itu dimaksud sebagai pelajaran ilmu bumi atau apresiasi politik kanak-kanak? Juga ada dialek Ambon, Padang, Batak, Sunda dan Jawa yang dipakai terutama oleh Badut -- yang dimaksud sebagai lelucon, tapi tak bisa dimengerti. Penonton anak-anak tak tertawa, meski orang dewasa memang bisa tersenyum. Untung ada Chicha. Ia tampil sebagai Puteri Merah, yang anggun dan mengundang histeria. Suaranya yang sudah akrab dengak anak-anak dan orang dewasa, menjadi penghubung yang baik antara pentas dan penonton. Begitu juga penampilan Santi Sardi sebagai Kakek Durna. Berbeda dengan Chicha, yang halus dan mempesona, Santi tampil dengan lucu, polos. Gerak-geriknya menyenangkan, betul-betul mewakili dunia anak-anak. Badut (Deddy Yuliardi) mendapat porsi besar dalam pertunjukan. Bertindak sebagai dalang, dan melucu dengan goyangan pantatnya yang diganjal bantal --sayang tak bisa menjadi penyegar, sebab terlalu sering muncul dan yang diucapkannya rasanya tidak perlu. Ia hanya bikin lelah. Dan operet yang makan waktu 2« jam ini jadi terlalu panjang. Bukan karena memang banyak konflik yang harus diselesaikan, tapi karena terlalu banyak tetek maupun bengek. Pentas hanya dihias 2 batang pohon dan bunga-bunga. Penggarapan pemain dan gerak nampak tak dijamah oleh seorang penata tari atau orang yang mengerti bagaimana menguasai panggung. Semut-semut hanya sekedar bergerombol, lari ke sana ke mari, duduk di lantai dan melompat-lompat tanpa kerapihan. Mungkin Titiek ingin memelihara spontanitas anak-anak, tetapi jangan lupa ini tontonan. Musik yang digarap Mus terasa ketat dan serius -- cenderung jadi jaz. Hampir tanpa kesegaran, Mus telah memberati kuping anak-anak. Untunglah masih ada musik yang diambil dari lagu mainan anak-anak Jawa dan Sunda yang agak menetralisir. Tetapi sebagai usaha untuk mengumpulkan dana, operet dengan kostum gemerlap ini tentu saja berhasil merogoh uang. Yudhistira ANM Massardi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus