KURANG lebih seratus anak dikerahkan Titiek Puspa untuk menjadi
semut. Terjadi dalam sebuah operet di Balai Sidang, Senayan,
Jakarta 3 Juni kemarin. Pertunjukan pertama jam 10 pagi. Yang
kedua jam 6 sore. Keduanya tentu saja dibanjiri penonton -- tak
usah dibilang lagi.
Alkisah gerombolan semut merah selalu berperang dengan
gerombolan semut hitam -- akibat hasutan Kakek Durna (Santi
Sardi). Tapi diam-diam, puteri raja semut merah (Chicha
Koeswoyo) berhubungan baik dan kemudian jatuh cinta dengan
putera raja semut hitam (Hendri Nindianto Iskandar). Mereka tak
suka perang. Lalu keduanya meninggalkan orangtua masing-masing,
mengembara mencari seorang guru yang bisa mengajarkan cara hidup
yang baik. Mereka pun bertemu dengan Nenek Putih (Titiek Puspa),
yang lantas mengawinkan keduanya.
Kaburnya kedua anak raja, dimanfaatkan oleh Kakek Durna untuk
menggosok kedua raja yang bermusuhan itu. Dikatakan: Puteri
Merah diculik Raja Hitam, dan Pangeran Hitam diculik Raja Merah.
Ketegangan memuncak. Pertempuran tak terelakkan, dan Kakek Durna
sengaja dibikin terbunuh dalam pertempuran itu -- dengan alasan
tak sempat menyingkir. Saat itu muncullah Nenek Putih bersama
kedua putera raja yang sudah jadi suami-isteri. Nenek Putih pun
menjelaskan duduk perkara, tak lupa memberi wejangan, sehingga
dengan mudah kedua gerombolan yang bermusuhan akur kembali.
Chicha
Cerita yang sederhana itu di tangan Titiek Puspa dan suaminya,
Mus Mualim, yang mengaransir musiknya, ternyata menjadi berat
bagi anak-anak. Kata-kata, baik yang dinyanyikan, maupun yang
diucapkan dalam percakapan, bahkan lelucon, sulit dicerna.
Padahal operet ini ditujukan buat mereka. Akibatnya para
orangtualah yang paling banyak gerrr.
Sehabis menggarap Kartini Manusiawi Kartini, Titiek ternyata
masih belum bisa santai bicara dengan bahasa anak-anak. Yang
muncul dalam Semut adalah bahasa dan fikiran orang dewasa.
Rasanya tak mungkin Titiek tak mengenal dunia anak-anak. Hanya
mungkin ia lupa betapapun ia terlalu asyik dengan diri sendiri.
Anak-anak itu hanya ia pinjam untuk corong, untuk sesuatu yang
berbau slogan.
Protes Titiek tentang perang, tentang para pemimpin yang hanya
mengumbar nafsu sendiri, atau konsepnya mengenai kebahagiaan,
pernikahan, terasa begitu aneh. Terutama karena keluar dari
mulut kanak-kanak yang jarang atau tak pernah baca koran.
Leluconnya tentang seekor semut yang berada di Vietnam. Ada nama
panggilan bagi semut Kecil Merah, sebagai "Kemer" (Khmer Merah).
Apakah itu dimaksud sebagai pelajaran ilmu bumi atau apresiasi
politik kanak-kanak?
Juga ada dialek Ambon, Padang, Batak, Sunda dan Jawa yang
dipakai terutama oleh Badut -- yang dimaksud sebagai lelucon,
tapi tak bisa dimengerti. Penonton anak-anak tak tertawa, meski
orang dewasa memang bisa tersenyum.
Untung ada Chicha. Ia tampil sebagai Puteri Merah, yang anggun
dan mengundang histeria. Suaranya yang sudah akrab dengak
anak-anak dan orang dewasa, menjadi penghubung yang baik antara
pentas dan penonton. Begitu juga penampilan Santi Sardi sebagai
Kakek Durna. Berbeda dengan Chicha, yang halus dan mempesona,
Santi tampil dengan lucu, polos. Gerak-geriknya menyenangkan,
betul-betul mewakili dunia anak-anak.
Badut (Deddy Yuliardi) mendapat porsi besar dalam pertunjukan.
Bertindak sebagai dalang, dan melucu dengan goyangan pantatnya
yang diganjal bantal --sayang tak bisa menjadi penyegar, sebab
terlalu sering muncul dan yang diucapkannya rasanya tidak perlu.
Ia hanya bikin lelah. Dan operet yang makan waktu 2« jam ini jadi
terlalu panjang. Bukan karena memang banyak konflik yang harus
diselesaikan, tapi karena terlalu banyak tetek maupun bengek.
Pentas hanya dihias 2 batang pohon dan bunga-bunga. Penggarapan
pemain dan gerak nampak tak dijamah oleh seorang penata tari
atau orang yang mengerti bagaimana menguasai panggung.
Semut-semut hanya sekedar bergerombol, lari ke sana ke mari,
duduk di lantai dan melompat-lompat tanpa kerapihan. Mungkin
Titiek ingin memelihara spontanitas anak-anak, tetapi jangan
lupa ini tontonan.
Musik yang digarap Mus terasa ketat dan serius -- cenderung jadi
jaz. Hampir tanpa kesegaran, Mus telah memberati kuping
anak-anak. Untunglah masih ada musik yang diambil dari lagu
mainan anak-anak Jawa dan Sunda yang agak menetralisir.
Tetapi sebagai usaha untuk mengumpulkan dana, operet dengan
kostum gemerlap ini tentu saja berhasil merogoh uang.
Yudhistira ANM Massardi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini