PENYANYI Ambon-Sunda kelahiran Semarang, yang kini jadi warga
Belanda itu, heran: lagu-lagunya laris di sini. Sedang ia tak
memperoleh apa-apa dari penjualan kaset yang membajak
karya-karyanya itu. Tapi, dengan rendah hati, ia mengaku cukup
berbahagia: karyanya, disukai bangsanya sendiri.
Sukses itu tak membuat ayah 2 orang 'anak itu (diperoleh dari
Alice, cewek Belanda yang dinikahinya 8 tahun lalu) jadi
angkuh. Sebaliknya malah. Dia bilahg, "sambutan besar, sambutan
kecil, talksoal. Kita orang harus tetap respek."
Itulah pula sikapnya pada penampilannya di Balai Sidang,
Senayan, Jumat pekan lalu. Sayang, pada pertunjukan pertama
pukul 20.00 (rencananya pukul 19.00) pengunjung gedung hanya 2/3
dan pertunjukan kedua pukul 23.00 (rencananya pukul 22.30) hanya
1/4, kurang dari seribu orang.
Berkaus hitam kemerlip dan celana putih gombrong, sejak awal
Daniel berusaha menghilangkan jarak dengan penonton.
Sebagaimana dikatakannya kepada TEMPO, "aku ini orang biasa.
Orang kecil. Jangan sebut aku bung atau oom." Dia kira sebutan
bung atau oom menunjukkan orang besar. Orang selalu menganggap
artis terkenal itu orang besar. "Itu tidak benar," katanya.
Penampilannya memang terasa akrab:
Kecuali lagu-lagunya sudah sangat dikenal dan dihapal banyak
orang, ia juga kocak. Mungkin karena bahasa Indonesia yang
dipakainya terdengar aneh, di samping campur baur dengan
bahasa-bahasa Ambon, Inggris dan Belanda. Tentu saja penonton
tertawa. Dan Daniel tersipu-sipu.
Sebelumnya, Achmad Albar dkk. muncul dengan lagu-lagu rock yang
tak menarik -- meskipun nomor Brother to Brother dari Gino
Vanelli diupayakannya sebagai klimaks, dengan asap segala.
Sesudah Broery, tiba-tiba sebuah grup kaum wadam nongol dengan
tari perut dan lagu India. Entah apa maksudnya. Ada juga Marini.
Diiringi grup Jopie Item dan kelompok orkestra, ditingkah paduan
suara Lex's Trio pada antara lain nomor Long Distance Highway,
Daniel merebut simpati. Dalam usia hampir 31 tahun, ia nampak
masih lugu. Tapi mudah bersahabat -- dengan kesederhanaannya
itu.
Ia bicara terbata-bata, cengar-cengir dan salah tingkah sambil
menggaruk-garuk kribonya. Kadang tertawa meletup, atau melompat
menghentakkan petikan gitarnya atau menghempaskan kelelahannya
di kursi dengan bebas.
Seperti melodi lagunya, ia menyanyi dengan perasaan tumpah dan
menyebarkan kesedihan atau kesunyian ke seluruh wajahnya yang
lebar segi empat. Matanya yang sipit dan mulutnya yang jebleh,
dengan tarikan sedikit saja memang mudah dimanfaatkan untuk
merengek. Tapi kecengengannya seperti tercermin pada
lirik-lirik lagunya -- tak menyebalkan benar. Setidak-tidaknya
ungkapannya tak terlalu klise.
In The Sun, You Make My World So Colourfull, Reflection, Love to
Love Finally Home Again, Judy dan Don't Sleep Away The Night --
yang paling populer dan disambut keplok riuh - memang
nomor-nomor manis. Bagai senandung dalam kamar para remaja
kasmaran atau kesepian.
Warga kota kecil Winterswijk itu dekat perbatasan Jerman --
bersama ibunya, Ny. Juariah alias Shallotta Wilhelmintje
Muhanap, 58 tahun, asal Serang Ja-Bar, buka rumah makan Sunda.
Sang ayah Pieters Simon Sahuleka, meninggal 10 tahun lalu,
setelah memberikan 2 orang adik pada Daniel. Daniel sendiri
dibawa ke Belanda ketika berusia 3 bulan.
Belajar main gitar sendirian, tanpa guru, sejak umur 10 tahun.
Sesudah bisa, ngamen di klub malam di Jerman -- yang bisa
ditempuhnya dengan sepeda dari Winterswijk. Rekaman single-nya
yang pertama, 1974, You Make.
World So Colourfull -- oleh perusahaan rekaman Polydor, dan
sukses di Belanda.
Lebih Tinggi.
Yang kedua, Long Distance Highway -- berirama reggae -- dan jadi
hit di disko-disko di sana. Maklum belakangan orang Eropa
keranjingan irama itu lagi, sesudahbosan ajojing dengan musik
disko ala Bee Gees. Toh Daniel belum memperoleh piringan
emas--yang menurut Daniel sendiri biasa diberikan Polydor untuk
omet 150 ribu ke atas. Kini ia punya 7 single dan 3 LP.
Kabarnya penyanyi yang banyak merokok, minum alkohol dan gemar
main bola serta lebih suka bertelanjang badan jika di kamar itu,
belum pernah nongol di televisi sana. Di majalah memang pernah,
antara lain Panorama, yang memasang gambarnya satu halaman:
hanya bercawat merah.
Di sini, sejak kedatangannya akhir Maret lalu, ia disambut
publisitas yang gencar dan serta merta muncul di TVRI, lengkap
dengan reportase perjalanan rindu kampungnya. Tak cuma itu.
Sebuah perusahaan rekaman langsung mengontraknya untuk
menyanyikan lagu-lagu ciptaan Barce van Houten (pimpinan
kelompok D'Lloyd) seru terjemahan lagu-lagu Daniel sendiri.
"Soalnya aku tak sempat bikin lagu di sini," kata Daniel. "Nanti
aku akan kembali lagi dengan lagu-lagu baru untuk rekaman di
sini," sambungnya. Dengan menyanyikan lagu orang lain, padahal
ia biasa menyanyikan lagu dan lirik cipuan sendiri, Daniel tak
takut cita rasa musiknya sendiri 'rusak'. "Aku pikir
lagu-lagunya tak jauh berbeda dengan warna musik aku punya,"
katanya tentang lagu-lagu Barce itu.
Barce sendiri mengaku menciptakannya khusus untuk Daniel. Ia
menyesuaikannya dengan warna Daniel sambil menyisipkan warna
yang kini lagi disukai di sini. "Tapi, lebih tinggi dari
lagu-lagu Indonesia umumnya," kaunya. Entah sampai seberapa
tingginya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini