SEBUAH jembatan di Kabupaten Musirawas (Sum-Sel) mendadak patah
tepat di tengah. Akibatnya lalulintas yang setiap hari padat,
sejak awal pekan lalu macet selama hampir seminggu. Padahal,
jembatan itu terletak di satu-satunya jalan penghubung antara
kawasan utara dan selatan Pulau Sumatera.
Karena itu sejak Minggu pagi 19 April itu puluhan truk dan bis
berderet di kedua ujung jembatan. Arus barang dan penumpang pun
macet. Kendaraan-kendaraan yang semestinya lewat di sana
terpaksa menginap di jalan. Tekstil dan barang kelontong maupun
penumpang dari Jakarta, terlambat tiba di Jambi, Padang dan
Medan. Begitu pula sayur-mayur, ikan, minyak goreng dari utara
terlambat sampai di Tanjungkarang maupun Jakarta.
Untuk sementara di barat jembatan dibuatkan jembatan ponton,
terdiri dari drum-drum berjajar dengan lantai papan di atasnya.
Keadaan ini, seperti biasa, mengundang penduduk mencari rezeki.
Orang dewasa dan anak-anak menyeberangkan kopor dan
barang-barang lain dengan ongkos Rp 1.000 sekali seberang.
Dibuat 1940
Itu tak berarti semuanya berjalan lancar. Para penumpang, juga
sopir bis dan truk, harus tetap waspada. Sebab jalan
Muarabungo-Lubuklinggau yang rusak parah itu memang cukup rawan.
Sejak lama banyak bis dan truk melengkapi diri dengan cangkul
untuk menguak lumpur, sementara para penumpang bis sudah pula
terbiasa mempersiapkan diri dengan peralatan memasak,
kalau-kalau harus bermalam karena kendaraan terperangkap dalam
lumpur.
Maka bisa dimaklum kalau seorang pedagang sampai mengeluarkan Rp
50.000 untuk menyeberangkan satu truk barang dagangannya. Sedang
para penumpang bis kali ini terpaksa turun, lantas meniti
jembatan ponton, pindah ke bis dari perusahaan yang sama yang
sudah menunggu di seberang lain.
Perampok juga sering muncul bila kendaraan mogok di tengah huun
belantara. Sutan Oloan, sopir Bis Lintas Sumatera bercerita,
bulan lalu kawannya dirampok Rp 1 juta, meliputi uang tunai dan
sejumlah barang dagangan.
Jembatan itu patah pada pagi hari Minggu pekan lalu. Waktu itu
seorang sopir truk penuh muatan batu koral sedang melewatinya.
Setiap hari berton-ton batu koral diangkut untuk membangun jalan
raya Lintas Sumarera yang saat itu pusat kegiatannya berada satu
kilometer di timur jembatan yng patah tadi.
Ketika truk tadi hampir mencapai ujung di seberang utara,
mendadak jembatan di atas Sungai Baal itu patah. "Suaranya keras
sekali, seperti ledakan dinamit. Dan dalam waktu dua detik
runtuh dari ketinggian lima meter," tutur Badaruddin, Pembarap
(sekretaris kepala desa) Terawas, Kecamatan BKL-Ulu, Musirawas,
yang jadi saksi mata.
Rumah panggung Badaruddin yang terbuat dari kayu kebetulan
berada di dekat jembatan itu, hanya sekitar 50 meter dari
sungai. Truk tadi masuk sungai, tapi pengemudinya selamat.
Kernetnya luka ringan. Seorang anak berusia 10 tahun, Bahasri,
yang sedang berada di jembatan luka ringan pula: dagunya
terluka, beberapa gigi depannya copot.
Jembatan berukuran 42 meter (panjang) dan 4 meter (lebar itu
memang sudah tua. Semula dibuat dari kayu oleh Belanda pada
1940. Di zaman perang kemerdekaan dibakar rakyat dan pada 1950
diganti jembatan bailey oleh Zeni AD. Dua tahun kemudian
diperbaiki lagi. Begitu cerita Tjik Ali, Pasirah Kepala Marga
Ulu Terawas.
Pada 1975, diperbaiki pula oleh Yon Zipur AD Kodam Sriwijaya.
Perbaikan masih dilakukan lagi pada 1979 dan terakhir pada
September 1980 lalu. Jembatan yang terletak 32 kilometer dari
Lubuklinggau (Sum-Sel) itu sesungguhnya hanyalah satu di antara
enam jembatan lainnya di jalur jalan Muara bungo Lubuklinggau.
Runtuhnya jembatan itu menurut Humas Departemen PU, lantaran
seringnya kendaraan-kendaraan berat melewatinya.
Kendaraan berat itu milik kontraktor Taiwan RSEA (Retired
Survey Engineering Agency) yang sekarang sedang menyelesaikan
pembangunan jalan raya Lintas Sumatera antara Muarabungo
Lubuklinggau sepanjang hampir 300 kilometer. Jalan-jalan yang
dikerjakan sejak tiga tahun lalu itu, diharapkan selesai akhir
1983.
Seringnya kendaraan berat melalui jembatan tersebut diakui oleh
Kepala Bagian Proyek Pembangunan Jalan Muarabungo Lubuklinggau,
Ir. Junius Hutabarat. "Paling tidak sehari 70 kali," katanya.
Padahal kendaraan lain yang juga setiap hari membebaninya tidak
kurang dari 300 buah -- yaitu kendaraan-kendaraan lokal maupun
yang menghubungkan belahan utara dan selatan Sumatera.
Jalan Muarabungo-Lubuklinggau memang jalan negara -- dan
karenanya jumlah kendaraan yang lewat tidak di, batasi. Yang
jadi soal ialah: setiap tahun kendaraan bertambah sedang
jembatan itu semakin uzur. "Karena itu iembatan yang patah itu,
memang sudah saatnya diganti," kata Kepala DPU Lahat Ir. H.
Iskandar Murti.
Apalagi selama ini di ujung-ujung embatan tidak ada papan
peringatan agar para pengemudi berhati-hati membawa kendaraannya
di atas jembatan tua itu. "Kalau para pengendara berhati-hati
dan mentaati peraturan, misalnya dengan melewatinya satu per
satu dan pelan-pelan jembatan itu masih mampu memikul beban
sampai sembilan ton," tambah Iskandar pula.
Tapi jembatan Sungai Baal sudah telanjur ambruk. Karena itu
sejak Rabu minggu lalu satu peleton Yon Zikon-12 Kodam Sriwijaya
dipimpin Kapten A. Subandi sibuk membenahinya. Bahan pembuat
jembatan bailey yang baru seberat 50 ton diangkut dengan 16 truk
lewat Padang. Diperkirakan selesai Sabtu, akhir pekan lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini