HARGA barang-barang di Pulau Bali terus meningkat sejak lalu
lintas ferry Gilimanuk-Banyuwangi (Ketapang) macet.
Barang-barang yang biasa mengalir dari Jawa melalui jalur
pelayaran itu tersendat-sendat, begitu pula barang-barang yang
seharusnya keluar dari Bali ke Jawa.
Itu terjadi sejak KM Ferry Kintamani yang biasa menghubungkan
kedua pelabuhan itu tenggelam pertengahan Maret lalu. Dan tak
lama kemudian, KMF Gilimanuk dan KMF Blambangan yang juga
menghubungkan kedua pelabuhan tadi harus masuk dok di Surabaya.
Padahal selama ini, ke-3 buah kapal itulah yng menjadi urat
nadi Jawa dan Bali.
Akibatnya cepat terasa pada harga barang-barang yang rata-rata
naik 15%. Bahkan beberapa jenis barang lebih besar lagi. "Harga
minuman, sampai pertengahan April, meningkat antara 50% sampai
100%," kata Ketua Kadin Bali, Gde Darmawan. Sebotol Teh Botol
semula Rp 100, sekarang menjadi Rp 200. Dan semen, harga resmi
Rp 2.300, menjadi Rp 3.200 per-zak.
Yang langsung merasa dirugikan karena kemacetan lalu lintas itu
adalah para petani dan pedagang jeruk serta salak Bali.
Pemasaran kedua jenis hasil kebun ini selama ini semata-mata ke
Jawa. Sehingga, "kalau dalam beberapa minggu lagi belum juga ada
ferry, jeruk-jeruk kami akan busuk," kata seorang petani jeruk
asal Buleleng, Nyonya Suradnya.
Rata-rata produksi jeruk Bali sekitar 2.000 ton/tahun, sedang
salak 1.000 ton/tahun. Bahkan sapi-sapi Bali yang terkenal itu
kini juga sulit menyeberang ke Jawa. Mestinya pada Januari-April
jatah sapi yang dikirim ke Jawa meliputi 5.000 ekor, "tapi
sampai pertengahan April ini realisasinya nol," kata Nyonya
Yutha, pengurus persatuan pedagang ternak di Bali.
Untunglah kemacetan lalu lintas ferry itu tidak begitu
menyulitkan para penumpang yang kebanyakan pelancong. KM Tongkol
yang biasanya melayari jalur Surabaya-Madura, sekarang membantu
mengisi kekosongan kapal penumpang. "KM Tongkol memang khusus
untuk mengangkut penumpang, bukan barang," kata Kepala Pelabuhan
Gilimanuk-Ketapang, Djati Santoso.
Apalagi sejak awal April sudah pula diturunkan enam buah kapal
kecil yang meskipun dikhususkan mengangkut barang, juga masih
bisa membawa penumpang. Tapi itu tidak berarti perjalanan sudah
normal kembali. Sebab meskipun bis malam dari Denpasar tetap
berjaan, hanya dapat mengangkut penumpang sampai Pelabuhan
Gilimanuk.
Di Gilimanuk penumpang turun, naik kapal untuk melanjutkan
perjalanan dengan bis lain dari Ketapang. Dan karena berangkat
dari Denpasar siang hari pukul 14.00 (biasanya sore pukul
18.00), baru tengah malarn para penumpang tiba di Surabaya.
"Terpaksa berangkat siang untuk menghindari antre di Gilimanuk,"
kata seorang petugas Perusahaan Bis Bali Indah.
Sementara itu arus barang tetap saja tersendat-sendat. Hal itu
antara lain karena kapal-kapal yang menggantikan peranan ferry
tidak memadai. Selain ukurannya memang tidak sebesar ferry,
keenam kapal tersebut tidak beroperasi selama 24 jam, melainkan
hanya dari pukul 5 pagi sampai pukul 19 malam saja. Truk barang
yang diseberangkan juga hanya sekiur 70 buah sehari. Padahal
ketika masih ada ferry, tak kurang dari 300 kendaraan bisa
diangkut setiap hari.
Bisa dimaklum kalau di kedua pelabuhan itu sekarang ratusan truk
berderet menunggu giliran diseberangkan. Setiap hari di
Gilimanuk terlihat lebih dari 400 truk antre. "Rata-rata mereka
antre empat-lima hari," ujar Djati Santoso. Bahkan ada yang
sudah delapan hari menunggu giliran.
Di Pelabuhan Ketapang, sepeti halnya di Gilimanuk, siang dan
malam selalu ramai. Ratusan truk dan kendaraan lain antre
hampir semua tempat kosong dimanfaatkan buat parkir. Sebagian
malah parkir di pinggir jalan raya. Di bawah beberapa pohon yang
rindang tampak para sopir dan kondektur bergolek-golek, Ada pula
yang tidur di kolong kendaraan.
Sementara tiga kapal ferry belum sempat melaut, pengaturan
penyeberangan diselenggarakan oleh perusahaan ekspedisi kapal PT
Trisila Laut. Begitu kendaraan sampai di pelabuhan, pemilik
barang atau sopir diharuskan mendapatkan karcis nomor antre
menurut jam kedatangan. Dalam keadaan seperti itu banyak orang
berusaha mendapatkan nomor kecil agar lebih cepat diseberangkan.
Untuk mendapatkan nomor kecil, ada pula yang menyogok petugas.
Menurut beberapa sopir sogokan itu berkisar antara Rp 20.000 dan
Rp 25.000. Tapi beberapa pemilik barang atau sopir umumnya hanya
membawa uang pas-pasan. Dalam keadaan normal, mereka membawa
sekitar Rp 200.000. Ongkos yang dikeluarkan dalam perjalanan
biasanya sekitar Rp 125.000. Lebihnya masuk kantung.
Kelebihan uang itu bisa dibawa pulang. "Tapi karena antrenya
lama -- dengan begitu pengeluaran juga bertambah -- maka
kelebihan itu jadi tidak ada artinya lagi. "Malah nombok," ucap
Wayan Sutama, sopir truk DK-6216-DB. "Kalau kemacetan ini masih
berlangsung untuk waktu yang lama, saya kapok pergi ke Jawa yang
rasanya sekarang terletak lebih jauh dari Bali," tambahnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini