Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Bali-Jawa Lebih Jauh

Dengan tenggelamnya kmf kintamani di selat bali. lalu lintas ferry antara bali-jawa menjadi macet. harga-harga di bali jadi melonjak. ratusan truk barang setiap hari antre diseberangkan.(dh)

2 Mei 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HARGA barang-barang di Pulau Bali terus meningkat sejak lalu lintas ferry Gilimanuk-Banyuwangi (Ketapang) macet. Barang-barang yang biasa mengalir dari Jawa melalui jalur pelayaran itu tersendat-sendat, begitu pula barang-barang yang seharusnya keluar dari Bali ke Jawa. Itu terjadi sejak KM Ferry Kintamani yang biasa menghubungkan kedua pelabuhan itu tenggelam pertengahan Maret lalu. Dan tak lama kemudian, KMF Gilimanuk dan KMF Blambangan yang juga menghubungkan kedua pelabuhan tadi harus masuk dok di Surabaya. Padahal selama ini, ke-3 buah kapal itulah yng menjadi urat nadi Jawa dan Bali. Akibatnya cepat terasa pada harga barang-barang yang rata-rata naik 15%. Bahkan beberapa jenis barang lebih besar lagi. "Harga minuman, sampai pertengahan April, meningkat antara 50% sampai 100%," kata Ketua Kadin Bali, Gde Darmawan. Sebotol Teh Botol semula Rp 100, sekarang menjadi Rp 200. Dan semen, harga resmi Rp 2.300, menjadi Rp 3.200 per-zak. Yang langsung merasa dirugikan karena kemacetan lalu lintas itu adalah para petani dan pedagang jeruk serta salak Bali. Pemasaran kedua jenis hasil kebun ini selama ini semata-mata ke Jawa. Sehingga, "kalau dalam beberapa minggu lagi belum juga ada ferry, jeruk-jeruk kami akan busuk," kata seorang petani jeruk asal Buleleng, Nyonya Suradnya. Rata-rata produksi jeruk Bali sekitar 2.000 ton/tahun, sedang salak 1.000 ton/tahun. Bahkan sapi-sapi Bali yang terkenal itu kini juga sulit menyeberang ke Jawa. Mestinya pada Januari-April jatah sapi yang dikirim ke Jawa meliputi 5.000 ekor, "tapi sampai pertengahan April ini realisasinya nol," kata Nyonya Yutha, pengurus persatuan pedagang ternak di Bali. Untunglah kemacetan lalu lintas ferry itu tidak begitu menyulitkan para penumpang yang kebanyakan pelancong. KM Tongkol yang biasanya melayari jalur Surabaya-Madura, sekarang membantu mengisi kekosongan kapal penumpang. "KM Tongkol memang khusus untuk mengangkut penumpang, bukan barang," kata Kepala Pelabuhan Gilimanuk-Ketapang, Djati Santoso. Apalagi sejak awal April sudah pula diturunkan enam buah kapal kecil yang meskipun dikhususkan mengangkut barang, juga masih bisa membawa penumpang. Tapi itu tidak berarti perjalanan sudah normal kembali. Sebab meskipun bis malam dari Denpasar tetap berjaan, hanya dapat mengangkut penumpang sampai Pelabuhan Gilimanuk. Di Gilimanuk penumpang turun, naik kapal untuk melanjutkan perjalanan dengan bis lain dari Ketapang. Dan karena berangkat dari Denpasar siang hari pukul 14.00 (biasanya sore pukul 18.00), baru tengah malarn para penumpang tiba di Surabaya. "Terpaksa berangkat siang untuk menghindari antre di Gilimanuk," kata seorang petugas Perusahaan Bis Bali Indah. Sementara itu arus barang tetap saja tersendat-sendat. Hal itu antara lain karena kapal-kapal yang menggantikan peranan ferry tidak memadai. Selain ukurannya memang tidak sebesar ferry, keenam kapal tersebut tidak beroperasi selama 24 jam, melainkan hanya dari pukul 5 pagi sampai pukul 19 malam saja. Truk barang yang diseberangkan juga hanya sekiur 70 buah sehari. Padahal ketika masih ada ferry, tak kurang dari 300 kendaraan bisa diangkut setiap hari. Bisa dimaklum kalau di kedua pelabuhan itu sekarang ratusan truk berderet menunggu giliran diseberangkan. Setiap hari di Gilimanuk terlihat lebih dari 400 truk antre. "Rata-rata mereka antre empat-lima hari," ujar Djati Santoso. Bahkan ada yang sudah delapan hari menunggu giliran. Di Pelabuhan Ketapang, sepeti halnya di Gilimanuk, siang dan malam selalu ramai. Ratusan truk dan kendaraan lain antre hampir semua tempat kosong dimanfaatkan buat parkir. Sebagian malah parkir di pinggir jalan raya. Di bawah beberapa pohon yang rindang tampak para sopir dan kondektur bergolek-golek, Ada pula yang tidur di kolong kendaraan. Sementara tiga kapal ferry belum sempat melaut, pengaturan penyeberangan diselenggarakan oleh perusahaan ekspedisi kapal PT Trisila Laut. Begitu kendaraan sampai di pelabuhan, pemilik barang atau sopir diharuskan mendapatkan karcis nomor antre menurut jam kedatangan. Dalam keadaan seperti itu banyak orang berusaha mendapatkan nomor kecil agar lebih cepat diseberangkan. Untuk mendapatkan nomor kecil, ada pula yang menyogok petugas. Menurut beberapa sopir sogokan itu berkisar antara Rp 20.000 dan Rp 25.000. Tapi beberapa pemilik barang atau sopir umumnya hanya membawa uang pas-pasan. Dalam keadaan normal, mereka membawa sekitar Rp 200.000. Ongkos yang dikeluarkan dalam perjalanan biasanya sekitar Rp 125.000. Lebihnya masuk kantung. Kelebihan uang itu bisa dibawa pulang. "Tapi karena antrenya lama -- dengan begitu pengeluaran juga bertambah -- maka kelebihan itu jadi tidak ada artinya lagi. "Malah nombok," ucap Wayan Sutama, sopir truk DK-6216-DB. "Kalau kemacetan ini masih berlangsung untuk waktu yang lama, saya kapok pergi ke Jawa yang rasanya sekarang terletak lebih jauh dari Bali," tambahnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus