OPERASI Tertib (Opstib) dibenarkan menjebak siapa saja yang
berdasarkan dugaan hendak melakukan suatu kejahatan. Dan
pengadilan sertamerta akan menghukum si tersangka yang
perkaranya diterbitkan Opstib berdasarkan jebakan yang telah
terlebih dulu diatur.
Kesimpulan itu tercermin dari keputusan perkara pemerasan
menyangkut Jaksa Setyana, bekas Kabag Wanita & Anak pada
Kejaksaan Tinggi Jakarta, yang rupanya telah mempunyai kekuatan
hukum yang tetap. Minggu lalu keputusan Mahkamah Agung mengenai
perkara kasasi tersebut telah turun. Jaksa Setyana (46 tahun)
dihukum pidana penjara 8 bulan dengan masa percobaan 2 tahun.
Dengan demikian MA membenarkan keputusan pengadilan sebelumnya,
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan Pengadilan Tinggi Jakarta,
yang mempersalahkan Setyana melakukan tindak pidana pemerasan.
Kejahatan tersebut dilakukan Setyana sekitar 4 tahun lalu
--ketika Opstib sedang gencar melakukan operasi antipungutan
liar. Jaksa itu sebenarnya mengurus perkara penipuan yang
menyangkut Nyonya Jubaedah sebagai tersangka. Tapi melalui
seorang perantara, Setyana berhubunm dengan suami pesakitannya,
Ho Yin Hiung. Jaksa itu, begitu menurut cerita Opstib, memeras
Ho agar menyerahkan sejumlah uang. Kalau tidak, Jubaedah akan
ditahan.
Ho melaporkan permintaan Setyana tersebut kepada Opstib. Dan
sebuah tim antipungli segera mengatur jebakan. Berhasil baik
Jaksa Setyana tertangkap basah. Kapten Ferry, petugas Opstib,
memperoleh bukti uang Rp 1 juta dari laci meja kerja Setyana.
Sekaligus juga saksi, Ho sendiri, yang didudukkannya sebagai si
terperas -- bukan si penyuap -- untuk melepaskannya dari tuduhan
menyogok pegawai negeri.
Nasib Pelapor
Para pembela, Budhi Sutrisno dan Azhar Ahmad, menyatakan Kasus
Setyana merupakan jebakan licik Ho. Tujuannya semata-mata hendak
mengalihkan perhatian penegak hukum dari perkara penggelapan dan
penipuan yang dilakukan istrinya. Tapi, Majelis Hakim di bawah
piminan J.Z. Loudoe (yang kini ditahan! Opstib juga dalam
perkara penyalahgunaan jabatan) berpendapat? "Ho bukan melakukan
penjebakan sendiri. "
Orang itu, kata Loudoe, "hanya alat Opstib belaka untuk
menertibkan aparatur negara." Seraya menyetujui cara Opstib
menerbitkan suatu perkara, melalui jebakan yang diatur
sebelumnya, Loudoe mengatakan: "Ho, sebagai orang yang
melaporkan kepada Opstib, tidak dapat dituntut" (TEMPO, 22
Juli 1978).
Pertimbangan tersebut dibenarkan Mahkamah Agung. Keputusan
kasasi, 9 April lalu, membuat keputusan perkara yang dibuat
opstib mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Ini berarti jebakan
kini menjadi salah satu alat pembuktian yang sah. "Kalau orang
yang dijebak tidak mau, meski dipaksa juga tetap tidak mau,
barulah penjebaknya yang bisa dianggap jahat," kata Ketua MA
Moedjono.
Menteri Kehakiman Ali Said, bekas Jaksa Agung, sebenarnya tak
setuju mengolah perkara dengan cara penjebakan. Hal itu
dikemukakannya kepada TEMPO selesai menyerahkan jabatannya
kepada Ismail saleh belum lama ini. Tapi tentang perbuatan
Setyana, katanya, "kalau saya benarkan, tak mungkin anak itu
sampai diadili."
Apa kabar Setyana? Oleh keputusan kasasi tersebut, memang ia
tetap boleh berada di luar penjara -- karena ia hanya "dihukum
percobaan." Upaya hukum yang masih dapat ditempuhnya, katanya,
hanya minta grasi presiden. Hingga saat ini ia masih belum
diberhentikan, meski ia sudah mulai bekerja di kantor
pembelanya, Budhi Sutrisno.
Mudah-mudahan hukuman percobaan terhadap Setyana tak menjadi
bukti pula bahwa kejahatan pemerasan itu enteng hukumannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini