MOHAMMAD HATTA -- MEMOIR (Jilid I)
Penerbit: PT Tintamas Indonesia Jakarta, 1979, X + 597 h., 24 X
16 cm.
LAHIR 12 Agustus 1902 di Bukittinggi, Dr. Mohammad Hatta telah
menempuh jalan hayat yang panjang. Sebagai umumnya jalan seorang
patriot-pejuang tanah jajahan, jalan itu tak bertabur mawar
segar dan dibasuh emas sinar bulan purnama. Tidak, melainkan
melalui sengsara, penjara dan pembuangan, tapi pada akhirnya
mahkota kemenangan perjuangan.
Di dalam memoar yang ditulis dengan jelas dan jujur, kebanyakan
dengan berbicara dari hati ke hati, kepada kita diperkenalkan
Bung Hatta latar belakang keluarganya, pendidikannya sejak kecil
dan pengalamannya. Tapi di samping itu memoar ini pun penting
karena mengilaskan kepada kita secercah masa muda
patriot-patriot besar kita. Antara lain Bahder Djohan, Arnold
Molonutu. Nazir St. Pamontiak Ali Sastroamidjojo, Iwa
Koesoemasoemantri, Achmad Soebardjo dan lain-lain. Di samping
itu terdapat orang yang bimbang dan pengkhianat profesional
seperti penyair imitator R.M. Noto Soeroto.
Peristiwa-peristiwa besar diungkapkan dengan mendetail.
Seperti: Kongres Menentang Imperialisme dan Penindasan Kolonial
(10 - 15 Februari 1926) di Brussel Kongres Demokrasi (14 - 16
Agustus 1926) di Bierville, dekat Paris penahanan dan
peradilan tokoh-tokoh Perhimpunan Indonesia, yakni M. Hatta,
Nazir St Pamontjak, Ali Sastroamidjojo dan Abdoelmadjid
Djojoadhiningrat (23 September 1927 hingga 22 Maret 1928) yang
berakhir dengan kemenangan gemilang demokrasi atas penindasan
hak-hak asasi manusia. Peristiwa itu menunjukkan pula, bahwa
pola negara polisi Hindia Belanda tak dapat diterapkan di
Nederland yang berdasarkan hukum.
Digambarkan pula pertemuan dengan tokoh-tokoh penting Semaoen,
Darsono dan Tan Malaka serta Jawaharlal Nehru, K.M. Pannikar,
James Maxton dan Edo Fimmen yang merupakan tokoh-tokoh
internasional penentang kolonialisme pada masa itu.
Setelah tamat Sekolah Tinggi Dagang (Handelshoogeshool) pada
tanggal 5 Juli 1932 Hatta pulang ke Indonesia (berangkat dari
Rotterdam 20 Juli 1932), yakni setelah berada sebelas tahun di
Nederland. Sebagai seorang pejuang Hatta tak sempat lama
beristirahat. Prihatin atas dibubarkannya PNI oleh ketuanya
sendiri, Sartono, bersama St. Sjahrir dan lain-lain ia
mendirikan Pendidikan Nasional Indonesia (PNI) yang
titik berat kegiatannya mendidik kader-kader perjuangan politik.
Hanya kurang dari satu setengah tahun ia sempat aktif bergerak.
Pada tanggal 31 Juli 1933 ir. Soekarno ditangkap polisi kolonial
untuk kedua kalinya. Kali ini selaku ketua Partindo. Hatta masih
sempat membelanya di dalam mingguan Daulat Rakyat dan berpesan
kepada Partindo supaya perjuargan tetap diteruskan.
Tapi lima bulan kemudian ia sendiri, Sjahrir, Bondan, Maskoen,
Moerwoto dan dua orang keturunan Tionghoa dari Medan (yang
seorang setahu saya Chang Chi-hsek) ditangkap. Pada minggu
pertama Januari 1935 mereka diboyong ke Digul Udik -- kawah
Candradimuka pejuang kemerdekaan Indonesia yang pantang
kompromi! Di Digul Hatta tetap non-kooperatif serta melewatkan
waktunya dengan memberikan kursus ekonomi dan filsafat kepada
kawan-kawannya.
Tapi pada akhir Desember 1935 atau awal Januari 1936 (ia tak
pasti lagi) ia dan Sjahrir dipindahkan ke Banda Neira. Di sana
telah dibuang Mr. Iwa Koesoemasoemantri dan dokter Tjipto
Mangoenkoesoemo. Berbeda dengan di Digul, di sana mereka
mendapat tunjangan F 75, sebulan dan mendiami rumah
masing-masing yang layak. Di sini pun Hatta-Sjahrir giat
mendidik. Bahkan Sjahrir --yang hobinya mendidik
anak-anak-sempat mengangkat tiga orang anak kecil dari keluarga
Baadilla Ali, Lili dan Mimi.
Pada tahun 1939 keluarga Iwa dipindahkan ke Makassar menyusul
keluarga Tjipto pada tahun 1940. Tapi baru pada detik-detik
terakhir kekuasaan Belanda, menjelang masuknya tentara Jepang,
Hatta-Sjahrir dengan pontang-panting diangkut dengan pesawat
terbang amfibi Catalina ke Surabaya pada bulan Januari 1942.
Jangan salah sangka tidak untuk dimerdekakan! Mereka diinternir
ke Sukabumi, di mana dokter Tjipto baru saja dibebaskan, karena
diperlukar untuk menentang fasisme Jepang.
Kisah Soekarno-Hatta pada zaman Jepang telah kita ketahui
dengan baik. Dua orang pemimpin dengan temperamen yang berbeda,
yang bahkan pernah terlibat di dalam suatu polemik sengit
tentang non-kooperasi sebagai asas atau taktik, namun dengan
jiwa besar mengesampingkan perbedaan mereka untuk suatu
kerjasama politik yang bersejarah.
Mengenai periode ini secara kronologik Hatta memaparkan segala
peristiwa politik yang penting Tiga A-nya H. Shimizu, Putera
(Pusat Tenaga Rakyat) dan Jawa Hookookai serta Peta (Barisan
Pembela Tanah Air). Tapi yang penting: ia mengungkapkan, bahwa
pada bulan November 1943 pernah ada usaha pimpinan angkatan
darat Jepang untuk 'membuang'nya ke Tokyo, supaya ia terpencil
dari perkembangan politik di Indonesia. Ini suatu penyingkapan
baru yang belum umum kita ketahui. Soekarno-Hatta berhasil
mengatasi cobaan tersebut. Mungkin karena perkembangan situasi
yang telah melanjut sebagai akibat strategi lompatan besar (big
jumps) Jenderal Douglas Mac Arthur.
Pembentukan Panitia Penyelidik Usaha-usaha Kemerdekaan Indonesia
(Mei 1944) serta sidang-sidangnya (sejak 29 Mei 1945) dan
lahirnya Pancasila (pada tanggal 1 Juni 1945) diuraikan secara
cukup mendetil. Demikian pula pembentukan Panitia Persiapan
Kemerdekaan (pada awal Agustus 1945) dengan 9 orang anggota dari
Jawa dan 12 orang dari luar Jawa. Tapi yang terpenting apa yang
digambarkan Hatta adalah pertemuan Soekarno-Hatta dengan
Jenderal Terauchi di Dalat 300 km sebelah Utara Saigon) pada
tanggal 12 Agustus 1945. Pada kesempatan itulah Terauchi atas
nama Pemerintah Jepang menjanjikan kemerdekaan Indonesia di
dalam waktu singkat setelah sidang Parlemen Jepang ke-85.
Di Saigon sebelum pulang ke Indonesia pada tanggal 12 Agustus
1945 itu juga jam 16.30 Letnan Kolonal Nomura memberitahu
Soekarno-Hatta perihal serbuan tentara Soviet ke Manchuria yang
dijajah Jepang. (Tak diterangkan, bahwa pulau Sakhalin bagian
selatan di sebelah utara Hokkaido juga telah diserbu).
Yang terpenting di dalam memoarnya ini adalah versinya tentang
desakan Sjahrir dan beberapa orang pemuda, untuk
memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 15 Agustus
1945 oleh Soekarno sendiri atas nama rakyat Indonesia di luar
Panitia PeYsiapan Kemedekaan, yang dibentuk oleh penguasa
Jepang. Telah banyak ditulis orang tentang hal ini yang
kontroversial satu sama lain dan tak sunyi dari mitos dan memuji
diri. Tak mudah bagi seorang peneliti yang mau objektif ilmiah
untuk mengeluarkan diri dari suatu keberpihakan -- disengaja
atau tidak.
Dichtung und Wahrheit
Bahan-bahan yang diberikan Hatta mengenai hal ini sebagai
imbuhan kepada karangannya yang berjudul Dicbtung und Wahrheit
di dalam mingguan Mimbar Indonesia pada tengahan tahun
limapuluhan sangatlah berharga. Demikian pula keterangannya
tentang latar belakang pengubahan diktum Piagam Jakarta menjadi
seperti yang diputuskan oleh sidang terakhir Panitia Persiapan
Kemerdekaan pada tanggal 18 Agustus 1945 yang menjadi teks final
UUD 1945.
Peristiwa demi peristiwa sejak detik proklamasi kemerdekaan
hingga apa yang disebut penyerahan kedaulatan (yang di mata kaum
Republikein sebenarnya pengakuan kedaulatan) dipaparkan Hatta
secara kronologik dan terperinci, walaupun singkat. Pewarnaan
insani (human colouring), terutama sejak Soekarno-Hatta ditawan
Belanda pada tanggal 19 Desember 1948, hanyalah memberikan
kehangatan pribadi kepada pembaca. Dari sudut historiografi
ketelitian historisitasnya memerlukan pembandingan tekun dengan
banyak sumber lainnya. Tapi justru pewarnaan insani itulah yang
merupakan syarat pokok sebuah memoar. Dan karena
kualitas-kualitas tersendiri itu saya kira para pembaca ingin
selekasnya dapat membaca jilid berikutnya memoar Hatta.
Kalau ada yang sebenarnya sangat diharapkan pembaca adalah
supaya Bung Hatta lebih membuka dirinya pribadi. Kita kenal Bung
Hatta sebagai patriot, pejuang, mukmin yang saleh, pembaca yang
tekun, penulis yang produktif dan orang yang gruendlich terutama
mengenai waktu dan janji. Tapi kita pun ingin mengenalnya
sebagai manusia pribadi, kekasih dan pengasih, suami dan ayah,
justru karena manusia tak hanya terdiri dari segi-segi yang
impersonal belaka.
Disain dan tipografi buku cukup baik, tapi eloklah kalau salah
cetaknya tak terlalu royal.
S.I. Poeradisastra
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini