Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Sengsara, penjara dan kemerdekaan

Pengarang: dr. mohammad hatta jakarta: tintamas indonesia, 1979 resensi oleh: s.i. poeradisastra.

29 Desember 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MOHAMMAD HATTA -- MEMOIR (Jilid I) Penerbit: PT Tintamas Indonesia Jakarta, 1979, X + 597 h., 24 X 16 cm. LAHIR 12 Agustus 1902 di Bukittinggi, Dr. Mohammad Hatta telah menempuh jalan hayat yang panjang. Sebagai umumnya jalan seorang patriot-pejuang tanah jajahan, jalan itu tak bertabur mawar segar dan dibasuh emas sinar bulan purnama. Tidak, melainkan melalui sengsara, penjara dan pembuangan, tapi pada akhirnya mahkota kemenangan perjuangan. Di dalam memoar yang ditulis dengan jelas dan jujur, kebanyakan dengan berbicara dari hati ke hati, kepada kita diperkenalkan Bung Hatta latar belakang keluarganya, pendidikannya sejak kecil dan pengalamannya. Tapi di samping itu memoar ini pun penting karena mengilaskan kepada kita secercah masa muda patriot-patriot besar kita. Antara lain Bahder Djohan, Arnold Molonutu. Nazir St. Pamontiak Ali Sastroamidjojo, Iwa Koesoemasoemantri, Achmad Soebardjo dan lain-lain. Di samping itu terdapat orang yang bimbang dan pengkhianat profesional seperti penyair imitator R.M. Noto Soeroto. Peristiwa-peristiwa besar diungkapkan dengan mendetail. Seperti: Kongres Menentang Imperialisme dan Penindasan Kolonial (10 - 15 Februari 1926) di Brussel Kongres Demokrasi (14 - 16 Agustus 1926) di Bierville, dekat Paris penahanan dan peradilan tokoh-tokoh Perhimpunan Indonesia, yakni M. Hatta, Nazir St Pamontjak, Ali Sastroamidjojo dan Abdoelmadjid Djojoadhiningrat (23 September 1927 hingga 22 Maret 1928) yang berakhir dengan kemenangan gemilang demokrasi atas penindasan hak-hak asasi manusia. Peristiwa itu menunjukkan pula, bahwa pola negara polisi Hindia Belanda tak dapat diterapkan di Nederland yang berdasarkan hukum. Digambarkan pula pertemuan dengan tokoh-tokoh penting Semaoen, Darsono dan Tan Malaka serta Jawaharlal Nehru, K.M. Pannikar, James Maxton dan Edo Fimmen yang merupakan tokoh-tokoh internasional penentang kolonialisme pada masa itu. Setelah tamat Sekolah Tinggi Dagang (Handelshoogeshool) pada tanggal 5 Juli 1932 Hatta pulang ke Indonesia (berangkat dari Rotterdam 20 Juli 1932), yakni setelah berada sebelas tahun di Nederland. Sebagai seorang pejuang Hatta tak sempat lama beristirahat. Prihatin atas dibubarkannya PNI oleh ketuanya sendiri, Sartono, bersama St. Sjahrir dan lain-lain ia mendirikan Pendidikan Nasional Indonesia (PNI) yang titik berat kegiatannya mendidik kader-kader perjuangan politik. Hanya kurang dari satu setengah tahun ia sempat aktif bergerak. Pada tanggal 31 Juli 1933 ir. Soekarno ditangkap polisi kolonial untuk kedua kalinya. Kali ini selaku ketua Partindo. Hatta masih sempat membelanya di dalam mingguan Daulat Rakyat dan berpesan kepada Partindo supaya perjuargan tetap diteruskan. Tapi lima bulan kemudian ia sendiri, Sjahrir, Bondan, Maskoen, Moerwoto dan dua orang keturunan Tionghoa dari Medan (yang seorang setahu saya Chang Chi-hsek) ditangkap. Pada minggu pertama Januari 1935 mereka diboyong ke Digul Udik -- kawah Candradimuka pejuang kemerdekaan Indonesia yang pantang kompromi! Di Digul Hatta tetap non-kooperatif serta melewatkan waktunya dengan memberikan kursus ekonomi dan filsafat kepada kawan-kawannya. Tapi pada akhir Desember 1935 atau awal Januari 1936 (ia tak pasti lagi) ia dan Sjahrir dipindahkan ke Banda Neira. Di sana telah dibuang Mr. Iwa Koesoemasoemantri dan dokter Tjipto Mangoenkoesoemo. Berbeda dengan di Digul, di sana mereka mendapat tunjangan F 75, sebulan dan mendiami rumah masing-masing yang layak. Di sini pun Hatta-Sjahrir giat mendidik. Bahkan Sjahrir --yang hobinya mendidik anak-anak-sempat mengangkat tiga orang anak kecil dari keluarga Baadilla Ali, Lili dan Mimi. Pada tahun 1939 keluarga Iwa dipindahkan ke Makassar menyusul keluarga Tjipto pada tahun 1940. Tapi baru pada detik-detik terakhir kekuasaan Belanda, menjelang masuknya tentara Jepang, Hatta-Sjahrir dengan pontang-panting diangkut dengan pesawat terbang amfibi Catalina ke Surabaya pada bulan Januari 1942. Jangan salah sangka tidak untuk dimerdekakan! Mereka diinternir ke Sukabumi, di mana dokter Tjipto baru saja dibebaskan, karena diperlukar untuk menentang fasisme Jepang. Kisah Soekarno-Hatta pada zaman Jepang telah kita ketahui dengan baik. Dua orang pemimpin dengan temperamen yang berbeda, yang bahkan pernah terlibat di dalam suatu polemik sengit tentang non-kooperasi sebagai asas atau taktik, namun dengan jiwa besar mengesampingkan perbedaan mereka untuk suatu kerjasama politik yang bersejarah. Mengenai periode ini secara kronologik Hatta memaparkan segala peristiwa politik yang penting Tiga A-nya H. Shimizu, Putera (Pusat Tenaga Rakyat) dan Jawa Hookookai serta Peta (Barisan Pembela Tanah Air). Tapi yang penting: ia mengungkapkan, bahwa pada bulan November 1943 pernah ada usaha pimpinan angkatan darat Jepang untuk 'membuang'nya ke Tokyo, supaya ia terpencil dari perkembangan politik di Indonesia. Ini suatu penyingkapan baru yang belum umum kita ketahui. Soekarno-Hatta berhasil mengatasi cobaan tersebut. Mungkin karena perkembangan situasi yang telah melanjut sebagai akibat strategi lompatan besar (big jumps) Jenderal Douglas Mac Arthur. Pembentukan Panitia Penyelidik Usaha-usaha Kemerdekaan Indonesia (Mei 1944) serta sidang-sidangnya (sejak 29 Mei 1945) dan lahirnya Pancasila (pada tanggal 1 Juni 1945) diuraikan secara cukup mendetil. Demikian pula pembentukan Panitia Persiapan Kemerdekaan (pada awal Agustus 1945) dengan 9 orang anggota dari Jawa dan 12 orang dari luar Jawa. Tapi yang terpenting apa yang digambarkan Hatta adalah pertemuan Soekarno-Hatta dengan Jenderal Terauchi di Dalat 300 km sebelah Utara Saigon) pada tanggal 12 Agustus 1945. Pada kesempatan itulah Terauchi atas nama Pemerintah Jepang menjanjikan kemerdekaan Indonesia di dalam waktu singkat setelah sidang Parlemen Jepang ke-85. Di Saigon sebelum pulang ke Indonesia pada tanggal 12 Agustus 1945 itu juga jam 16.30 Letnan Kolonal Nomura memberitahu Soekarno-Hatta perihal serbuan tentara Soviet ke Manchuria yang dijajah Jepang. (Tak diterangkan, bahwa pulau Sakhalin bagian selatan di sebelah utara Hokkaido juga telah diserbu). Yang terpenting di dalam memoarnya ini adalah versinya tentang desakan Sjahrir dan beberapa orang pemuda, untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 15 Agustus 1945 oleh Soekarno sendiri atas nama rakyat Indonesia di luar Panitia PeYsiapan Kemedekaan, yang dibentuk oleh penguasa Jepang. Telah banyak ditulis orang tentang hal ini yang kontroversial satu sama lain dan tak sunyi dari mitos dan memuji diri. Tak mudah bagi seorang peneliti yang mau objektif ilmiah untuk mengeluarkan diri dari suatu keberpihakan -- disengaja atau tidak. Dichtung und Wahrheit Bahan-bahan yang diberikan Hatta mengenai hal ini sebagai imbuhan kepada karangannya yang berjudul Dicbtung und Wahrheit di dalam mingguan Mimbar Indonesia pada tengahan tahun limapuluhan sangatlah berharga. Demikian pula keterangannya tentang latar belakang pengubahan diktum Piagam Jakarta menjadi seperti yang diputuskan oleh sidang terakhir Panitia Persiapan Kemerdekaan pada tanggal 18 Agustus 1945 yang menjadi teks final UUD 1945. Peristiwa demi peristiwa sejak detik proklamasi kemerdekaan hingga apa yang disebut penyerahan kedaulatan (yang di mata kaum Republikein sebenarnya pengakuan kedaulatan) dipaparkan Hatta secara kronologik dan terperinci, walaupun singkat. Pewarnaan insani (human colouring), terutama sejak Soekarno-Hatta ditawan Belanda pada tanggal 19 Desember 1948, hanyalah memberikan kehangatan pribadi kepada pembaca. Dari sudut historiografi ketelitian historisitasnya memerlukan pembandingan tekun dengan banyak sumber lainnya. Tapi justru pewarnaan insani itulah yang merupakan syarat pokok sebuah memoar. Dan karena kualitas-kualitas tersendiri itu saya kira para pembaca ingin selekasnya dapat membaca jilid berikutnya memoar Hatta. Kalau ada yang sebenarnya sangat diharapkan pembaca adalah supaya Bung Hatta lebih membuka dirinya pribadi. Kita kenal Bung Hatta sebagai patriot, pejuang, mukmin yang saleh, pembaca yang tekun, penulis yang produktif dan orang yang gruendlich terutama mengenai waktu dan janji. Tapi kita pun ingin mengenalnya sebagai manusia pribadi, kekasih dan pengasih, suami dan ayah, justru karena manusia tak hanya terdiri dari segi-segi yang impersonal belaka. Disain dan tipografi buku cukup baik, tapi eloklah kalau salah cetaknya tak terlalu royal. S.I. Poeradisastra

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus