SATU kelompok peserta menyanyikan Putri Solo dalam gaya musik
Hawaiian. Lagu keroncong langgam Jawa yang memuja kecantikan
putri Solo itu, tentu saja menjadi aneh dibawakan dengan irama
Lautan Teduh. Paling tidak antara lagu yang mengalun, melenggok
dengan liriknya tak lagi sejalan. Ini sebuah parodi yang memang
membuat tertawa penonton, Selasa malam pekan Ialu di Teater
Terbuka Taman Ismail Marzuki, dalam babak finaI Lomba Musik
Humor.
Kejutan kedua, keputusan dewan juri yang sekaligus dibacakan
malam itu juga, ternyata di antara 5 peserta yang terpilih,
peserta Putri Solo tak tercantum.
Kelompok Rhese dari Yogyakarta yang tampil dengan berbagai jenis
alat bukan musik (ada gentong, ada botol, ada ban mobil)
terpilih sebagai juara pertama. Memang boleh. Dengan lagu
iptaan sendiri, ternyata memang musiknya mampu menggugah rasa
humor tanpa dibantu liriknya. Bedunk-bendunk dari Jakarta
menduduki tempat ketua. Agak sulit diterima barangkali, terutama
kelompok ini jelas-jelas lebih mengandalkan penampilan di
panggungnya sebagai modal memancing tawa. Itu pun dikerjakan
secara vulgar menari-nari naik kuda lumping, atau menirukan
gerak boneka. Tempat ketiga ditempati kelompok Gono-gini dari
Surakarta. Ini juga. Tawa penonton lebih datang dari pola mereka
di panggung dan musik hanya sebagai latar belakng saja. Juara
harapan pertama dan kedua direbut peserta tunggal: Iwan dan Tom
Slepe dari Jakarta. Lumayan paling tidak menunjukkan penguasaan
gitar dan harmonika yang mereka bawakan untuk menyuguhkan lagu
-- yang kira-kir. cukup lucu.
Dengan begitu kedudukan kelompok The Klombhoor's yang
membawakan Putri Solo yang tak meraih nomor ini agak sulit
dipahami. Kecuali Rhese dan kedua peserta tunggal, rasanya
pemenang bisa dikategorikan sebagai lawak dengan latar belakang
musik. Lantas bagaimana dengan musik humor?
Lomba Musik Humor, salah satu acara Pekan Humor di Taman Ismail
Marzuki, diselenggarakan oleh Lembaga Humor Indonesia, memang
hal baru. LHI ingin memenuhi "kebutuhan akan humor total." Yakni
"humor auditif -- tak hanya yang verbal atau visual saja," kata
Arwah Setiawan, Ketua LHI.
Suka Hardjana, dosen Akademi Musik LPKJ, yang menjadi juri
bersama Frans Harjadi dan Kasijanto (yang terakhir ini katanya
mewakili "awam musik"), mengatakan musik humor sendiri
sebenarnya bukan barang baru. Frans menyetujuinya. Disebutkannya
Pangkur Jenggleng almarhum Basijo, misalnya, yang bisa
dimasukkan dalam kategori ini.
Juga salah satu karya komponis besar, Mozart, yang kira-kira
judulnya bisa diterjemahkan menjadi Musik orang-orang Desa.
Mozart seperti diketahui menciptakan musik itu diilhami cara
main orang desa di Austria -- yang sering sumbang. Oleh
komponis itu ide sumbang lantas dituangkan dalam ciptaannya.
"Tapi ini memang membutuhkan kepekaan humor yang tinggi," kata
Frans.
Jelasnya, menurut Suka, "dalam musik ada kaidah-kaidah tertentu,
dan ini bisa menimbulkan efek lucu kalau dijungkirbalikkan."
Karena itu jelas, yang bisa menangkap humornya memang yang tahu
musik. Tapi, seperti juga dalam bentuk yang lain (kartun atau
cerita), humor memang daya jangkaunya terbatas -- sering sangat
terpaut dengan lingkungan tertentu saja.
Happy Birthday to You
Menyaksikan penampilan 20 peserta lomba ini, juga terlihat bahwa
humor musik lebih sulit dibanding bentuk lain. "Barangkali
karena sifat musik yang abstrak itu," kata Frans. Ini untuk
tuntutan yang mungkin terlalu tinggi, memang membutuhkan
keahlian profesional.
Lihatlah contoh lain Victor Borge, pianis yang kemudian
mengkhususkan diri mencipta musik humor. Kebetulan, Frans pernah
melihat sendiri pertunjukannya. "Memang lucu." Diceritakannya
bagaimana sebuah lagu yang sangat populer, Happy Birthday to
You, dimainkan dengan berbagai gaya gaya permainan Bach yang
berat, Mozart yang lincah, Beethoven yang romantis dan Wagner
yang agung. Dan itu menerbitkan kesan lucu.
Tentang lomba kali ini, "terlihat beberapa bakat baik," kata
Suka. Ada anak-anak muda yang punya potensi humor dan sekaligus
berbakat musik. Tapi baik Frans maupun Suka mengakui bahwa
sebagian besarnya masih hanya mnyuguhkan lawak dengan latar
belakang musik.
Atau, yang justru mendapat porsi penilaian kurang menurut
Frans maupun Suka, meletakkan kelucuan pada lirik. Seorang
peserta misalnya tampil dengan pakaian biasa dan instrumen
biasa. Lagunya juga biasa -- hanya dalam liriknya ia membuat
lelucon tentang patung yang diletakkan di pucuk Planetarium
(TEMPO 15 Desember, Senirupa).
Tapi jenis itulah yang selama ini dibikin orang. Tanpa maksud
membuat 'musik humor', Benyamin S. muncul dengan lirik-lirik
nakal yang menggelikan. Juga Ismail Marzuki almarhum, yang
menggubah lagu lebaran (yang ada minal aidin wal faizin) dengan
lirik akrab dan menggelikan. Dan akhir-akhir ini juga grup
Bimbo. Hal inilah yang membuat The Klombhoor's terpaksa gigit
jari? Parodi yang ditampilkannya mungkin tak sebagus karya
Borge. Tapi setidak-tidaknya ini musik, dan bukan dagelan dengan
latar belakang musik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini