Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Ketawa karena bunyi

Dalam acara pekan humor di tim, diadakan pula lomba musik humor. bentuk humor ini lebih sulit dibanding bentuk lain sehingga banyak peserta yang menyuguhkan lawak dengan latar belakang musik. (ms)

29 Desember 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SATU kelompok peserta menyanyikan Putri Solo dalam gaya musik Hawaiian. Lagu keroncong langgam Jawa yang memuja kecantikan putri Solo itu, tentu saja menjadi aneh dibawakan dengan irama Lautan Teduh. Paling tidak antara lagu yang mengalun, melenggok dengan liriknya tak lagi sejalan. Ini sebuah parodi yang memang membuat tertawa penonton, Selasa malam pekan Ialu di Teater Terbuka Taman Ismail Marzuki, dalam babak finaI Lomba Musik Humor. Kejutan kedua, keputusan dewan juri yang sekaligus dibacakan malam itu juga, ternyata di antara 5 peserta yang terpilih, peserta Putri Solo tak tercantum. Kelompok Rhese dari Yogyakarta yang tampil dengan berbagai jenis alat bukan musik (ada gentong, ada botol, ada ban mobil) terpilih sebagai juara pertama. Memang boleh. Dengan lagu iptaan sendiri, ternyata memang musiknya mampu menggugah rasa humor tanpa dibantu liriknya. Bedunk-bendunk dari Jakarta menduduki tempat ketua. Agak sulit diterima barangkali, terutama kelompok ini jelas-jelas lebih mengandalkan penampilan di panggungnya sebagai modal memancing tawa. Itu pun dikerjakan secara vulgar menari-nari naik kuda lumping, atau menirukan gerak boneka. Tempat ketiga ditempati kelompok Gono-gini dari Surakarta. Ini juga. Tawa penonton lebih datang dari pola mereka di panggung dan musik hanya sebagai latar belakng saja. Juara harapan pertama dan kedua direbut peserta tunggal: Iwan dan Tom Slepe dari Jakarta. Lumayan paling tidak menunjukkan penguasaan gitar dan harmonika yang mereka bawakan untuk menyuguhkan lagu -- yang kira-kir. cukup lucu. Dengan begitu kedudukan kelompok The Klombhoor's yang membawakan Putri Solo yang tak meraih nomor ini agak sulit dipahami. Kecuali Rhese dan kedua peserta tunggal, rasanya pemenang bisa dikategorikan sebagai lawak dengan latar belakang musik. Lantas bagaimana dengan musik humor? Lomba Musik Humor, salah satu acara Pekan Humor di Taman Ismail Marzuki, diselenggarakan oleh Lembaga Humor Indonesia, memang hal baru. LHI ingin memenuhi "kebutuhan akan humor total." Yakni "humor auditif -- tak hanya yang verbal atau visual saja," kata Arwah Setiawan, Ketua LHI. Suka Hardjana, dosen Akademi Musik LPKJ, yang menjadi juri bersama Frans Harjadi dan Kasijanto (yang terakhir ini katanya mewakili "awam musik"), mengatakan musik humor sendiri sebenarnya bukan barang baru. Frans menyetujuinya. Disebutkannya Pangkur Jenggleng almarhum Basijo, misalnya, yang bisa dimasukkan dalam kategori ini. Juga salah satu karya komponis besar, Mozart, yang kira-kira judulnya bisa diterjemahkan menjadi Musik orang-orang Desa. Mozart seperti diketahui menciptakan musik itu diilhami cara main orang desa di Austria -- yang sering sumbang. Oleh komponis itu ide sumbang lantas dituangkan dalam ciptaannya. "Tapi ini memang membutuhkan kepekaan humor yang tinggi," kata Frans. Jelasnya, menurut Suka, "dalam musik ada kaidah-kaidah tertentu, dan ini bisa menimbulkan efek lucu kalau dijungkirbalikkan." Karena itu jelas, yang bisa menangkap humornya memang yang tahu musik. Tapi, seperti juga dalam bentuk yang lain (kartun atau cerita), humor memang daya jangkaunya terbatas -- sering sangat terpaut dengan lingkungan tertentu saja. Happy Birthday to You Menyaksikan penampilan 20 peserta lomba ini, juga terlihat bahwa humor musik lebih sulit dibanding bentuk lain. "Barangkali karena sifat musik yang abstrak itu," kata Frans. Ini untuk tuntutan yang mungkin terlalu tinggi, memang membutuhkan keahlian profesional. Lihatlah contoh lain Victor Borge, pianis yang kemudian mengkhususkan diri mencipta musik humor. Kebetulan, Frans pernah melihat sendiri pertunjukannya. "Memang lucu." Diceritakannya bagaimana sebuah lagu yang sangat populer, Happy Birthday to You, dimainkan dengan berbagai gaya gaya permainan Bach yang berat, Mozart yang lincah, Beethoven yang romantis dan Wagner yang agung. Dan itu menerbitkan kesan lucu. Tentang lomba kali ini, "terlihat beberapa bakat baik," kata Suka. Ada anak-anak muda yang punya potensi humor dan sekaligus berbakat musik. Tapi baik Frans maupun Suka mengakui bahwa sebagian besarnya masih hanya mnyuguhkan lawak dengan latar belakang musik. Atau, yang justru mendapat porsi penilaian kurang menurut Frans maupun Suka, meletakkan kelucuan pada lirik. Seorang peserta misalnya tampil dengan pakaian biasa dan instrumen biasa. Lagunya juga biasa -- hanya dalam liriknya ia membuat lelucon tentang patung yang diletakkan di pucuk Planetarium (TEMPO 15 Desember, Senirupa). Tapi jenis itulah yang selama ini dibikin orang. Tanpa maksud membuat 'musik humor', Benyamin S. muncul dengan lirik-lirik nakal yang menggelikan. Juga Ismail Marzuki almarhum, yang menggubah lagu lebaran (yang ada minal aidin wal faizin) dengan lirik akrab dan menggelikan. Dan akhir-akhir ini juga grup Bimbo. Hal inilah yang membuat The Klombhoor's terpaksa gigit jari? Parodi yang ditampilkannya mungkin tak sebagus karya Borge. Tapi setidak-tidaknya ini musik, dan bukan dagelan dengan latar belakang musik.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus