Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Yang beranjak, yang melekat

Festival penata tari muda ii, merupakan kesempatan menyalurkan ide. pada puncak semangat mencipta, karya para penata tari sudah cukup mantap. tim berhasil memberikan kebebasan berkreasi. (tr)

29 Desember 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SIAPA bilang penata tari itu dilahirkan? Bakar memang harus ada. Tapi ketrampilan menata gerak dan-memadukannya dengan unsur pentas yang lain, jelas diperoleh lewat latihan dan pengalaman --bisa lewat sekolah, ataupun luar sekolah. Festival Penata Tari Muda yang kedua ini, diselenggarakan Dewan Kesenian Jakarta, 15-17 Desember yang lalu, boleh dipandang sebagai pemberian kesempatan lewat luar sekolah. Dan ternyata, bagi pesertanya sendiri memang dipandang penting. Kata Wahyu Santoso, 28 tahun, mahasiswa Akademi Seni Karawitan Indonesia (ASKI) Surakarta: "Ide saya sudah setahun mengeram. Undangan festival inilah yang membantu saya memecahkan ide itu." Dia menampilkan Rudra satu bentuk tari yang mencoba mengungkapkan berbagai rasa (sedih, gembira, marah dan lain-lain) tanpa mengaitkannya dengan satu cerita. Tujuh penata tari muda tampil Wahyu yang telah disebutkan Tri Nardono dari Akademi Seni Tari Indonesia Yogyakarta Gusmiati Suid (ASKI Padang Panjang) I Made Netra (Bali), Wiwiek dan Djoko (Jakarta) Sulistyo Tirtokusumo (Jakarta). Kesemuanya saja, dilihat dari usia mereka -- rata-rata lahir tahun 50-an -- memang sedang berada di puncak semangat mencipta. Sementara pengalaman dalam seni tari pun telah cukup. Jadi wajar, kalau karya mereka tak lagi hanya merupakan pelampiasan emosi atau alat rekreasi. Bahkan sejumlah pengamat tari, antara lain drs Soedarsono (Direktur ASTI Yogyakarta) dan Sedyono Humardani (Ketua Pusat Kebudayaan Jawa Tengah), meragukan ketepatan predikat "muda." Sebagai karya tari, karya mereka sudah cukup mantap. Toh, kelemahan tetap bisa ada. Terutama dalam hal bentuk, yang-memang indah tapi kurang berkait dengan gagasan pokoknya. Ini kentara sekali pada Empiri Tri Nardono. Arak-arakan Kematian Yang menarik, ada yang memanfaatkan betul bahan tari tradisi. Ternyata tari tradisi memberi kemungkinan sangat luas untuk berbagai pengungkapan. Wiwiek dan Djoko meramu tari tradisi Betawi -- kembang topeng, topeng kedok dan pencak silat Betawi --menjadi Gado-gado Jakarta: cukup manisdan segar. Iringan musik tradisi yang sederhana justru menambah penampilan tarinya semakin menonjol. Tapi, entah karena ini sebuah "gado-gado", sepertinya penata tari merasa sulit menutup karyanya. Penutupan (ending) yang tepat memang seringkali menentukan berhasil atau tidaknya sebuah karya tari. Mejangeran karya Netra, 29 tahun, adalah sebuah contoh yang bagus. Orang yang pernah menggarap Cak, Tarian Rina bersama Sardono W. Kusumo ini, memilih tari Janger -- yang dibanding tari-tari Bali yang lain tari itu kurang menuntut ketrampilan teknis menari. Toh, dia bisa menggarap keseluruhan karyanya ini cukup memikat, terutama dengan ditampilkannya adegan topeng dan arak-arakan kematlan sebagai penutup. Apabila Rudrah dan Empiri mencoba beranjak dari tari tradisi Jawa, Ario Jipang karya Sulistyo justru hendak melekat pada tradisi itu. Kisah sejarah Jawa yang populer ini, digubah Sulistyo dengan gaya Wireng dan Bedoyo. Dan pertempuran Ario Jipang dengan Sutowijoyo utusan Sultan Pajang jadi terasa halus. Sulistyo telah menentukan batasannya sendiri. Di dalam batasan itulah ia mencoba mencipta. Tentu tak mudah terlihat bagi yang tak paham benar Wireng dan Bedoyo. Apalagi cerita di sini hanya dijadikan titik tolak menyuguhkan suasana saja. Lihat misalnya adegan perang tanding Ario Jipang lawan Suto Wijoyo. Pentas sunyi, iringan gamelan berhenti. Ini, justru efektif. Suasana yang tumbuh dalam kesunyian itu justru memberi peluang bagi imajinasi untuk berkembang. Dan betapa sengitnya rasa saling benci antara mereka yang sedang bertanding. Semua ini berhasil lahir di jaman Ismail Marzuki, berkat kondisi psikologis yang diberikan TIM sejak semula. kebebasan berkreasi. Sal Murgiyanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus