Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Hasil Eksperimen Goenawan Mohamad

Goenawan Mohamad menggelar pameran seni cetak grafis di Jakarta Selatan. Ingin mengenalkan seni ini ke pecinta seni rupa.

3 Desember 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Sejumlah karya dalam pameran tunggal Goenawan Mohamad bertajuk "Santrian" di CGArt Rumah Miring, Jakarta, 30 November 2023. TEMPO/Magang/Joseph

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Goenawan Mohamad menggelar pameran tunggal terbaru bertajuk Santiran di CGartspace Rumah Miring, Jakarta Selatan.

  • Dalam pameran kali ini, Goenawan semakin berani bereksperimen seni cetak grafis.

  • Tema yang beragam seakan-akan membuat Goenawan melepas identitasnya sebagai penyair dan sastrawan.

JAKARTA – Goenawan Mohamad larut semakin dalam di dunia seni cetak grafis. Sejak mengenal seni cetak grafis di Devfto Printmaking Institute, Ubud, Bali, pada dua tahun lalu, setidaknya Goenawan sudah tiga kali memamerkan karyanya. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pertama, ia menggelar pameran tunggal bertajuk "Kitab Hewan" di Dia.Lo.Gue, Jakarta Selatan, Februari lalu. Kedua, pameran berjudul "Kitab Hantu" yang digelar bersamaan dengan momen ArtJog 2023 di Yogyakarta, Juli lalu. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Paling anyar, penyair 82 tahun itu memamerkan karya seni cetak grafisnya di CGartspace Rumah Miring, Jakarta Selatan, pada 30 November-10 Desember 2023. Dalam pameran kali ini, Goenawan mengangkat judul "Santiran" dengan 30 karya berukuran kecil dan sedang.

Seniman Goenawan Mohamad dalam pameran tunggalnya bertajuk "Santrian" di CGArt Rumah Miring, Jakarta, 30 November 2023. TEMPO/Magang/Joseph

Dalam dua ekshibisi sebelumnya, Goenawan lebih banyak menyajikan karya dengan satu tema dan mayoritas terdiri atas satu atau dua obyek. Namun kini karyanya lebih beragam dan berwarna. Misalnya karya berjudul London in My Mind yang menampilkan beragam obyek, dari gedung-gedung, pepohonan hijau, hingga selimut awan berkelir merah. 

Ada pula Tiger in a Foreign Land yang punya nuansa mirip dengan karya sebelumnya. Terdapat seekor harimau berwarna jingga lengkap dengan garis-garis hitam yang berdiri dengan latar siluet kota. Deretan gedung dikelir hitam, sedangkan awan diberi warna biru kehijauan. Selain itu, ada karya berjudul Quantum yang menampilkan totem dan singa. Namun kedua obyek itu disapu dengan rumus fisika kuantum.

Goenawan Mohamad mengatakan 30 karya yang dipamerkan kali ini merupakan bentuk eksperimennya menggunakan beragam warna seperti halnya saat ia melukis menggunakan cat minyak atau cat akrilik di atas kanvas. Bedanya, proses berkarya seni cetak grafis lebih rumit. "Ini yang saya senang," kata pendiri majalah berita mingguan Tempo itu. 

Bagi dia, seni cetak grafis punya kenikmatan sendiri, yakni seperti dibenturkan dengan rasa bahagia dan cemas. Bahagia karena ia bisa berkreasi menemukan sesuatu yang baru. Adapun kecemasan muncul karena waswas hasil cetakan tak sesuai dengan ekspektasi. Maklum, seni cetak grafis memang tak bisa dikontrol hasilnya. "Jadi awalnya bisa saya pikir bakal jelek hasilnya, tapi ternyata bagus," kata Goenawan. "Kalau melukis, kita bisa tahu hasilnya seperti apa."

"Wayang Kulit" karya Goenawan Mohamad dalam dalam pameran tunggal bertajuk "Santrian" di CGArt Rumah Miring, Jakarta, 30 November 2023. TEMPO/Magang/Joseph

Kurator pameran, Agung Hujatnikajennong, mengatakan karya-karya Goenawan masih menyandarkan pola kreativitasnya pada impuls menggambar. Menurut Agung, keunikan pameran Goenawan kali ini adalah garis-garis yang digoreskan bisa tampak sederhana. Meski tetap bisa memunculkan kesan pejal pada obyek. 

Pada kesempatan lain, garis-garisnya juga mampu tampak ekspresif, spontan, dan intens. Bahkan garis-garis itu bisa bertumpuk dan saling silang membentuk pola rumit. "Sebagian yang lain menonjolkan hubungan antar-obyek atau elemen visual yang enigmatik, seolah-olah menuntun para penatapnya untuk membaca karya-karya tersebut," ujar Agung. 

Pemilik Devfto Printmaking Institute, Devy Ferdianto, mengatakan, selain lebih berwarna, karya-karya Goenawan dalam pameran "Santiran" kali ini mampu menunjukkan posisinya. Dalam dua pameran sebelumnya, Goenawan masih membuat karya-karya cetak grafis dalam bentuk buku seni alias masih punya satu benang merah, yakni "Kitab Hewan" dan "Kitab Hantu". 

Adapun karya dalam pameran ini memiliki tema beragam. Dengan kata lain, tidak ada tema khusus yang mengikat karya-karya GM dalam satu ruang. Menurut Devy, pendekatan pada dua pameran sebelumnya memang mengenalkan Goenawan sebagai seorang sastrawan. Karena itu, hasilnya dalam bentuk buku seni. "Saat ini tidak ada lagi teks atau tema khusus yang mengikat. Bisa dibilang ini titik tertinggi proses kreatif beliau," ucapnya.

"Tiger in a Foreign Land" karya Goenawan Mohamad dalam dalam pameran tunggal bertajuk "Santrian" di CGArt Rumah Miring, Jakarta, 30 November 2023. TEMPO/Magang/Joseph

Devy melanjutkan, saat ini Goenawan masih menggunakan dua teknik dalam seni cetak grafis, yakni intaglio dan litografi. Secara teknis, intaglio atau cetak dalam merupakan salah satu jenis teknik seni rupa grafis yang pembuatan karyanya menggunakan pelat cetak aluminium. Dalam proses pembuatannya, goresan pada pelat tersebut diberi tinta dan disapu pada permukaan kertas yang dibasahi. 

Adapun litografi atau cetak datar adalah teknik cetak yang menggunakan pelat datar untuk membuat bagian gambar dan bukan gambar berada pada ketinggian yang sama. Teknik ini memerlukan keahlian khusus karena penggunaan lapisan emulsi yang membuat bagian gambar akan menerima tinta dan bagian lainnya tidak. "Tapi, kalau Anda lihat dari sisi perupaannya, beragam banget. Warna dan tema juga beragam. Ini bentuk eksplorasi beliau," kata Devy. 

Goenawan Mohamad merasa nyaman berkreasi di dunia seni cetak grafis. Saat ini dia punya mimpi besar untuk semakin memperkenalkan seni cetak grafis kepada pencinta seni rupa.

Satu suara dengan Goenawan, Devy Ferdianto menyebutkan perkembangan seni cetak grafis di Indonesia masih jauh dari kata populer. Musababnya, belum banyak seniman dan kolektor seni yang tertarik pada karya seni bermedia kertas. Mereka masih khawatir kertas punya risiko kerusakan tinggi. Terlebih Indonesia punya iklim tropis yang memang tak ramah kertas. "Dianggap lebih mudah jamuran dan sebagainya," katanya. 

Padahal saat ini sudah ada kertas khusus berbahan katun dan bebas asam yang lebih tahan lama jika disimpan. Walhasil, menurut Devy, butuh edukasi yang lebih gencar untuk mempopulerkan karya seni dengan media kertas, termasuk cetak grafis. "Ada kertas katun dan kertas bebas asam yang punya daya tahan jauh lebih baik," ujarnya.

INDRA WIJAYA
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus