SECARA selintas saja, kalau orang mengingat-ingat pameran seni
rupa anak-anak muda dua tahun terakhir ini kayaknya ada satu hal
yang mendapat tekanan lebin keras: hadirnya protes sosial dalam
karya-karya seni rupa.
Itu sangat dirnungkinkan dengan diterobosnya batasan seni rupa
yang membagi-bagi antara seni lukis. seni patung seni foto, seni
grafis, seni ukir. Kebebasan menggunakan media membuat protes
bisa hadir secara luwes. Seni rupa itu bisa apa saja--demikian
mungkin kata mereka, meskipun kenyataannya masih juga terbatas
pada penyuguhan bentuk bagi mata. Perkembangan itu belum
sepenuhnya "lari" dari itu, misalnya saja belum ada yang
menyuguhkan melulu ide murni, tanpa penampilan perwujudannya.
Yang sering menjadikan orang menentang protes dalam karya seni
rupa bukanlah karyanya itu sendiri, tapi pernyataan senimannya -
yang memang seringkali berlebihan. Misalnya dalam Pameran
Presentasi Januari 78 di Balai Budaya, 17 sampai dengan 21
Januari ini. Dalam katalogus stensilan pameran tersebut,
tertulis demikian: "prinsip saya tentang seni adalah, bersumber
pada pemikiran bahwa seni seharusnya mengangkat pemasalahan
sosial," itu menurut Hardi, pelukis jebolan STSRI "Asri"
Yogya.
Taruhlah kata "seharusnya" di situ diganti dengan kata "boleh
saja", maka kemungkinan ada perdebatan mengenai sesuatu yang tak
perlu itu bisa dicegah.
Panggilan Kopkamtib
Dan pameran itu sendiri hanyalah memamerkan foto-foto,
kebanyakan foto aksi mahasiswa tahun 1966. Ada juga foto Robby
Cahyadi -- itu pedagang mobil yang diadili, ada juga foto-foto
penertiban trotoar oleh Team Penertiban DKI-Jaya, ada juga
beberapa lembar foto kopi harian Pelopor Yogya, tanggal 25
Januari 1974, yang memuat "Lelayu" atas dibredelnya beberapa
mass media ibu kota, antara lain harian Indonesia Raya, Pedoman.
Tidak hanya begitu, sebab beberapa lembar foto kopi yang
ditempel berjajar itu di bagian agak tengah-tengahnya ditempel
poret Adam Malik, Ketua MPR sekarang, dan di bagian hawah ada
dua lembar surat panggilan Kopkamtib yang nama terpanggil diblok
denan tinta hitam.
Pameran fotokah itu? Nanti dulu. Foto-foto di situ tidak hanya
ditempel saja, tapi dibubuhi coretan-coretan: ada yang
dilingkari pinggirnya, ada yang diarsir gambarnya, ada yang
diwarna wajah-wajah dalam foto yang ditempel. Dengan demikian,
cara menyusun fotofoto itu dan coret-coret pada foto-foto itu
kiranya lebih penting daripada fotonya sendiri. Tapi tentu boleh
saja jika yang memamerkan foto-foto itu bermaksud memberikan
komentar lewat pameran ini, misalnya saja: betapa perjuangan
tahun 66 telah dikhianati oleh beberapa eksponennya kini, betapa
siasianya korban dulu itu dan sebagainya.
Kalau kita membaca nama-nama yang aktif dalam pameran ini,
ternyata tidak semuanya senimn--paling tidak bukan orang seni
rupa. Ini hanya membuktikan bahwa protes sosial dalam seni rupa
bukanlah sesuatu yang istimewa. Sesudah puisi, agaknya seni rupa
ikut menjadi alat bagi siapa saja untuk protes. Kiranya itu
hanyalah merupakan ekses, yang diakibatkan oleh musim
protes-protesan yang lagi mode.
Yang perlu dicatat dari karya-karya seni rupa protes (karya yang
serius, yang ditampilkan dalam acara kesenian dan bukannya acara
di luar kesenian) selama ini adalah penyuguhan bentuknya.
Agaknya gairah untuk protes lebih besar daripada dorongan untuk
melahirkan karya yang baik -- tidak semua, tentu. Karya Gendut
Riyanto dalam Pameran Pelukis Muda Desember yang lalu misalnya,
baru bisa ditebak apa maksudnya kalau kita baca tulisan pada
karya itu, yang berbunyi kurang lebih demikian: tuhan mengapa
tidak kau tolong dia. Tanpa tulisan itu, satu karya yang berujud
kotak kuning tegak dan ada alat transfusi darah terpancang di
atasnya, susah sekali diperkirakan mengapa benda semacarn itu
disebut karya seni rupa. Dan karyanya itu sendiri, sebagai
bentuk ia hanya memberikan semacam simbol, sementara secara
organis karya itu sama sekali tak menimbulkan imaji apa-apa:
barang yang dionggokkan, begitu sajalah.
Terlalu Bersih
Juga karya Priyanto yang begitu rapi jali, menyuguhan peta
Indonesia yang dijungkir balik, yang maksudnya menilai
siapa-siapa yang menguasai Indonesia kini: kita atau
perusahaan-perusahaan multi nasional. Bagi saya, Priyanto lebih
bisa berhasil dengan karya-karyanya yang mengandung humor.
Karyanya yang protes itu terlalu bersih, kering tanpa imajinasi.
Hanya memb uktikan bahwa kehendak protesnya lebih kuat daripaaa
menyuguhkan karya.
Mustinya protes atau ide apa pun dalam karya seni bukanlah
sesuatu yang eksplisit jelas dan sepenuhnya menjadi nafas karya
itu. Mustinya protes itu implisit di dalam karya. "Pabrik"nya
Munni Ardhi dalam Pameran Seni Rupa Indonesia Baru 1977 yang
lalu adalah sebuah contoh. Tanpa menyatakan secara jelas maunya,
sebuah karya yang berujud kaleng minyak tanah yang dibuka
sedikit bagian atasnya dan terlihat di situ boneka-boneka yang
tumpang tindih, justru lebih bisa mengetuk batin kita.
Sebab karya seni adalah karya seni. Hanya dengan
mempertimbangkan fungsi sosialnya saja tidaklah berarti
memecahkan masalah nilainya. Agaknya para seni rupawan yang suka
protes itu melupakan satu hal: bahwa manusia mempunyai kemampuan
membedakan yang baik dari yang buruk--manusia mempunyai perasaan
estetis. Dengan menekankan pada protesnya dan melupakan
keseniannya, yang ada hanyalah semacam berita dalam koran atau
poster yang diacung-aoungkan oleh demonstran - dan koran dan
demonstran jelas lebih efektif protesnya dari pada karya seni di
Indonesia kini.
Bambang Bujono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini