Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lemony Snicket's A Series of Unfortunate Events Sutradara: Brad Siberling Skenario: Robert Gordon, berdasarkan novel karya Daniel Handler Pemain: Jim Carrey, Merryl Streep, Jude Law, Emily Browning, Liam Aiken Produksi: Paramount Pictures dan Dreamworks
Dalam gelap, jari-jari penulis Lemony Snicket memijat-mijat tuts tua mesin tik itu: "Jika Anda tidak tahu banyak tentang Bau-delaire bersaudara, anak-anak yatim piatu malang itu yang tengah duduk di tepi Damocles Dock di atas kopernya, Anda akan menyangka mereka akan menghadapi petualangan yang seru . Anda salah besar."
Film ini dimulai dengan layar yang gelap dan siluet Lemony Snicket, seorang penulis rekaan (diperankan oleh suara Jude Law) ciptaan Daniel Handler. Syahdan, Lemony Snicket mencipta kisah "serial kemalangan yang dialami tiga Baudelaire bersaudara" menjadi belasan novel anak-anak yang tampil terengah-engah setelah ledakan fenomenal serial Harry Potter. Maka, bisa dimaklumi jika tidak semua penonton/pembaca Indonesia (dan seluruh dunia) mengenal serial ini, meski buku-buku novel ini ditulis dengan kosakata dan ilustrasi Brett Helquist yang luar biasa. Novel dan film ini dimulai dengan seri pertama The Bad Beginning, di mana pembaca diperkenalkan pada si sulung Violet (Emily Browning), gadis cantik 14 tahun yang cerdas dan gemar melakukan percobaan ilmiah. Dia akan mengikat rambut panjang saat berpikir keras untuk menyelesaikan percobaan-percobaan ilmiah-praktisnya. Klaus (Lian Aiken dalam penampilan yang sudah remaja) satu-satunya lelaki yang gemar membaca dan obsesif terhadap kosakata. Sunny (diperankan secara bergantian oleh si kembar Kara dan Shelby Hoffman) adalah si bayi kecil yang ucapan-ucapannya hanya dipahami oleh kedua kakaknya. Si kecil yang gemar menggigit inilah yang menjadi cahaya dalam film yang gelap ini, karena komentar-komentarnya yang meledek para tokoh dewasa yang munafik itu.
Sementara salah satu magnet dalam serial Harry Potter adalah bagaimana dahsyatnya J.K. Rowling mencipta dunia keajaiban di Hogwart, Daniel Handler menarik pembaca/penonton pada sebuah dunia kelam kejahatan orang-orang dewasa yang berebutan menjadi wali ketiga anak yang mendadak ditinggal kedua orang tuanya. Suami-istri Baudelaire tewas dimakan apiyang secara misterius terjadidan Mr. Poe (penanggung jawab keuangan) selalu memulai "tanggung-jawab"-nya dengan mencari sembarang keluarga untuk menjadi wali ketiga anak ini.
Adalah Count Olaf (Jim Carrey dalam penampilan yang dahsyat), seorang saudara jauh, seorang aktor teater gagal yang merasa diri tampan, yang mendadak tampil bak dewa penyelamat yang ingin merangkul ketiga anak malang yang punya harta warisan tak habis-habis. Maka, seluruh filmyang diangkat dari tiga serial buku sekaligus, The Bad Beginning, The Reptile Room, The Wide Windowsesungguhnya perjalanan ketiga anak melarikan diri dari cengkeraman Count Olaf yang bernafsu ingin membunuh ketiga anak itu (tentu saja untuk warisan) dan perpindahan anak-anak itu dari satu wali ke wali yang lain.
Count Olaf tentu saja sosok paman yang jahat, bergigi hitam, dan memiliki senyum yang sangat lebar dan mengerikan. Jim Carrey, sebagai seorang aktor bertubuh karet yang mampu meliukkan tubuhnya ke arah mana pun yang ia sukai, tampil jauh lebih berwarna daripada sosok Count Olaf versi novel. Tokoh yang keji dan kelam dalam novel karya Daniel Handler menjadi seorang sosok komikal yang sinting, yang luar biasa kriminal tanpa batas, yang neurotik dan melakukan apa saja demi harta warisan milik ketiga anak itu. Jim Carrey adalah jiwa film ini. Dia menjadi jangkar seluruh pertunjukan yang menunjukkan arah perjalanan cerita. Tanpa Jim Carreymeski ada sosok Count Olaffilm ini akan tampil sebagai film anak-anak biasa. Saat Count Olaf terbukti tidak mampu menjadi wali, Mr. Poe segera mencari wali pengganti lainnya: Paman Monty.
Adapun tokoh Paman Monty, sang peneliti yang tergila-gila pada keindahan reptiliarumahnya dipenuhi beragam ular yang melilit di setiap pojok rumah dan tubuhnyatampil sebagai seorang paman baik hati yang eksentrik. Ketiga anak itu sungguh merasa hidup baru mereka akan menyenangkan dan seru di antara ribuan ular jinak yang melilit itu ketika ada seseorang yang mengaku sebagai asisten baru Paman Monty. Hanya sekejap ketiga bersaudara mengetahui, di balik asisten palsu itu adalah tubuh si busuk Count Olaf yang masih bernafsu mencengkeram mereka.
Sejak awal, pembaca dan penonton senantiasa diperingatkan, "Jika Anda ingin menyaksikan film yang penuh dengan boneka ceria, Anda pergi saja ke bioskop sebelah, karena film ini akan berisi tragedi, kegelapan, dan kemalangan." Ini memang cara klasik para penulis buku anak-anak untuk menggaet perhatian para pembaca. Tragedi yang dibangun perlahan oleh "larangan" sang penulis untuk melanjutkan keasyikan membaca/menonton.
Tetapi, tragedi dalam hidup nyata dan tragedi dalam novel (anak-anak) tentu saja sangat jauh berbeda. Tragedi dalam novel anak-anak seperti Harry Potter, anak yatim yang senantiasa dikejar-kejar Voldermort yang penuh kesumat, dan tiga Baudelaire bersaudara yang hidupnya dikejar Count Olaf yang luar biasa rakus itu, diselesaikan dengan "keajaiban". Violet, Klaus, dan Sunny memang bukan anak-anak ajaib yang memiliki tongkat ajaib atau berpendidikan ilmu sihir, tetapi mereka anak-anak dengan bakat dan inteligensi tinggi. Setiap kali mereka terperangkap dalam jebakan sial Count Olaf, mereka bertiga akan bergotong-royong bak tiga McGyver kecil yang mencari jalan keluar dengan menggunakan peralatan seadanya menjadi alat-alat yang luar biasa.
Mereka pasti akan berhasil keluar dari marabahaya, seperti halnya pahlawan kecil (maupun dewasa) yang jarang dibunuh oleh penciptanya. Karena itu, tragedi dalam film anak-anak tak akan membuat kita berurai air mata atau terisak-isak penuh derita. Proses penuturan itulah yang membuat film ini istimewa. Tokoh Lemony Snicket, yang senantiasa muncul pada saat anak-anak mengalami peristiwa yang mengerikan (melalui adegan jari-jari yang mendadak berhenti mengetik), atau tokoh-tokoh dewasa yang eksentrik seperti Paman Monty dan Bibi Josephine (Merryl Streep dengan penampilan yang lezat), menjadi warna penting dalam film ini. Bibi Josephine menjadi wali berikutnya setelah Paman Monty tewas secara misterius. Sang bibi yang kaku namun berhati baik, tergila-gila pada tata bahasa Inggris, dan paranoia terhadap bencana itu toh menjadi kesayangan ketiga anak ini. Pokoknya, wali siapa pun, asal jangan Count Olaf, akan dengan mudah merebut cinta tiga anak yatim piatu ini karena mereka sungguh butuh perhatian orang tua.
Tentu saja daya tarik film ini bukan hanya penampilan para tokoh unik, eksentrik, dan komikal yang disajikan oleh para aktor veteran (plus penampilan cameo Dustin Hoffman), tetapi juga kemampuan penata artistik Rick Heinrichs yang berhasil menciptakan sebuah dunia dongeng Lemony Snicket di sebuah negara antah-berantah yang luar biasa gelap, magis, dan berwarna dominan biru dan hitam. Heinrichs adalah penata artistik yang dikenal pernah memberi "ledakan" dalam film-film Tim Burton seperti Sleepy Hollow dan Planet of the Apes. Dialah penata artistik dan desainer yang mampu melahirkan sebuah dunia baru kepada penonton dengan visual yang penuh daya kejut, yang penuh keajaiban dan kegilaan.
Film ini, seperti juga novel-novelnya, diakhiri dengan pertanyaan, dengan sebuah akhir yang terbuka: trio Baudelaire kehilangan sang wali Bibi Josephine, dan mereka kembali duduk di kursi belakang Mr. Poe, yang tengah mencari keluarga yang siap menampung mereka. Di serial berikutnya .
Leila S. Chudori
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo