Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saudara berdiri!" kata hakim ketua Roki Panjaitan tegas kepada terdakwa Adrian Waworuntu, sembari telunjuknya bergerak mengarah ke kursi terdakwa. Ruang sidang utama Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang penuh pengunjung mendadak senyap. Tim jaksa dan pembela, yang sebelumnya mengobrol sendiri, ikut terdiam. "Dengan ini, majelis hakim memutuskan hukuman penjara seumur hidup pada terdakwa...!" kata Roki sambil mengetukkan palu hakim. "Saudara silakan duduk kembali."
Selesai? Belum rupanya. Godam putusan masih ditalu. "Terdakwa juga diharuskan membayar denda Rp 1 miliar dan uang pengganti Rp 300 miliar untuk mengganti seluruh nilai kerugian negara yang telah ditimbulkan akibat perintah terdakwa," kata Roki. Uang pengganti ini ditanggung renteng hingga ahli waris. Hakim juga memerintahkan, dua penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tertanggal 8 dan 21 Februari 2005 yang berisi penyitaan aset Adrian di dalam dan luar negeri tetap berlaku.
Kali ini, tak hanya Adrian. Para pengacara pria kelahiran Tomohon, Sulawesi Utara, itu juga terhenyak. Harta korupsi harus lunas dan bakal dikejar sampai anak cucu. "Tak ada hal meringankan dari diri terdakwa. Tidak berterus terang dan banyak menutupi pihak lain," kata Roki membacakan pertimbangan putusannya. Terdakwa juga tidak menunjukkan penyesalan. Apalagi, menurut majelis, pria 53 tahun tersebut pernah terlibat kasus perbankan di Bank Pacific.
Luar biasa..., hukuman ini belum pernah dijatuhkan dalam kasus korupsi, bahkan terhadap delapan terpidana kasus BNI lain yang sudah divonis. Hakim, yang menyebut kasus Adrian sebagai megakorupsi, mengakui sengaja menjatuhkan hukuman berat sebagai efek penjera. "Korupsi membuat masyarakat dan negara miskin. Korupsi harus ditumpas," ujar Roki?yang namanya sebagai hakim pengadilan hak asasi pernah melambung karena memutus bersalah mantan Gubernur Timor Timur Abilio Soares dan Panglima Kodam Udayana Mayjen TNI Adam Damiri?membacakan salah satu pertimbangan putusannya.
"Saya menolak putusan dan banding," kata Adrian ketika hakim meminta tanggapannya. Ia semula tampak terkejut dengan putusan yang didengarnya. Tapi lantas berusaha mengontrol dirinya, setelah melalui sidang putusan yang berjalan tiga setengah jam itu. "Silakan. Saudara masih dilindungi undang-undang," jawab Roki sebelum menutup sidang.
"Saya setuju dengan pendapat idealis hakim. Tapi ini putusan yang tidak adil bagi saya," kata Adrian, seusai sidang. Dari 28 saksi yang diperiksa, menurut Adrian, tak ada seorang saksi pun yang bisa mengungkapkan peran langsung dirinya dalam pendiskontoan puluhan L/C bermasalah itu. "Kalaupun ada, itu hanya cerita orang-orang BNI berdasar cerita Maria," katanya. Nahasnya, cerita itu, menurut dia, ia sendiri pun tak pernah tahu.
Dalam tuntutan, jaksa menjerat Adrian dengan tiga tuduhan secara alternatif. Intinya, berupa turut serta (deelneming) dalam korupsi dan pencucian uang yang berkelanjutan (voortgezette handeling). Ancamannya memang penjara seumur hidup. Denda yang dituntutkan pun Rp 1 miliar. Tapi uang pengganti hanya sebesar Rp 6,8 miliar. Ini sesuai dengan hitungan mereka atas jumlah uang yang masuk ke rekening Adrian.
Dalam putusan, hakim menyatakan sependapat dengan tuntutan delik korupsi dari jaksa. Sebab, Adrian terbukti "secara melawan hukum melakukan tindakan memperkaya diri sendiri atau orang lain, atau suatu korporasi, yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara". Majelis hakim, yang terdiri dari Eddy Djunarso, Ketut Moningka, dan Roki Panjaitan, berkeyakinan Adrian terlibat dalam proses pencairan atau diskonto letter of credit (L/C) Gramarindo?perusahaan milik Maria Pauline Lumowa, kini buron. Karena itu, dia harus bertanggung jawab.
Keyakinan hakim disampirkan pada kesaksian dua orang terpidana kasus BNI yang sudah lebih dulu divonis, yakni Edy Santoso, bekas Kepala Bidang Pelayanan Nasabah Luar Negeri BNI 46 Cabang Kebayoran Baru, dan Koesadiyuwono, Pimpinan Cabang BNI Kebayoran Baru. Mereka menerangkan ketika bertemu Maria Pauline Lumowa dan Adrian sekitar Februari 2003, Maria menyebut Adrian adalah orang penting (key person) atau "orang kepercayaan di balik layar" yang memiliki akses terhadap keuangan perusahaan.
Meskipun kedua kesaksian ini berdasar pembicaraan lisan (testimonium de auditu), yang lemah dalam nilai kesaksian, hakim meyakini kebenarannya karena dinyatakan lebih dari satu orang. Selain itu, Adrian juga diberi 15 persen saham PT Brocolin Internasional oleh Maria, meski Adrian menyebut saham itu kosong. Itu hasil imbalan kerjanya sebagai konsultan lepas Maria, sejak Januari 2003. "Saya tidak memiliki ikatan formal dengan Gramarindo," kata Adrian, "baik sebagai direksi maupun komisaris." Lagi pula proses pendiskontoan itu, menurut Adrian, sudah terjadi jauh sebelumnya.
Namun ada fakta lain yang penting. Itulah aliran dana hasil diskonto ke rekening perusahaan milik Yola Sigar, adik kandung Adrian, yakni PT Aditya Putrapratama Finane dan PT Dimas Drilindo, yang dimiliki Frank Sigar, sang ipar. Dana Rp 5,1 miliar tersebut diakui Adrian sebagai hasil penjualan tanah miliknya seluas 50 hektare di Cilincing, yang secara de jure dimiliki PT Hebron Masada dan PT Supranus Pertiwi, atas nama Reimer Aloan Simorangkir. Nama Adrian memang tidak dijumpai dalam berbagai dokumen dan transaksi Gramarindo. "Itulah kepandaian mereka, tapi itu usaha 'akal-akalan' saja," kata Roki selepas sidang kepada Tempo.
Majelis hakim menyitir pendapat Profesor Andi Hamzah, saksi ahli hukum pidana, untuk mendukung keputusan mereka. Menurut Andi Hamzah, yang kesaksiannya dibacakan dalam sidang, perbuatan turut serta Adrian tidak memerlukan keterlibatan yang bersangkutan dalam seluruh kegiatan pembobolan sebagai inti delik. "Seperti jika dua orang, A dan B, sepakat memperkosa seorang gadis C. Tapi si B hanya sempat memegangi kakinya dan yang memperkosa adalah A karena keduanya keburu tertangkap. Perbuatan si B sudah masuk unsur turut serta dalam tindakan memperkosa C," kata Roki. Artinya, Adrian tidak turut dalam semua aksi membobol Bank BNI lewat 76 L/C bodong, seperti dilakukan Maria Pauline Lumowa. Tapi, posisinya sesaat sebagai konsultan investasi PT Sagared Team, salah satu perusahaan dari 8 anak perusahaan Gramarindo, cukup untuk menyatakan bahwa dia turut serta dalam kejahatan tersebut. Apalagi L/C yang dicairkan?sepanjang Adrian dipercaya sebagai konsultan?cukup banyak, yakni 41 L/C. Jum-lahnya US$ 76 juta dan 56 juta euro
Peran Adrian dalam pembobolan BNI itu terungkap di persidangan, yang dimulai sejak 22 November 2004, dalam suasana hambar. Tim jaksa, yang diketuai Syaiful Taher, terasa kurang "bertaring". Berkas polisi juga terkesan bolong-bolong (Tempo, 29 November 2004). Padahal berkas Adrian disusun polisi selama 290 hari, sejak diberkas pada 19 November 2003. Tujuh kali berkas Adrian ulang-alik kejaksaan-Mabes Polri. Dalam pemberkasan kelima, untuk memeriksa seorang notaris saja, polisi menggarapnya selama dua bulan. Adrian bahkan sempat buron ke luar negeri, sebelum akhirnya menyerahkan diri di Singapura dan "digiring" ke Medan pada 22 Oktober 2004. Berbagai "keanehan" itu akhirnya bermuara pada kecurigaan terhadap polisi. Awal tahun ini, 17 orang pengusut Adrian di Badan Reserse dan Kriminal Mabes Polri dijatuhi hukuman disiplin karena ulah mereka "bermain mata" dalam kasus penggangsiran yang merugikan bank pemerintah Rp 1,7 triliun itu.
Arif A. Kuswardono
Jalan Panjang Adrian
Oktober 2002 - Juli 2003 Gramarindo Group mendapat fasilitas pembiayaan ekspor dari BNI Cabang Kebayoran Baru.
3 Oktober 2003 Adrian Waworuntu dilaporkan ke Mabes Polri dengan sangkaan kasus pembobolan Bank Negara Indonesia senilai Rp 1,7 triliun dengan menggunakan surat kredit (L/C) yang dilampiri dokumen ekspor fiktif.
18 November 2003 Adrian ditahan di Markas Besar Polri.
31 Maret 2004 Adrian dibebaskan karena masa tahanannya habis.
9 September 2004 Berkas Adrian dinyatakan lengkap dan segera dilimpahkan ke kejaksaan. Tapi Adrian tak memenuhi panggilan polisi.
24 September 2004 Polisi menerima surat keterangan sakit Adrian yang tengah berobat di Kotamobagu, Sulawesi Utara. Tapi, setelah dilacak, yang bersangkutan tidak ditemukan.
1 Oktober 2004 Polisi menetapkan Adrian sebagai buron.
15 Oktober 2004 Kepala Kepolisian RI Da'i Bachtiar menyatakan telah mengirim tim untuk melacak keberadaan Adrian di Los Angeles.
22 Oktober 2004 Polisi menyatakan menangkap Adrian Waworuntu di Medan, saat turun pesawat setibanya dari Singapura. Tapi Adrian mengaku menyerahkan diri.
18 November 2004 Berkas perkara Adrian dilimpahkan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
22 November 2004 Kasus Adrian mulai disidangkan.
30 Maret 2005 Adrian divonis penjara seumur hidup, diwajibkan membayar denda Rp 1 miliar dan mengembalikan uang negara Rp 300 miliar.
Yuswardi A. Suud
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo