Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Kesaksian Lain untuk Jack

Adiguna Sutowo bisa lolos dari jerat hukum karena BAP banyak yang bolong. Apalagi para saksi mengubah kesaksiannya.

4 April 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sidang kasus pembunuhan yang mengadili Adiguna Sutowo memasuki saat-saat kritis pekan lalu, tatkala majelis hakim memeriksa para saksi kunci. Kesaksian mereka ternyata mengubah isi berita acara pemeriksaan (BAP), tentu kalau kesaksian itu bisa diterima oleh hakim.

Novia Herdiana alias Tinul, 39 tahun, misalnya, langsung membantah kesaksiannya yang tertuang dalam BAP ketika diberi kesempatan oleh majelis hakim untuk menanggapi. "Ada yang mau saya luruskan," kata wanita langsing berkulit kuning ini kepada majelis hakim yang dipimpin Lilik Mulyadi dalam sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis pekan lalu. "Saya merasa ditekan polisi karena diancam dijadikan tersangka dan sempat ditahan 24 jam," kata wanita manajer sebuah hotel berbintang di Jakarta yang sampai empat kali diperiksa polisi itu.

Pengakuan Tinul tentu saja membuat masygul tim jaksa, karena hanya kesaksian di dalam sidanglah yang akan dijadikan dasar hukum pengambilan keputusan. Hakim sendiri juga heran, karena Tinul mengaku didampingi pengacara saat diperiksa. "Kami meminta agar saksi dikonfrontir dengan verbalisan (pemeriksa) di persidangan nanti," kata Jaksa Andi Herman. Jika Tinul nanti terbukti berbohong, ia bisa diancam penjara 7 tahun.

Kalau kesaksian Tinul di persidangan yang dianggap benar, kisah tragis terbunuhnya Johannes Brahman Haerudi alias Rudi, 25 tahun, di Fluid Club Hotel Hilton, Jakarta, persis pada malam tahun baru silam, akan berubah. Pada versi polisi, berdasarkan pemeriksaan atas 20 saksi dan 11 barang bukti, penembakan Rudi diawali pesanan minuman oleh Tinul, pagi menjelang subuh hari itu. Saat itu Adiguna Sutowo sudah duduk di atas meja bar dengan posisi menghadap lantai dansa. Tinul, yang baru datang, kemudian memesan minuman vodka tonic dan lyche martini. Sebagai pembayaran, ia menyerahkan kartu debit BCA kepada Rudi, yang bertugas sebagai runner atau petugas pembayaran tamu. Kartu ini ditolak kasir karena mesin edisi (untuk otorisasi kartu) belum ada. Rudi mengembalikan kartu itu ke Tinul. Wanita itu tersinggung, mengira kartunya ditolak karena tidak ada dana hanya untuk melunasi tagihan Rp 150 ribu. Teman lama Adiguna ini kemudian mengadu kepada putra bungsu mantan orang kuat Pertamina Ibnu Sutowo itu, yang sedang nangkring di sebelahnya. Adiguna lantas memaki Rudi. Sekian detik kemudian, Adiguna mencabut pistol yang diselipkan di pinggang kanannya dan menembak pemuda malang itu persis di kepalanya.

Adapun kesaksian baru Tinul, dengan logat Jakarta dan banyak selipan bahasa Inggris, berbeda. Ia mengaku bertemu Adiguna di meja bar setelah dansa-dansi dan turn around kafe bersama kawan-kawannya. Ia kemudian membeli dua minuman, salah satunya untuk Adiguna, yang malam itu mengundangnya merayakan tahun baru bersama keluarganya di Hotel Hilton. Ketika minuman itu diantar pelayan bar, Tinul lantas bertanya: "Bisa di-charge ke kamar tidak?" Pelayan bar menjawab: tidak bisa. Tinul kemudian mengeluarkan kartu kredit sebuah bank asing miliknya dan kemudian menandatangani slip tagihan yang disodorkan pelayan bar. Ia lalu menyorongkan vodka tonic kepada Adiguna. "Jack, minuman elo enggak bisa di-charge ke kamar. Tapi udah gue bayar," kata Tinul kepada Adiguna, yang dipanggilnya Jack. Kemudian Tinul berbalik meninggalkan Adiguna. Saat itulah dia mendengar letusan senjata. Ia kaget dan, tanpa menoleh lagi, lari ke hotel. Ia kemudian memberi tahu Vika, istri Adiguna, di kamarnya. "Vik, ada kejadian di bawah. Gue khawatir ama Guna," kata Tinul. Vika sendiri terkejut mendengar berita itu. "Lha, Guna-nya di mana?" kata Vika bertanya balik. "Di bawah," jawab Tinul.

Pengakuan baru Tinul ini sangat kontroversial dan bisa meloloskan mantan pereli nasional ini. Sebab, di berkas polisi, Tinul mengaku melihat Adiguna menembak Rudi.

Bukan hanya Tinul yang mengubah kesaksiannya. Harry Gunawan Isa, 27 tahun, petugas kebersihan (housekeeping) bar, juga melakukannya. Harry, yang mengaku berjarak sekitar 2 meter dari korban, kepada polisi sempat mengaku melihat "orang yang 50 persen" mirip Adiguna menodongkan pistol berwarna perak ke Rudi. "Setelah dua kali terdengar suara cetek.. cetek?, kemudian muncul letusan dan Rudi tertembak di kepalanya," katanya kepada polisi. Di persidangan, pria kelahiran Jakarta ini membantah mendengar suara cetek.. cetek. "Suara musiknya gaduh," katanya. Soal kemiripan "50 persen dengan Adiguna", Harry mengubahnya menjadi "tidak tahu". "Cuma, si pria itu berbaju putih dan duduk di atas meja bar," katanya.

Kesaksian Werner Saferna alias Wewen, 35 tahun, juga sedikit berbeda. Pria yang berprofesi sebagai pemusik cakram (disk jockey) ini mengaku kepada polisi melihat Adiguna menembak Rudi saat berjalan hendak memesan minuman ke bar. "Mata Rudi melihat ke saya, membelalak, kemudian ia jatuh dan menggelepar," kata Wewen. Ia syok berat. Saat itulah Adiguna menggenggamkan paksa pistol Smith and Wesson kaliber 22 ke tangan Wewen dan ia berlalu. Di persidangan, Wewen mengaku saat terjadi penembakan matanya hanya sekilas saja melihat "tangan Adiguna terjulur memegang pistol ke arah kepala Rudi".

Wewen yang kalut sempat membawa pistol Adiguna selama 5 hari di rumahnya. Hari keenam, ia menyerahkannya ke polisi dan bersaksi. Bukti pistol ini menjadi salah satu pegangan polisi, karena proyektil di kepala Rudi identik dengan peluru pistol berkapasitas delapan anak peluru tersebut.

Lemahnya BAP juga terlihat ketika persidangan awal pekan lalu, tatkala menghadirkan saksi mantan Kepala Polsek Tanah Abang, Komisaris Polisi Achmad Rivai. Achmad Rivai mengakui tidak melibatkan saksi di luar polisi ketika melakukan penggeledahan kamar 1564, tempat keluarga Adiguna menginap. Di kamar tersebut ditemukan 19 anak peluru yang identik dengan pistol yang digunakan menembak Rudi. Anehnya, Rivai sendiri mengaku tidak tahu bagaimana peluru itu ditemukan. "Saya berada di luar (kamar) ketika peluru ditemukan," katanya. Ia baru tahu setelah dipanggil Tim Forensik Polda Metro Jaya yang menemukan peluru di tangki air kloset. Ketika peluru itu ditunjukkan padanya, sudah dalam genggaman petugas forensik.

Petugas keamanan Hotel Hilton, Totok Harto, yang dalam berita acara penyerahan barang bukti disebut mengetahui penemuan peluru, malah mengaku disuruh melihat peluru yang sudah ditata dalam kotak tisu untuk dipotret. "Selama penggeledahan, saya dilarang masuk ke kamar," katanya. Kedua pengakuan ini membuat BAP banyak bolongnya dan pantaslah pengacara Adiguna, Mohamad Assegaf, bilang: "Ini bisa saja rekayasa polisi."

Apalagi Adiguna, 47 tahun, pemilik sebuah kelompok usaha hiburan dan musik terkuat di Indonesia saat ini, lebih banyak mengaku tidak bersalah dalam BAP. Ia mengaku hanya lewat ke Fluid Club mencari anaknya. Ia tidak ingat apakah pernah nangkring di atas bar dan berbicara dengan Tinul. Ia juga membantah membawa pistol. Ketika keluar dari Fluid Club itulah dia melihat Rudi digotong, lantas ia ikut menolong membawanya ke poliklinik. "Karena itu baju saya ada percikan darah," ini pengakuan Adiguna.

Tugas jaksa memang berat, tapi masih ada saksi lainnya. Orang menunggu keseriusan jaksa, apakah memang begitu sulit mencari saksi perkara pembunuhan di tempat seramai Fluid Club di malam tahun baru itu. Atau, karena melibatkan orang kuat?

Arif A. Kuswardono


1. Nyak Cut Nina Versi berkas polisi:

  1. Bekerja dalam bar membuat minuman.
  2. Melihat Adiguna dan Tinul.
  3. Mendengar Adiguna marah dan Tinul bilang sudah... sudah.
  4. Kaget mendengar letusan, berbalik.
  5. Melihat Adiguna memegang pistol warna silver.
  6. Melihat Adiguna memasukkan pistol ke pinggang.

Versi sidang:

  • Belum diperiksa

    2. Daniel Sibarani Versi berkas polisi:

    1. Saksi berada di belakang korban membuat minuman.
    2. Didekati Tinul mengaku takut dengan Adiguna yang punya Hotel Hilton karena membawa pistol disimpan dalam tasnya (dibawa Tinul).
    3. Melihat Rudi ditodong dengan pistol oleh Adiguna di tangan kanan.
    4. Melihat pelatuk ditekan tapi tidak ada ledakan, mengira bercanda.
    5. Membelakangi korban, terdengar ledakan, melihat korban jatuh.

    Versi sidang:

  • Belum diperiksa

    3.Hari Suprasto (kasir) Versi berkas polisi

    1. Sedang bekerja menghitung uang, membelakangi korban.
    2. Mendengar ledakan dari sebelah kanan belakang.
    3. Melihat korban jatuh dan Nina histeris.
    4. Melihat dua laki-laki berbaju putih dan seorang wanita berbaju merah.

    Versi sidang:

  • Tidak berubah

    4. Harry Gunawan Isa (housekeeping), di luar bar: Versi berkas polisi :

    1. Sedang membersihkan lantai jarak dua meter dari bar.
    2. Melihat Adiguna duduk di atas meja bar bersama Tinul.
    3. Melihat Rudi membawa bill ke Tinul
    4. Melihat Adiguna tiba-tiba. memegang senjata di tangan kanan dan terdengar suara cetek... cetek dua kali. Bunyi ketiga terdengar letusan, seketika korban jatuh.

    Versi sidang:

    1. Sedang membersihkan lantai dalam jarak sekitar 10 meter
    2. Melihat Adiguna dan Tinul di bar
    3. Mendengar suara tembakan sekali dan melihat korban jatuh
    4. Tidak tahu siapa yang menembak

    5. Tinul Versi berkas polisi:

    1. Berdiri di samping Adiguna
    2. Membeli minuman dan bayar dengan Debit BCA
    3. Marah karena kartu dikembalikan
    4. Mengadu ke Adiguna
    5. Adiguna menembak

    Versi sidang:

    1. Berdiri di samping Adiguna
    2. Membeli minuman dan bayar dengan kartu Visa HSBC
    3. Memberikan minuman ke Adiguna
    4. Berbalik kembali ke lantai dansa
    5. Mendengar tembakan dari sisi kanan

    6. Wewen Versi berkas polisi:

    1. Berjalan ke bar membeli minuman
    2. Melihat Adiguna dan Tinul
    3. Melihat Adiguna menembak
    4. Menatap Rudi yang tertembak
    5. Dititipi pistol secara paksa

    Versi sidang:

    1. Berjalan ke bar membeli minuman
    2. Melihat Adiguna dan Tinul
    3. Bertatapan dengan Rudi yang tertembak
    4. Sekilas melihat tangan berbaju putih menembak Rudi
    5. Dititipi paksa pistol oleh Adiguna
  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus