Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
AYAT-AYAT CINTA Sutradara: Hanung Bramantyo Skenario: Salman Aristo Pemain: Fedi Nuril, Carrisa Nurli, Rianti Cartwright Produksi: MD Pictures
Di punggung unta mereka tampak mesra. Fachri (Fedi Nuril) memeluk istrinya, Aisha. Perempuan Jerman keturunan Turki yang mengenakan cadar itu menikmati panorama padang pasir yang indah.
Adegan bahagia itu kontras dengan adegan dua perempuan yang merasa ditinggalkan Fachri: Nurul Abdul Razaq, anak kiai besar Jawa Timur, teman satu kampus di Al-Azhar; dan seorang lagi, Maria Girgis, tetangga Fachri. Keduanya depresi.
Untuk membuat adegan romantis di padang pasir itu, rombongan Hanung Bramantyo sampai ke gurun dekat Jodphur, India. ”Dari Bombay kami naik bus melalui Gujarat selama 30 jam menuju Jodhpur,” kata Hanung, mengingat perjalanan melelahkan itu.
Inilah film yang diangkat dari novel laris Habiburrahman El Shirazy: Ayat-Ayat Cinta. Sebuah roman yang bercerita tentang jatuh-bangunnya cinta seorang mahasiswa soleh Al-Azhar Mesir asal Indonesia. Skenario Salman Aristo mengadaptasi novel itu melalui beberapa kali revisi agar lebih mudah dicerna penonton.
”Beberapa tokoh di dalam novel saya hilangkan agar cerita film jadi logis,” kata Hanung. Hanung tak mengingkari bahwa filmnya sebuah film agama, tapi ia tampak berusaha membuang hal-hal yang didaktik. Sosok Fachri dalam buku yang terlalu ”malaikati” ingin dijadikan wajar. ”Fachri bagi saya adalah lelaki biasa yang juga bisa mimpi basah, bila merindukan Maria.”
Tapi tentu produser tak mengizinkan Hanung bisa seliar itu. Dalam film, sosok Fachri, meski ditampilkan tak kuat dalam renungan teologis, tetap pemuda tanpa cacat seperti dalam novel. Hanung tetap menampilkan Fachri yang begitu fasih mengutip hadis.
Hubungan segi tiga antara Fachri, Aisha yang asal Turki, dan Maria, penganut Kristen Koptik, adalah inti cerita. Tiga pemain, Fedi Nuril, Carissa Nurli, Rianti Cartwright, dikursuskan bahasa Arab khusus untuk memainkan film ini. Namun adegan yang datar membuat cinta suci kedua wanita itu seolah serba tiba-tiba. Sebuah cinta tanpa pergulatan psikologi mendalam dalam jiwa keduanya.
Ada bagian yang menggambarkan Maria begitu menderita. Di sini Hanung berkesempatan menampilkan simbol Kristen Koptik. Maria berdoa menggenggam salib dan menyerukan Kristus.
Namun sayang, film selanjutnya malah memfokuskan poligami. Aisha mengizinkan Hanung mengawini Maria. Dan di sinilah terjadi adaptasi utama dari novel.
Dalam novel asli, Fachri bersedia mengawini Maria, ketika Maria sekarat. Tak lama kemudian Maria meninggal. Kehidupan rumah tangga bertiga tak sempat mereka jalani. Tetapi, dalam film, meski Maria akhirnya meninggal, kehidupan poligami ditampilkan. Agaknya drama inilah yang ingin dijual: bagaimana Fachri membagi keadilan di antara keduanya; bagaimana Aisha dan Maria bersaing merebut cinta. Film menjadi tambah penuh tangisan duka lara.
Persoalan lain adalah bila film sampai kepada adegan yang dalam novel sendiri tak kuat. Misalnya adegan yang menyeret Fachri ke penjara. Noura bin Bahadur, perempuan satu flat yang sering disiksa ayah tirinya, mengaku diperkosa Fachri. Padahal Fachri telah ikut membantu Noura mencari orang tua aslinya. Motif Noura kurang kuat. Maka, ketika Zaskia Adya Mecca yang memerankan adegan Noura di depan pengadilan akhirnya menyatakan bahwa yang memperkosa adalah ayah tirinya sendiri, hal itu tidak menjadi klimaks.
Menarik adalah cara Hanung menyiasati lokasi. Mulanya syuting total direncanakan di Mesir, namun gagal karena anggaran yang diminta partner mereka di Mesir begitu tinggi. ”Mereka minta Rp 15 miliar buat syuting 15 hari, di luar editing,” kata Hanung. Akhirnya mereka memutuskan syuting interior di Indonesia.
Dan ini kerja keras yang berani. Sebuah sudut Gedung Cipta Niaga Jakarta dijadikan perpustakaan Al-Azhar. Hall di dalam Gereja Imannuel Jakarta dijadikan ruang pengadilan. Perpustakaan Fachri, penjara, dan rumah sakit mengambil lokasi di Lawang Sewu, Semarang. Adapun Pasar Khalili dan El Giza dibuat di kawasan Gereja Blenduk, Kota tua Semarang. Di situ Hanung membawa unta dari kebun binatang Gembira Loka, Yogya.
Adapun untuk eksterior: Sungai Nil, gurun pasir, taman Al-Azhar, masjid, semua di India. Selama lima hari, Hanung bersama 20 kru melakukan perjalanan ”berdarah-darah”, karena fasilitas yang diberikan pihak yang mereka sewa di luar ekspetasi. ”Kami disediakan kamera yang kualitasnya lebih rendah dari yang kami gunakan di sini,” kata Hanung.
Tapi akhirnya semua kelar. Editing cukup meyakinkan. Sekilas penonton tak tahu bahwa eksterior di India, interior di Semarang, dan bahwa piramid hanya rekayasa efek khusus komputer. Membludaknya penonton sungguh mencengangkan. Gedung-gedung bioskop di Jakarta sampai menyediakan dua atau tiga layar karena penonton berjubel. Melalui film ini, Hanung membuat fondasi bagi obsesinya membuat film lain bertema Islam: Ahmad Dahlan.
Seno Joko Suyono dan Anton Septian
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo