Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sakramen Politik, Mempertanggungjawabkan Memoria Penulis: Eddy Kristiyanto OFM Pengantar: Ignas Kleden Postkript: J. Kristiadi Penerbit: Lamalera, Yogyakarta, 2008 (xliii + 309 halaman)
Buku ini sedikit banyak mengejutkan karena soal agama (Kristen/Katolik) dan politik tidak lagi mengenai dorongan memperbesar persentase kursi dalam parlemen, tidak pula mengenai strategi memperjuangkan posisi minoritas Kristen di tengah perpolitikan Indonesia. Kalau kepada buku ini para penggiat partai politik Kristen hendak mencari ”ayat-ayat” untuk berkampanye, tentulah akan kecewa. Karena buku ini membicarakan ihwal yang tak terkait dengan siasat memenangkan sentimen umat.
Pertama-tama, buku ini menguak apa yang keliru dalam soal politik dan agama yang telah membebani sejarah kekristenan di masa lalu, yaitu ketika gereja hendak menguasai politik atau ketika politik memanfaatkan kekristenan untuk kepentingan manipulatifnya. Sakramen Politik mewanti-wanti agar kekristenan tidak kambuh kepada caesaropapisme (yang mengawinkan fungsi kaisar dan imam). Dan tidak juga sebaliknya, kekuasaan sipil ditundukkan di bawah kekuasaan gereja atau kepausan: auctoritas sacrata pontificium (hlm. 183). Buku ini juga menyampaikan, jangan pula kekristenan menerima begitu saja solusi sekularisme modern—di mana iman dan agama menjadi urusan privat semata. Akibatnya, pesan teologi tidak punya gregret apa-apa di tengah kehidupan sosial politik masa kini.
Maka, yang dicari adalah langkah yang lain sama sekali. Dan penulis buku ini, seorang imam Fransiskan pemimpin Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, mengambil langkah berani. Dia menggabungkan dua kata dan paham penuh tengkar: sakramen dan politik, atau juga teologi dan politik.
Betapa tidak jamaknya ihwal politis disandingkan dengan teologi. Secara umum politik bersangkut dengan soal kekuasaan dan serba pengelolaannya di masyarakat. Adapun teologi secara khas merupakan wacana sistematis tentang iman kepada yang Transenden. Di sinilah terobosannya. Penulis buku ini hendak membetot agama kalau percakapan dan laku imannya hanya berputar di sekitar kerinduan dan kesenangan pada Tuhan. Dengan demikian teologi politik berarti ”koreksi kritis atas tendensi yang membatasi teologi pada wilayah pribadi dan personal” (hlm. 34). Teologi tanpa matra politik adalah hobi kaum borjuis. Dengan hidup sosial yang mapan, kaum borjuis perlu ”gula-gula” untuk mempermanis hidupnya dengan soal-soal eksistensial keberimanan.
Dengan demikian teologi politik berarti ikhtiar menemukan cara mengubah masyarakat dan budaya. Dan beriman berarti bertaruh terus-menerus agar transformasi masyarakat dan ruang politik terjadi secara riil. Agar teologi ini tidak menjadi legitimasi fakta-fakta politis hasil ideologi tertentu, ia secara mendasar menggali energinya pada khazanah mesianik iman Kristen. Khazanah itu mengenai memoria (kenangan) bahwa berita Kitab Suci ialah mengenai penolakan terhadap berhala kekuasaan yang hendak mengabadikan dan mempertuhan dirinya.
Kitab Suci juga secara ajek mengharapkan agar kenyataan baru masa depan Tuhan menerobos masuk dan melucuti struktur-struktur politik yang menindas dan merampas orang kecil. Dengan demikian iman Kristen selalu punya perkara dan tengkar terhadap bentuk-bentuk politik mutakhir yang mendaku sempurna, sekaligus menemukan mediasi-mediasi konkret di ranah sosial politik di mana iman menemukan praktek transformatif.
Judul buku ini mengenai sakramen; bahwa mesti ada tanda kehadiran dari yang Transenden dalam kenyataan hidup. Sakramen tadi menjadi tanda kritik atas politik penindasan, sekaligus tanda harapan akan terbentuknya ruang-ruang keadilan dan damai bagi rakyat kebanyakan. Teologi selalu bertolak dari ketersentuhan hidup manusia dengan jemari Ilahi (sehingga perkara filosofis yang berputar-putar pada menalar ada tidaknya Tuhan tidak relevan lagi). Maka langkah hidup selalu merujuk pada sang Ilahi yang tak pernah netral di hadapan jeritan orang-orang tertindas. Jadi, sakramen yang hedak ditampakkan ialah sebentuk harapan politik bagi orang yang lemah dan terlupakan.
Buku ini terdiri atas kumpulan tulisan yang semula diperuntukkan bagi pelbagai kesempatan. Tapi kata pengantar Ignas Kleden seolah hendak menjahit potongan-potongan kesempatan tersebut. Kalau memang teologi hendak melakukan pemeriksaan pada yang politis, dan berikhtiar menampakkan harapan bagi yang tertindas, perlu juga pesan teologi itu dijalani secara metodik. Dengan begitu realitas iman yang berdampak politik bisa tersingkap. Memakai sudut pandang Weber, Ignas Kleden mendorong agar omongan teologi politik juga memiliki realitas sosiologisnya (memiliki ”sosiologi keselamatan”-nya), khususnya di Indonesia.
Pada titik ini ada soal yang berat; hendak berangkat dari kenyataan sosiologi manakah kalau kekristenan Indonesia berniat mengoperasikan teologi politiknya? Rasanya seperti melamun saja kalau karier agama Kristen/Katolik di negeri ini baru sebatas berkumpul-kumpul, bernyanyi-nyanyi, dan membangun gedung gereja di sana-sini.
Di sini Eddy Kristiyanto tampak meraba-raba, sembari menunjuk-nunjuk bahwa umat Kristen bisa bertolak dari corak menggereja sebagaimana yang pernah ditumbuhkan dan ditanamkan oleh Y.B. Mangunwijaya. Gereja kiranya menjadi semacam gerakan (persisnya: ”gereja diaspora”, hlm. 255), khususnya di padang luas globalisasi yang tunggang-langgang.
Makanya perlu ditambahkan di sini eksaminasi atas riwayat kekristenan Indonesia dan riset Karel Steenbrink akan membantu (dalam bukunya Orang-orang Katolik di Indonesia, 1808-1942: [Jilid I] Suatu Pemulihan Bersahaja, 1808-1903, dan [Jilid II] Pertumbuhan yang Spektakuler dari Minoritas yang Percaya Diri, 1903-1942, terbit 2006). Di situ didedahkan bahwa ada sebentuk perjalanan sejarah orang-orang Katolik menjadi gereja diaspora, yaitu gereja yang menyebar, non-hierarkis dan menempuh ”baptisan diri” ke dalam kultur dan pergulatan konkrit masyarakat lokal. Bukan perbanyakan gereja, apalagi bila mencari jiwa yang menjadi obsesi.
Tentu ada ketegangan internal yang perlu disiangi. Sebab gereja Kristen/Katolik Indonesia memiliki beban institusi akibat karier kemodernannya (”sukses” pendidikan dan kesehatan yang tampak sebagai institusi mahal dan cenderung elitis). Maka langkah bersahaja dan lebih terbuka bagi partisipasi kelompok lemah perlu lebih mengemuka. Agar sosiologi keselamatan yang berbela rasa penuh cinta (a compassionate commitment, sic! Hal. 269) menerobos masuk ke ruang-ruang sesak masyarakat Indonesia yang dirundung nestapa.
Martin Lukito Sinaga, pendeta di Gereja Kristen Protestan Simalungun dan dosen tamu STF Driyarkara
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo