Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Dering Itu

10 Maret 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dini hari, pukul 3. Anak-anak sedang tidur tenteram di seluruh Amerika. Tiba-tiba telepon berdering di Gedung Putih. Sesuatu tengah terjadi di dunia. Tampaknya gawat. Siapa gerangan yang mampu memberi respons yang tepat kepada pesan lewat telepon itu?

Pertanyaan itu sah, tapi ini baru sebuah pengandaian yang dibawakan sebuah iklan: sebuah film pendek yang dimulai dengan cahaya biru yang suram, dengan dini hari yang sunyi, anak-anak yang nyenyak, dan kamar tidur bersih: imaji-imaji yang menyarankan sesuatu yang tanpa dosa, tapi rapuh, di tengah gelap yang menyembunyikan ancaman.

Dipasang Hillary Clinton di televisi menjelang pemungutan suara untuk melawan pesaingnya, Barack H. Obama, pesan iklan itu jelas: yang bisa menghadapi ancaman itu hanya seorang Presiden Amerika yang kenal ”para pemimpin dunia, kenal dunia militer, seorang yang sudah diuji bisa memimpin di dunia yang berbahaya.…”

Bagi para juru kampanye Hillary Clinton, sifat-sifat itu tentu tak ada pada Obama, seorang yang belum pernah memimpin negeri dalam ancaman perang.

Tiap propaganda tentu memaafkan sendiri keculasannya. Iklan itu tak menyebut bahwa sebenarnya Hillary juga belum diuji. Ia memang pernah di Gedung Putih, tapi sebagai istri seorang presiden. Ia memang kemudian jadi seorang senator, tapi satu-satunya keputusan penting adalah dukungannya kepada Perang Irak Presiden Bush—yang ternyata sebuah keputusan yang celaka.

Tapi bahwa iklan semacam itu ditayangkan—dan berhasil meyakinkan pemilih di dua negara bagian—menunjukkan bahwa pada mulanya bukanlah Hillary atau Obama. Pada mulanya adalah paranoia.

Kita ingat empat patah kata dalam iklan itu: ”dunia yang berbahaya ini….” Di sana tak ada kemungkinan lain dalam dering telepon pada jam 3 pagi itu. Tak mungkin pesan itu ternyata sebuah kabar gembira, misalnya kabar perdamaian yang solid antara Palestina dan Israel, atau pesawat ruang angkasa Amerika yang menemukan sebuah dataran yang subur di sebuah planet. Sebab, kabar baik bukanlah yang diharapkan. Iklan itu hendak menampilkan suasana gawat di mana Hillary Clinton berperan besar; sebab ia kenal betul ”dunia militer”.

Saya tertegun. Dengan propaganda macam itu, Amerika macam inikah yang akan tecermin dalam pemilihan umum 2008: Amerika sebagai kekuatan militer yang memandang dengan suram sekitarnya yang tak ramah? Bukan Amerika yang dulu pernah membentuk PBB di dunia yang penuh harapan damai dan kemerdekaan?

Jika demikian, kita pantas murung.

Bush-dan-Cheney memang segera tak akan berkuasa lagi. Negeri yang ditinggalkannya memang telah jadi negeri yang dibenci di seluruh dunia, yang angkuh ke seluruh dunia, yang tanpa mengerdipkan mata menyerbu negeri lain dengan alasan yang palsu, seraya tak peduli melanggar hak-hak asasi manusia di Guantanamo dan di tempat-tempat interogasi yang disembunyikan. Sungguh buruk peninggalan itu, tapi tampaknya tetap terbuka kemungkinan Amerika mengukuhkan politik paranoia yang dilembagakan sejak 11 September 2001.

Politik paranoia adalah politik nasionalisme yang gelap. Hari itu, ketika para teroris Al-Qaidah menabrakkan dua pesawat terbang ke dua menara tinggi di New York dan membunuh hampir 3.000 orang, seluruh Amerika terkejut dan ngeri. Tapi Tuan Cheney menemukan apa yang dicarinya: sebuah musuh baru, setelah Uni Soviet dan Cina mundur. Dengan musuh itu Amerika dapat memiliki arah yang tegas dan satu.

Nasionalisme, apalagi yang gelap, punya gairah dan daya tersendiri untuk mengukuhkan kekuasaan yang brutal. Maka perang antiterorisme dari Gedung Putih bukanlah perang untuk mengakhiri terorisme, melainkan untuk menyambutnya. Tak mengherankan bila sampai hari ini Al-Qaidah belum dihabisi dan Usamah bin Ladin masih tersembunyi. Tak mengherankan bila empat tahun yang lalu Bush-dan-Cheney dipilih lagi.

London, 3 November 2004. Koran Daily Mirror terbit menyambut pilihan rakyat Amerika yang mendukung kembali Presiden Bush dengan bersemangat, meskipun begitu jelas ia menyerbu Irak dengan dalih yang bohong. Di halaman depan tabloid itu tampak wajah George W. Bush melambai. Di bawahnya sebuah kalimat: How can 59,054,087 people be so DUMB?

Saya ingat seorang Amerika tertawa pahit membacanya. ”Saya tak tahu lagi, di mana tanah air saya,” katanya sedih.

Tapi itu empat tahun yang lalu. Kini ia tak merasa sedih lagi, ketika bersama ribuan orang muda setanahairnya ia ikut berkampanye untuk Obama dan merayakan kemenangan di sebelas negara bagian. ”Anak-anak muda ini,” tulisnya, ”telah menemukan kembali indahnya kehidupan berpolitik; kami telah menemukan keberanian untuk berharap.” Di hatinya, judul buku Obama, the Audacity of Hope, terasa begitu kena. Dengan mata yang berkaca-kaca karena bangga ia kini bisa mengatakan, The Daily Mirror tak benar, setidaknya di tahun 2008 ini: jutaan pemilih Amerika ternyata tak bodoh.

Mereka bahkan tengah merintis sebuah zaman baru—zaman yang bisa menyambut seorang Obama, yang bukan 100% ”pribumi”, yang tak memamerkan bendera Amerika di lencana jasnya—tapi yang percaya bahwa ada patriotisme lain yang bisa menggugah: patriotisme yang membuat sebuah bangsa bersama-sama melepaskan rasa saling curiga dan benci yang tumbuh di bawah politik paranoia. Juga patriotisme yang bangga kepada tanah air yang bisa membawa damai ke dunia.

Tapi mungkinkah? Sepekan setelah dering seram di iklan itu, pada pukul 3 pagi sebuah ledakan terdengar di Times Square, New York. Letupan kecil, dengan kerusakan kecil, dari sebuah alat sederhana yang dipasang di gedung milik Angkatan Bersenjata. Tak ada yang terbunuh. Tapi dengan segera keluar statement Hillary Clinton: ”Apa pun yang kita ketahui dari serangan ini, itu sebuah pengingat akan ancaman yang terus menghadang tanah air kita.”

Ancaman. Dering lewat tengah malam….

Kita cemas. Kita cemas memandang Amerika.

Goenawan Mohamad

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus