Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
THE WOLF OF WALL STREET
Sutradara: Martin Scorsese, Skenario: Terence Winter, Berdasarkan kisah nyata yang ditulis oleh Jordan Belfort
Pemain: Leonardo DiCaprio, Jonah Hill, Margot Robbie, Matthew McConaughey, Jean Dujardin, Rob Reiner
Leonardo DiCaprio adalah sang serigala. Leonardo DiCaprio adalah Jordan Belfort, pialang saham yang memperkenalkan kepada dunia bahwa hidup gaya Caligula pada abad ke-21 masih sangat mungkin.
Setelah tiga kali dinominasikan oleh Academy Awards dan selalu dikalahkan aktor lain, mungkin tahun ini sudah waktunya Leonardo DiCaprio memperoleh kehormatan itu.
DiCaprio sudah berhasil menunjukkan bahwa dia adalah satu dari sedikit generasi aktor watak penerus angkatan Robert de Niro dan Al Pacino. Berkali-kali dia luput memperoleh penghargaan tertinggi Amerika itu meski sudah bersinar dalam film The Aviator (Martin Scorsese, 2004), The Departed (Martin Scorsese, 2006), J. Edgar (Clint Eastwood, 2011), bahkan Django Unchained (Quentin Tarantino, 2012). DiCaprio selalu saja tersingkir oleh nomine lainnya.
Di film The Wolf of Wall Street, DiCaprio masuk ke tubuh tokoh nyata Jordan Belfort, pialang saham yang kariernya naik secara meteorik dan jatuh berdebam ke bumi setelah FBI menghajarnya dengan puluhan tuduhan pelanggaran, termasuk penipuan dan manipulasi harga saham.
Belfort sebetulnya datang dari keluarga biasa; bertempat tinggal di Long Island, New York; menempuh pendidikan hingga mencapai tingkat sarjana biologi; dan bekerja sebagai salesman. Pada saat inilah film dimulai. Jordan Belfort menjadi pemandu penonton seperti seorang pemandu wisata yang memperkenalkan obyeknya: kita melihat Leonardo Dicaprio berbincang kepada kita dengan fasih. Belfort bertemu dengan Mark Hanna (diperankan dengan bagus oleh Matthew McConaughey), bos perusahaan investasi L.F. Rothschild, yang mengajari dia bahwa yang penting dalam transaksi adalah memasukkan sebagian uang ke kantong pribadi. Dan, jangan lupa, kata Hanna nyengir, sembari bekerja keras mencari klien, silakan menyerot kokain dan jumpalitan dengan pelacur. Pasti asyik.
Semula Belfort agak gugup mendengar saran ini. Tapi kegugupan itu hanya berusia lima detik. Di dalam tubuh Belfort, ada bakat wiraniaga yang mengalir deras. Betul saja. Belfort menjadi salesman terkemuka dan yang paling meyakinkan, bahkan ketika Wall Street dihajar Black Monday dan Belfort kena kebijakan perampingan perusahaan. Dia bisa mengatasinya dengan bekerja di Investment Centre dan menjadi pialang saham "kacangan"—biasa disebut penny stock atau saham kelas tiga—dengan kepandaiannya merangkai kata-kata, mengelus-elus sebuah produk tanpa harga menjadi emas ke telinga calon pembeli. Hanya dalam setahun, Belfort dan partnernya, Donnie Azoff (Jonah Hill dengan gigi palsu dan penis palsu), berhasil membangun perusahaan Stratton Oakmont. Dengan mempekerjakan kembali kawan-kawan lama, Belfort menjalankan perusahaan pialang sahamnya seperti gaya kaisar Romawi berpesta: orgy di kantor (salah satu hobi Belfort adalah ramai-ramai menyaksikan karyawannya melakukan seks oral di lift kaca), menyerot kokain, menenggak puluhan pil, dan mengundang puluhan pelacur ke kantor atau band yang meluncur ke ruang pialang dalam keadaan telanjang.
Deretan adegan kegilaan, seks, narkoba, dan orgy itu sesekali diselingi adegan rapat. Isi rapat bukannya membicarakan soal naik-turunnya harga saham, melainkan bagaimana caranya mereka membuat pesta yang puncak acaranya adalah melempar-lempar orang kerdil sewaan agar bisa meluncur seperti bom. Di antara orgy di kantor, sampanye, serta anggur bercampur keringat dan lendir yang sudah tak jelas asal-usulnya, MarÂtin ScorÂsese cukup paÂtuh menggunakan plot dan dialog buku karya Jordan Belfort, yang ditulis Belfort selama di penjara. Dia juga sangat patuh pada semua adegan gaya hidup hedonistik Belfort dan anak buahnya: sebuah gaya dan sikap yang sama sekali tak memperlihatkan rasa bersalah atau malu. Mereka begitu dikuasai kekuatan narkoba hingga sama sekali tak memiliki kesungkanan. Begitu persisnya seluruh plot dengan buku Belfort, kita bahkan bertanya-tanya apa mungkin sebuah kantor dijalankan dengan serombongan lelaki yang kerjanya menenggak narkoba dan melorotkan celananya melulu? Bagaimana bisa mereka berfungsi dalam keadaan teler?
Yang mereka tenggak memang pil "upper" Quadalude, yang konon membuat mereka jadi "bersemangat" dan penuh rangsangan. Itulah sebabnya mereka tak lagi memiliki urat malu.
Tapi tentu saja, pada paruh terakhir, Scorsese akhirnya harus menginformasikan akibat overdosis pil ini kepada pemirsa. Belfort, yang terpaksa menggunakan telepon umum untuk berbincang dengan detektif swasta yang disewanya karena semua telepon di rumahnya disadap FBI, pulang ke rumahnya mengendarai mobil mewah dalam keadaan teler. Mobilnya yang hancur lebur itu menabrak begitu banyak mobil dan tiang listrik hingga akhirnya polisi menangkapnya. Dan FBI, yang sudah bekerja seperti sekumpulan elang di awan, kemudian punya alasan untuk menyambar target yang sudah lama jago berkelit itu. Penipuan terhadap klien, terhadap keluarga, terhadap tubuh, dan terhadap harga diri harus berakhir pada satu tiga huruf bernama FBI.
Film ini sudah digadang-gadang akan menjadi nomine dalam Academy Awards tahun ini melawan film lain yang juga sudah terdengar gencar, seperti 12 Years a Slave (Steve McQueen), Gravity (Alfonso Cuarön), American Hustle (David O. Russell), dan Blue Jasmine (Woody Allen). Tapi banyak juga pengkritik yang risi terhadap glorifikasi kehidupan hedonistik Jordan Belfort dan kawan-kawan sekantornya.
Untuk tiga jam yang berisi repetisi adegan orgy di dalam kantor, di atas pesawat terbang, dan di mana-mana, justru sutradara Scorsese memperlihatkan sebuah drama satiris yang menunjukkan kebodohan orang-orang yang merasa hanya bisa hidup dan berfungsi melalui narkotik dan pesta seks. Mirip dengan gaya Scorsese memperlihatkan para anggota mafia di dalam Goodfellas (1990), yang berulang-ulang memperlihatkan adegan pembunuhan, penyiksaan, seks, dan penggunaan narkoba yang memperlihatkan betapa jungkir-baliknya logika para preman ini. Para tokoh dalam The Wolf of Wall Street, seperti juga Goodfellas, begitu delusional hingga menganggap mereka sama sekali tak akan pernah tersentuh hukum.
Leonardo DiCaprio, sebagai "serigala" yang sama sekali tak punya rasa sesal terhadap kelakuannya, kali ini menampilkan sosok yang sangat pas, yang membuat kita ingin muntah sekaligus takjub bahwa ternyata ada spesies semacam itu di semesta kita. Kali ini Academy Awards layak memberikan penghargaan untuk kerja kerasnya.
Leila S. Chudori
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo