Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bunyi cericit burung keluar dari seruling bambu khas Jepang (shakuhachi). Debur ombak dan laut menambah keindahan suara seruling. Suaranya menenangkan dan sayahdu menembus dinding-dinding ruangan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Musikus Jepang, Dozan Fujiwara, 46 tahun, membawakan lagu Haru no Umi karya pemain dan penulis musik tradisional Michio Miyagi. Michio adalah musikus difabel yang sangat populer di Jepang. "Haru no umi berarti samudra musim semi," kata Dozan Fujiwara dalam konser bertajuk "Dozan Fujiwara Shakuhachi Concert atau Suara dari Timur" di Taman Budaya Yogyakarta, Selasa malam lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Musik berjudul Haru no Umi itu merupakan musik kedua yang dimainkan setelah lagu berjudul Ku karya Dozan. Musik yang punya arti langit ataupun ruang itu menghasilkan irama khas Jepang yang kuat dengan struktur musik sederhana. Ada dua lagu ciptaan komposer Shakuhaci Dozan Fujiwara yang dibawakan. Selain Ku, ada Kochi. Lagu Kochi, yang berarti angin dari timur-yang cocok dengan tajuk konser, "Suara dari Timur"-dibawakan di akhir konser.
Musikus Jepang ini juga memainkan lagu Kokoro no Tomo yang fenomenal di Indonesia. Sebagian penonton ikut menyanyikan lagu itu dengan suara lirih mengiringi konser. Dozan Fujiwara melibatkan anggota timnya, yakni Renzan Kudo (shakuhachi), Kohzan Shiba (shakuhachi), Hozan Murasawa (shakuhachi, koto), Keizan Tanabe (shakuhachi), Seigo Takimoto (piano, keyboard), dan Yuko Nakakita (perkusi).
Alat musik shakuhachi (seruling bambu) dan koto (harpa) sangat populer dan punya posisi khusus di Jepang. Shakuhachi, 200 tahun yang lalu, hanya dimainkan oleh para biksu untuk pertapaan. Lalu restorasi Meizi membuat peran biksu menjadi lemah. Tapi kemudian ada sejumlah orang yang menyelamatkan shakuhachi. "Shakuhachi kemudian diperdengarkan kepada publik secara luas sebagai alat musik," tuturnya.
Konser itu digelar lembaga seni musik dan budaya dari Jepang, Min-On Concert. Konser ini bagian dari program Min-On Global Music Network, yang diluncurkan Min-On pada 2013, untuk memperkenalkan budaya dan musikus Jepang ke dunia. Lembaga itu mengutus sejumlah musikus muda yang menggeluti musik tradisional Jepang untuk mengunjungi negara lain.
Pada tahun kelima ini, mereka memilih Indonesia sebagai negara tujuan konser. Sebelumnya, negara yang dikunjungi adalah Korea (2014), Rusia (2015), Singapura (2016), dan Malaysia (2017). Indonesia dipilih karena punya seni tradisi yang masih terjaga kuat. "Satu di antaranya musik," kata Tomomi Yokosuka, pemimpin produksi untuk konser di Indonesia.
Sebelum di Yogya, Dozan Fujiwara dan kawan-kawan berpentas Jakarta. Konser itu sekaligus memperingati 60 tahun hubungan diplomatik Jepang-Indonesia yang jatuh pada tahun ini. "Tujuannya adalah lebih mempererat hubungan persahabatan antara Jepang dan Indonesia di masa-masa mendatang," kata Dozan.
Dozan Fujiwara lahir di Tokyo pada 10 Juli 1972. Ia memainkan musik seruling bambu tradisional Jepang, shakuhachi, sejak umur 10 tahun. Dia pernah berguru kepada Houzan Yamamoto (almarhum), pemain shakuhachi Jepang, komposer, dan pendidik. Dozan menamatkan pendidikannya di Jurusan Musik Tradisional Jepang Fakultas Musik Tokyo University of Art dan program pascasarjana bidang penelitian musik di universitas yang sama.
Pada 2015, ia menyelenggarakan konser di Suntory Hall untuk merayakan 15 tahun kariernya dan berkolaborasi dengan orkestra Yokohama Sinfonietta, yang dipimpin direktur musik Kazuki Yamada. Dozan juga aktif mengajar di Tokyo University of Art, Jepang, dan berbagai seminar untuk membina musikus-musikus muda. Ia telah meluncurkan cakram padat (CD) karya debut musiknya lewat album berjudul UTA (2001), Yume (2002), East Current (2003), dan Ku (2004).
Para musikus Jepang itu juga berkolaborasi dengan musikus Indonesia untuk memainkan musik dengan sentuhan alat musik kontemporer. Misalnya, shakuhachi dimainkan bersama piano. Konser itu menampilkan 12 nomor lagu hasil kolaborasi pemusik Jepang dan Indonesia.
Para musikus Indonesia memainkan lagu-lagu fenomenal Indonesia dengan apik. Mereka yang tampil adalah Darman Merdeka (perkusi), Joel Tampeng (gitar), serta Firman Djalut (tehyan, kong ahyan). Mereka membawakan lagu berjudul Lingkaran Aku Cinta Padamu, medley Yamko Rambe Yamko, dan Kebyar-kebyar. Lagu itu menarik perhatian penonton. Mereka ikut menyanyi.
Musikus Jepang dan Indonesia mengakhiri pentas kolaborasi dengan membawakan musik dengan lagu Kereta Senja yang populer di Indonesia. Penampilan terakhir itu menjadi bonus untuk penonton. Kereta Senja tidak masuk deretan lagu untuk penampilan musik mereka. Selama 90 menit, panggung kolaborasi itu mencampurkan permainan alat musik tradisional dengan alat musik modern. SHINTA MAHARANI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo