KEPINGAN cerita dari tragedi Twin Otter mungkin akan hilang
satu-satu. Tapi tokoh-tokoh yang tersangkut di dalamnya
barangkali akan lebih lama dikenang. Setidak-tidaknya mereka
yang telah melakukan amalan baik selama musibah. Menteri Emil
Salim, beberapa waktu yang lalu menyebut-nyebut lima orang yang
direncanakannya untuk mendapat penghargaan. Di antara mereka
adalah dr. Dwiwahyono, yang sampai kini masih tetap terbaring di
RS Propinsi Sulawesi Tengah di Palu bersama empat penderita
lainnya. *)
Sesungguhnyalah Dwiwahyono, yang memang selayaknya sebagai
seorang dokter, telah banyak membantu menghindarkan sesama
korban yang masih bisa ditolong dari kemungkinan menjadi lebih
parah. Atau, dengan kata lain, berikhtiar mengurangi jumlah
calon jenazah -- sementara ia sendiri harus merangkak-rangkak
lantaran cedera berat. Membalut anggota-anggota tubuh yang luka
dengan perban, menginjeksi, memberi obat atau vitamin, maupun
meninggikan mental dengan hal-hal keagamaan, memang penting
sekali. Tapi yang juga sangat penting adalah usahanya untuk
mencegah siapa saja yang bermaksud meninggalkan lokasi
kecelakaan - dengan kemungkinan malah menemui maut.
Itu dilakukannya misalnya pada hari ketujuh, ketika orang-orang
-- termasuk Ny. Husni Alatas, yang waktu itu mengira dirinya
mungkin "sudah agak baik" -- beranjak pergi setelah kehabisan
makanan. Juga Pilot Anwar, yang belakangan diketahui "retak
tulang kepalanya di bagian belakang, sehingga semestinya tidak
begitu sadar" -- menurut Kepala RS Palu dr. Simorangkir yang
memeriksa jenazahnya. "Saya ingat betul, "tutur Dwi, "betapa
nyaring suara saya di tengah hutan itu mencegah mereka pergi".
Nah. Apa yang menyebabkan Dwi begitu yakin: bahwa lebih baik
tetap tinggal di tempat?
Pertama, menurut bahasanya sendiri: akal sehat. "Sedang barang
yang hilang selalu kita cari. Apa lagi kalau orang yang hilang.
Pasti kita sedang dicari".
Lengkapnya nama-nama yang disebut Menteri adalah: Koptu Kopasgat
Dominikus Poin, Kopda Kopasgat Sunardi, Kapten helikopter
Alonette IAT Arthurson dan Kapten Pilot BO 105 Pelita Air
Service Antonius Suwarso, serta dr. Dwiwahyono.
Lain dari itu musibah ini bukanlah yang paling besar baginya. Ia
yang menyatakan "sudah 27 kali mendapat kecelakaan besar maupun
kecil", pernah mengalami tabrakan sepeda motor di Jakarta
--dengan hasil yang lebih parah. Dokter ini memang punya
kepercayaan diri sendiri yang ternyata menakjubkan juga
besarnya.
Selalu Siap Melompat
Orang muda berumur 28 tahun ini bukanlah tipe dokter seperti
yang umumnya dibayangkan orang: yang kalem, tersenyum-senyum,
menyuntik sambil membujuk-bujuk. Dwi, lulusan UI 1974, yang
mengaku dulu memimpin karate atau kempo di fakultasnya, adalah
potongan anak muda yang banyak bergerak, banyak bicara, bangga
terhadap diri sendiri dan selalu siap melompat. "Anak buah saya
dulu saya hantam kalau berbuat salah", katanya.
Bayangkan: kepingan pesawat yang tersangkut di pohon itu, tak
berapa lama kemudian bergerak ke bawah. "Secara spontan saya
meloncat. Dalam keadaan setengah sadar. Saya tidak tahu dapat
tenaga dari mana saya. Heran, saya meloncat begitu jauh!"
Maunya ia meloncat ke tanah. Tapi pohon-pohonan di tebing yang
lebih rendah menerima tubuhnya: krasak! Dwi menyangkut di situ.
Sudah tentu ia berjuang mencari jalan turun. Agak lama (dan
persis waktu itulah ia lihat Hasan Tawil dan Kopilot Maskur
beranjak pergi). Mungkin percaya akan "tenaga dalam"nya, atau
tak sabar tinggal lama di rerantingan, ia akhirnya melompat
kedua kalinya ke bawah - 10 meter. Dan patahlah tulang
punggungnya.
Dan tinggallah ia di hutan itu, di tempat di mana pohon-pohonan
meranggas akibat amukan pesawat, selama 16 hari - "dengan sama
sekali tak ada problim", katanya. Sebabnya? Selain pernah ikut
latihan militer di Walawa dulu selama 800 jam -- dan semasih di
sekolah pernah bertugas sosial di Skodik Wala Pawamil ABRI di
Rindam VI di Cileungsi, Bandung, 1974, dan bersama AURI di
Kalimantan di tahun sebelumnya - ia juga punya kegemaran yang
menguntungkan: berburu di hutan. Bersama kakak iparnya, dr.
Utomo, ia sering bermalam-malam menginap di hutan, misalnya di
Lampung.
Sifatnya yang keras dan mau bergerak itu pula -- dengan tubuhnya
yang kecil ramping, plus kumis kecil panjang - yang mendorongnya
mencari kesibukan agar ia benar-benar merasa puas selama
bertugas di daerah, khususnya di RS Toli-toli.
Alat-Alat Yang Belum Ada
"Saya mencoba membangun di RS Toli-toli dari yang tidak ada
menjadi ada. Dan rupanya Pak Bupati Edy Suroso itu responsnya
baik sekali. Pak Edy selalu menerima saran-saran dan
memenuhinya".
Apa yang berhasil dibangun?
"Alat-alat yang belum ada, saya buat sendiri di bengkel. Dengan
bantuan Pak Bupati saya bisa mendatangkan lampu operasi dan
segala macam keperluan operasi".
Alat-alat apa?
"Misalnya alat perentang luka, alat pengambil spiral, alat
pembersih gigi, semacam tang untuk mengambil benda dari hidung,
kemudian kerekan untuk menaik-turunkan lampu, kemudian . . .
Dalam hal administrasi?
"Administrasi saya lakukan banyak perombakan. Saya tidak suka
orang yang yes man.
Dan dengan itu ia merasa sangat puas bekerja di daerah. Ia
bahkan merasa perlu rekan-rekannya seprofesi diberi pesan,
terutama yang baru lulus. "Jangan hanya mau di kota", katanya.
"Rasakanlah hidup di desa: betapa kasihannya mereka mengharapkan
perawatan seorang dokter. Tapi kalau mau senang-senang ya jangan
tinggal di desa".
Dokter yang menyatakan punya kegemaran "mengumpulkan kata-kata
muiara" ini sendiri sebenarnya dokter Inpres. Seperti yang
lain-lainnya, ia harus bertugas tiga tahun - dan tahun depan ini
selesai. Resminya ia ditugaskan di Bangkir, 25 km dari
Toli-toli, sementara isterinya -- dr. Dian Dharnayani -- di
Ogotua. Tapi lantaran Ogotua hanya bisa dicapai dengan perahu
motor selama 8 jam, tempat dibalik: Dwi di Ogotua dan Nyonya di
Bangkir, di mana mereka resminya tinggal sekarang. Sang isteri,
bukan tenaga Inpres, sampai sekarang masih saja berstatus
honorer. Ia ditugaskan di semacam poliklinik di Bangkir, selain
buka praktek. Dwi sendiri tak mau buka praktek. "Habis waktu
saya untuk memikirkan kemajuan rumah sakit", katanya.
Karena Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Buol/Toli-toli pergi
sekolah untuk dua tahun, ia pun mulai tahun kemarin diangkat
sebagai penjabat pengganti kepala tersebut merangkap Penjabat
Kepala Rumah Sakit Umum Toli-toli.
Tercapaikah cita-citanya, dengan demikian? Anak kelahiran
Purworejo ini (5 Juli 1948), berniat meneruskan studinya untuk
spesialisasi bedah - setelah selesai tugasnya tahun depan. Dan
sudah itu, menurut pengakuannya, sedapat-dapatnya ingin kembali
lagi bertugas di kota kecil. Meski begitu cita-citanya semenjak
kanak-kanak sebenarnya bukan dokter. Sebagai putera kedua dari
pensiunan tentara H. Bachrulhayat Muhammad Rochsidi dan
satu-satunya yang jadi dokter dari tujuh bersaudara - ia
sebetulnya ingin jadi tentara. Apa lacur, orangtuanya tak
mengizinkan. "Saya lalu mendaftar ITB, dan lulus testing. Tapi
orangtua juga tidak memberi izin. Akhirnya ya terpaksa sekolah
dokter".
Ali Moertapo
Wawancara terputus. Rombongan Ali Moertopo dari Jakarta datang
menengok (dan dua hari sebelumnya rombongan Amirmachmud juga
datang menengok). "Saya tak apa-apa!" kata Dwi kepada Letjen Ali
Moertopo. "Saya tak apa-apa kok ditengok". Dan orang-orang keta
wa. "Wah, ini ganteng sekali", kata David Napitupulu, tokoh KNPI
yang menyertai Ali Moertopo. Dan semua ketawa lagi
beramah-ramah.
Rombongan pergi, dan Dwi bertanya: "Siapa itu tadi?"
"Itu namanya Bapak Ali Moertopo", ada yang bilang.
"Ben! Benny!' (dan dr. Benny, yang lagi melamun-lamun,
menengok). "Lu daripada ' terbengong-bengong ngrokok mendingan
deh. Mulut lu bau kalau nggak ngrokok".
"Berapa banyak dr. Dwi merokok setiap hari?" tanya TEMPO.
"Enam bungkus".
"Wah. Segala jenis rokok?"
"Kretek. Hanya kretek. Tapi setelah kakak saya ini (dr. Utomo)
datang, semuanya dia jatah, hanya lima batang sehari! "
Dan di meja kecil di samping tempat tidurnya, terletak stoples
kecil. Di dalamnya alat suntik, tergenang dalam air. Tertulis di
stoples itu kira-kira: 'Alat inilah yang menyelamatkan para
korban sebelum datangnya droping obat-obatan'. Bahkan pada
perban yang membalut sekujur kaki Dwi yang kiri, bisa dibaca
tulisan seperti: 'Kenang-kenangan dari G. Tinombala' dan
semacamnya. Coret-coretan itu juga disuruhnya tulis di kaki Ny.
Husni.
Jadi setelah masuk kedokteran UI di Jakarta (di mana ia juga
menyelesaikan SMP dan SMA-nya, dua-duanya sekolah Katolik),
berkenalan dengan Dian Dhamayani, puteri Jaksa Tinggi Sumatera
Selatan Sjarif I.D. SH. "Dia itu dulu saya yang mlonco". Maka
setahun setelah lulus, pemuda yang juga pernah dikenal sebagai
Ketua Komisariat HMI Kedokteran ini pun kawinlah - 23 Maret
1975. Kakak perempuan Dian sendiri, juga dokter, sudah lebih
dulu menikah dengan dr. Utomo, super spesialis bedah tulang.
Dan tibalah saatnya untuk menantikan anak pertama. Dwi dan
Nyonya berkemas-kemas di Bangkir: sang nyonya merasa lebih baik
menantikan kelahiran di Jakarta saja. Dwi mengantarkannya ke
sana: syukurlah, selamat, sampai tiba di rumah . . .
'Tugas' Agama
Ketika musibah itu terjadi di perjalanan pulang, dan dikabarkan
Dwi gugur lantaran meloncat dari pohon, tak terbayangkan betapa
kejutan hati Nyonya dan seluruh keluarga. Tapi begitu Dwi
melompat, apa yang dirasakan pertama kali dalam kesakitan itu
ialah katanya: "Bagaimana bisa bertahan hidup dan meninggikan
semangat kawan-kawan". Itulah sebabnya bagian yang juga sangat
penting dari 'tugas'nya waktu itu, adalah hal-hal yang
berhubungan dengan agama dan kerohanian.
Dari mana mendapat pelajaran agama dahulu?
"Dari kakek saya almarhum, Haji Darmosonto, asal Banyumas. Lalu
dari ayah saya".
Anda disiplin? Artinya, saleh?
"Saya memang tidak alim. Tapi boleh ditanyakan kepada
kawan-kawan saya sembahyang lima kali sehari. Tapi saya tidak
alim".
Apa yang paling mengikat jiwa anda dalam hal agama?
"Yah... Saya beragama tadinya ikut-ikutan. Ikut kakek, pergi
sembahyang. Ikut bapak. Lama-lama... (dan ia menarik nafas,
capek), oh, inilah agama yang saya pilih. Nggak tahu deh kenapa.
Anak saya juga nanti akan saya beri pendidikan bebas. Kecuali
dalam hal agama".
Selamat ya, untuk puteranya yang sudah lahir.
"Belum. Berita di koran itu nggak benar. Tempohari memang saya
bilang kepada wartawan itu, kalau anak saya nanti lakilaki saya
kasi nama Otter. Kalau perempuan Otterini, sebagai
kenang-kenangan. Tapi diharapkan akan lahir minggu ketiga Mei
nanti, dan memang belum lahir".
Dan sambil memikir-mikirkan nama anaknya di gunung itu, Dwi - di
samping menulis buku harian, dan merokok -- menganjurkan
orang-orang sembahyang menurut agama masing-masing. Ia sendiri
shalat terus. Membaca Do'a 'Ukasyah, Ayat Kursi, Surah Yasin,
dan zikir sedapat-dapatnya. (Ia mengantongi sebuah brosur kecil,
Ayat 15, terbitan Al-Ma'arif Bandung, yang sekarang juga
diletakkannya di meja di samping pembaringannya). Ia juga
mengisi waktu dengan menyanyi bersama-sama. Lagu-lagunya: Kalau
Nona Mau Percaya, lagu Ambon. Lalu Don't Forget to Remember.
"Itu lagu memori saya dengan isteri". Dan lain-lainnya, umumnya
lagu-lagu Ambon yang gembira, seperti Batu Bedaun atau Kantina
Juga ngomong-ngomong bab agama. Apa topiknya? "Yah misalnya
tentang Nabi Muhammad waktu terkurung di Gua Hira. Atau Nabi Nuh
yang diejek orang-orang, atau Nabi Ismail yang rela. Yah
pokoknya tentang kesabaran dan tahan mental". Dan ia juga
memarahi Suryadianto, pemuda keturunan Tionghoa dari perusahaan
rokok kretek di Kudus - yang sekarang ini terbaring di sebelah
kirinya. Waktu itu Suryadianto selalu mengaduh-aduh. Kata Dwi:
"Kalau kesakitan jangan bilang aduh. Baca Allahu Akbar saja!" -
lantas ia ajar syahadat, dan rekannya itu menurut.
Ia juga menyimpan baik-baik wasiat Husni kepadanya. Apa?
"Yang saya ingat empat macam. Isterinya supaya memakai baju
hitam selama dua minggu. Lalu, dia menitipkan kedua anaknya
kepada saya, yang bernama Ani dan Budi. Tapi nggak tahu siapa
Ani dan Budi. Baru di rumah sakit ini saya tahu. Ketiga,
sepertiga dari hartanya supaya diserahkan kepada anak-anak
yatim. Dan keempat: sandal jepit yang berwarna kuning dan baju
putih bergaris-garis, jangan dibuang. Dibungkus baik-baik dan
masukkan dalam lemari".
Barang-barang itu ada di sana? Dibawa dalam penerbangan?
"Mana saya tahu! Saya waktu itu juga belum tahu lusni itu siapa.
Saya hanya mematuhi karena ini amanat orang yang akan
meninggal".
Dokter Dwi, kawan kita yang belia ini, masih akan tinggal di RS
Palu setidak-tidaknya dua bulan lagi. Mari kita kirimkan
terimakasih dan doa sukses.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini