Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosok

Setelah Sang Dokter Loncat Dari ...

Menteri Perhubungan, Emil Salim, merencanakan akan memberi penghargaan kepada lima korban pesawat MNA di Tinombala, antara lain : dr Dwiwahyono. (tk)

7 Mei 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KEPINGAN cerita dari tragedi Twin Otter mungkin akan hilang satu-satu. Tapi tokoh-tokoh yang tersangkut di dalamnya barangkali akan lebih lama dikenang. Setidak-tidaknya mereka yang telah melakukan amalan baik selama musibah. Menteri Emil Salim, beberapa waktu yang lalu menyebut-nyebut lima orang yang direncanakannya untuk mendapat penghargaan. Di antara mereka adalah dr. Dwiwahyono, yang sampai kini masih tetap terbaring di RS Propinsi Sulawesi Tengah di Palu bersama empat penderita lainnya. *) Sesungguhnyalah Dwiwahyono, yang memang selayaknya sebagai seorang dokter, telah banyak membantu menghindarkan sesama korban yang masih bisa ditolong dari kemungkinan menjadi lebih parah. Atau, dengan kata lain, berikhtiar mengurangi jumlah calon jenazah -- sementara ia sendiri harus merangkak-rangkak lantaran cedera berat. Membalut anggota-anggota tubuh yang luka dengan perban, menginjeksi, memberi obat atau vitamin, maupun meninggikan mental dengan hal-hal keagamaan, memang penting sekali. Tapi yang juga sangat penting adalah usahanya untuk mencegah siapa saja yang bermaksud meninggalkan lokasi kecelakaan - dengan kemungkinan malah menemui maut. Itu dilakukannya misalnya pada hari ketujuh, ketika orang-orang -- termasuk Ny. Husni Alatas, yang waktu itu mengira dirinya mungkin "sudah agak baik" -- beranjak pergi setelah kehabisan makanan. Juga Pilot Anwar, yang belakangan diketahui "retak tulang kepalanya di bagian belakang, sehingga semestinya tidak begitu sadar" -- menurut Kepala RS Palu dr. Simorangkir yang memeriksa jenazahnya. "Saya ingat betul, "tutur Dwi, "betapa nyaring suara saya di tengah hutan itu mencegah mereka pergi". Nah. Apa yang menyebabkan Dwi begitu yakin: bahwa lebih baik tetap tinggal di tempat? Pertama, menurut bahasanya sendiri: akal sehat. "Sedang barang yang hilang selalu kita cari. Apa lagi kalau orang yang hilang. Pasti kita sedang dicari". Lengkapnya nama-nama yang disebut Menteri adalah: Koptu Kopasgat Dominikus Poin, Kopda Kopasgat Sunardi, Kapten helikopter Alonette IAT Arthurson dan Kapten Pilot BO 105 Pelita Air Service Antonius Suwarso, serta dr. Dwiwahyono. Lain dari itu musibah ini bukanlah yang paling besar baginya. Ia yang menyatakan "sudah 27 kali mendapat kecelakaan besar maupun kecil", pernah mengalami tabrakan sepeda motor di Jakarta --dengan hasil yang lebih parah. Dokter ini memang punya kepercayaan diri sendiri yang ternyata menakjubkan juga besarnya. Selalu Siap Melompat Orang muda berumur 28 tahun ini bukanlah tipe dokter seperti yang umumnya dibayangkan orang: yang kalem, tersenyum-senyum, menyuntik sambil membujuk-bujuk. Dwi, lulusan UI 1974, yang mengaku dulu memimpin karate atau kempo di fakultasnya, adalah potongan anak muda yang banyak bergerak, banyak bicara, bangga terhadap diri sendiri dan selalu siap melompat. "Anak buah saya dulu saya hantam kalau berbuat salah", katanya. Bayangkan: kepingan pesawat yang tersangkut di pohon itu, tak berapa lama kemudian bergerak ke bawah. "Secara spontan saya meloncat. Dalam keadaan setengah sadar. Saya tidak tahu dapat tenaga dari mana saya. Heran, saya meloncat begitu jauh!" Maunya ia meloncat ke tanah. Tapi pohon-pohonan di tebing yang lebih rendah menerima tubuhnya: krasak! Dwi menyangkut di situ. Sudah tentu ia berjuang mencari jalan turun. Agak lama (dan persis waktu itulah ia lihat Hasan Tawil dan Kopilot Maskur beranjak pergi). Mungkin percaya akan "tenaga dalam"nya, atau tak sabar tinggal lama di rerantingan, ia akhirnya melompat kedua kalinya ke bawah - 10 meter. Dan patahlah tulang punggungnya. Dan tinggallah ia di hutan itu, di tempat di mana pohon-pohonan meranggas akibat amukan pesawat, selama 16 hari - "dengan sama sekali tak ada problim", katanya. Sebabnya? Selain pernah ikut latihan militer di Walawa dulu selama 800 jam -- dan semasih di sekolah pernah bertugas sosial di Skodik Wala Pawamil ABRI di Rindam VI di Cileungsi, Bandung, 1974, dan bersama AURI di Kalimantan di tahun sebelumnya - ia juga punya kegemaran yang menguntungkan: berburu di hutan. Bersama kakak iparnya, dr. Utomo, ia sering bermalam-malam menginap di hutan, misalnya di Lampung. Sifatnya yang keras dan mau bergerak itu pula -- dengan tubuhnya yang kecil ramping, plus kumis kecil panjang - yang mendorongnya mencari kesibukan agar ia benar-benar merasa puas selama bertugas di daerah, khususnya di RS Toli-toli. Alat-Alat Yang Belum Ada "Saya mencoba membangun di RS Toli-toli dari yang tidak ada menjadi ada. Dan rupanya Pak Bupati Edy Suroso itu responsnya baik sekali. Pak Edy selalu menerima saran-saran dan memenuhinya". Apa yang berhasil dibangun? "Alat-alat yang belum ada, saya buat sendiri di bengkel. Dengan bantuan Pak Bupati saya bisa mendatangkan lampu operasi dan segala macam keperluan operasi". Alat-alat apa? "Misalnya alat perentang luka, alat pengambil spiral, alat pembersih gigi, semacam tang untuk mengambil benda dari hidung, kemudian kerekan untuk menaik-turunkan lampu, kemudian . . . Dalam hal administrasi? "Administrasi saya lakukan banyak perombakan. Saya tidak suka orang yang yes man. Dan dengan itu ia merasa sangat puas bekerja di daerah. Ia bahkan merasa perlu rekan-rekannya seprofesi diberi pesan, terutama yang baru lulus. "Jangan hanya mau di kota", katanya. "Rasakanlah hidup di desa: betapa kasihannya mereka mengharapkan perawatan seorang dokter. Tapi kalau mau senang-senang ya jangan tinggal di desa". Dokter yang menyatakan punya kegemaran "mengumpulkan kata-kata muiara" ini sendiri sebenarnya dokter Inpres. Seperti yang lain-lainnya, ia harus bertugas tiga tahun - dan tahun depan ini selesai. Resminya ia ditugaskan di Bangkir, 25 km dari Toli-toli, sementara isterinya -- dr. Dian Dharnayani -- di Ogotua. Tapi lantaran Ogotua hanya bisa dicapai dengan perahu motor selama 8 jam, tempat dibalik: Dwi di Ogotua dan Nyonya di Bangkir, di mana mereka resminya tinggal sekarang. Sang isteri, bukan tenaga Inpres, sampai sekarang masih saja berstatus honorer. Ia ditugaskan di semacam poliklinik di Bangkir, selain buka praktek. Dwi sendiri tak mau buka praktek. "Habis waktu saya untuk memikirkan kemajuan rumah sakit", katanya. Karena Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Buol/Toli-toli pergi sekolah untuk dua tahun, ia pun mulai tahun kemarin diangkat sebagai penjabat pengganti kepala tersebut merangkap Penjabat Kepala Rumah Sakit Umum Toli-toli. Tercapaikah cita-citanya, dengan demikian? Anak kelahiran Purworejo ini (5 Juli 1948), berniat meneruskan studinya untuk spesialisasi bedah - setelah selesai tugasnya tahun depan. Dan sudah itu, menurut pengakuannya, sedapat-dapatnya ingin kembali lagi bertugas di kota kecil. Meski begitu cita-citanya semenjak kanak-kanak sebenarnya bukan dokter. Sebagai putera kedua dari pensiunan tentara H. Bachrulhayat Muhammad Rochsidi dan satu-satunya yang jadi dokter dari tujuh bersaudara - ia sebetulnya ingin jadi tentara. Apa lacur, orangtuanya tak mengizinkan. "Saya lalu mendaftar ITB, dan lulus testing. Tapi orangtua juga tidak memberi izin. Akhirnya ya terpaksa sekolah dokter". Ali Moertapo Wawancara terputus. Rombongan Ali Moertopo dari Jakarta datang menengok (dan dua hari sebelumnya rombongan Amirmachmud juga datang menengok). "Saya tak apa-apa!" kata Dwi kepada Letjen Ali Moertopo. "Saya tak apa-apa kok ditengok". Dan orang-orang keta wa. "Wah, ini ganteng sekali", kata David Napitupulu, tokoh KNPI yang menyertai Ali Moertopo. Dan semua ketawa lagi beramah-ramah. Rombongan pergi, dan Dwi bertanya: "Siapa itu tadi?" "Itu namanya Bapak Ali Moertopo", ada yang bilang. "Ben! Benny!' (dan dr. Benny, yang lagi melamun-lamun, menengok). "Lu daripada ' terbengong-bengong ngrokok mendingan deh. Mulut lu bau kalau nggak ngrokok". "Berapa banyak dr. Dwi merokok setiap hari?" tanya TEMPO. "Enam bungkus". "Wah. Segala jenis rokok?" "Kretek. Hanya kretek. Tapi setelah kakak saya ini (dr. Utomo) datang, semuanya dia jatah, hanya lima batang sehari! " Dan di meja kecil di samping tempat tidurnya, terletak stoples kecil. Di dalamnya alat suntik, tergenang dalam air. Tertulis di stoples itu kira-kira: 'Alat inilah yang menyelamatkan para korban sebelum datangnya droping obat-obatan'. Bahkan pada perban yang membalut sekujur kaki Dwi yang kiri, bisa dibaca tulisan seperti: 'Kenang-kenangan dari G. Tinombala' dan semacamnya. Coret-coretan itu juga disuruhnya tulis di kaki Ny. Husni. Jadi setelah masuk kedokteran UI di Jakarta (di mana ia juga menyelesaikan SMP dan SMA-nya, dua-duanya sekolah Katolik), berkenalan dengan Dian Dhamayani, puteri Jaksa Tinggi Sumatera Selatan Sjarif I.D. SH. "Dia itu dulu saya yang mlonco". Maka setahun setelah lulus, pemuda yang juga pernah dikenal sebagai Ketua Komisariat HMI Kedokteran ini pun kawinlah - 23 Maret 1975. Kakak perempuan Dian sendiri, juga dokter, sudah lebih dulu menikah dengan dr. Utomo, super spesialis bedah tulang. Dan tibalah saatnya untuk menantikan anak pertama. Dwi dan Nyonya berkemas-kemas di Bangkir: sang nyonya merasa lebih baik menantikan kelahiran di Jakarta saja. Dwi mengantarkannya ke sana: syukurlah, selamat, sampai tiba di rumah . . . 'Tugas' Agama Ketika musibah itu terjadi di perjalanan pulang, dan dikabarkan Dwi gugur lantaran meloncat dari pohon, tak terbayangkan betapa kejutan hati Nyonya dan seluruh keluarga. Tapi begitu Dwi melompat, apa yang dirasakan pertama kali dalam kesakitan itu ialah katanya: "Bagaimana bisa bertahan hidup dan meninggikan semangat kawan-kawan". Itulah sebabnya bagian yang juga sangat penting dari 'tugas'nya waktu itu, adalah hal-hal yang berhubungan dengan agama dan kerohanian. Dari mana mendapat pelajaran agama dahulu? "Dari kakek saya almarhum, Haji Darmosonto, asal Banyumas. Lalu dari ayah saya". Anda disiplin? Artinya, saleh? "Saya memang tidak alim. Tapi boleh ditanyakan kepada kawan-kawan saya sembahyang lima kali sehari. Tapi saya tidak alim". Apa yang paling mengikat jiwa anda dalam hal agama? "Yah... Saya beragama tadinya ikut-ikutan. Ikut kakek, pergi sembahyang. Ikut bapak. Lama-lama... (dan ia menarik nafas, capek), oh, inilah agama yang saya pilih. Nggak tahu deh kenapa. Anak saya juga nanti akan saya beri pendidikan bebas. Kecuali dalam hal agama". Selamat ya, untuk puteranya yang sudah lahir. "Belum. Berita di koran itu nggak benar. Tempohari memang saya bilang kepada wartawan itu, kalau anak saya nanti lakilaki saya kasi nama Otter. Kalau perempuan Otterini, sebagai kenang-kenangan. Tapi diharapkan akan lahir minggu ketiga Mei nanti, dan memang belum lahir". Dan sambil memikir-mikirkan nama anaknya di gunung itu, Dwi - di samping menulis buku harian, dan merokok -- menganjurkan orang-orang sembahyang menurut agama masing-masing. Ia sendiri shalat terus. Membaca Do'a 'Ukasyah, Ayat Kursi, Surah Yasin, dan zikir sedapat-dapatnya. (Ia mengantongi sebuah brosur kecil, Ayat 15, terbitan Al-Ma'arif Bandung, yang sekarang juga diletakkannya di meja di samping pembaringannya). Ia juga mengisi waktu dengan menyanyi bersama-sama. Lagu-lagunya: Kalau Nona Mau Percaya, lagu Ambon. Lalu Don't Forget to Remember. "Itu lagu memori saya dengan isteri". Dan lain-lainnya, umumnya lagu-lagu Ambon yang gembira, seperti Batu Bedaun atau Kantina Juga ngomong-ngomong bab agama. Apa topiknya? "Yah misalnya tentang Nabi Muhammad waktu terkurung di Gua Hira. Atau Nabi Nuh yang diejek orang-orang, atau Nabi Ismail yang rela. Yah pokoknya tentang kesabaran dan tahan mental". Dan ia juga memarahi Suryadianto, pemuda keturunan Tionghoa dari perusahaan rokok kretek di Kudus - yang sekarang ini terbaring di sebelah kirinya. Waktu itu Suryadianto selalu mengaduh-aduh. Kata Dwi: "Kalau kesakitan jangan bilang aduh. Baca Allahu Akbar saja!" - lantas ia ajar syahadat, dan rekannya itu menurut. Ia juga menyimpan baik-baik wasiat Husni kepadanya. Apa? "Yang saya ingat empat macam. Isterinya supaya memakai baju hitam selama dua minggu. Lalu, dia menitipkan kedua anaknya kepada saya, yang bernama Ani dan Budi. Tapi nggak tahu siapa Ani dan Budi. Baru di rumah sakit ini saya tahu. Ketiga, sepertiga dari hartanya supaya diserahkan kepada anak-anak yatim. Dan keempat: sandal jepit yang berwarna kuning dan baju putih bergaris-garis, jangan dibuang. Dibungkus baik-baik dan masukkan dalam lemari". Barang-barang itu ada di sana? Dibawa dalam penerbangan? "Mana saya tahu! Saya waktu itu juga belum tahu lusni itu siapa. Saya hanya mematuhi karena ini amanat orang yang akan meninggal". Dokter Dwi, kawan kita yang belia ini, masih akan tinggal di RS Palu setidak-tidaknya dua bulan lagi. Mari kita kirimkan terimakasih dan doa sukses.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus