AKTOR dan aktris film kita ternyata tak di depan kamera pun punya kemampuan akting mengagumkan. Peragaan itu terjadi di Kongres Parfi, organisasi para aktor dan aktris, yang berlangsung di Jakarta, Rabu pekan lalu. Lihat saja suasana pelantikan pengurus di Balai Sidang, Senayan, Ahad malam lalu. Sejumlah orang berpakaian serba hitam seperti jawara, terlihat petentang-petenteng di depan panggung. Mereka pengawal Ratno Timoer, Ketua Umum Parfi versi "Kongres Kuningan", yang malam itu dilantik Dirjen RTF Drs. Subrata. Kongres Parfi Kuningan muncul setelah trio formatir Dicky Zulkarnain-Ratno Timoer-Rachmat Hidayat gagal menyusun kepengurusan. Ada yang bilang, Kongres Kuningan sah ada pula yang menyebutnya liar. Telanjur disebut kongres tambahan, ternyata istilah itu tak ada dalam Anggaran Dasar Parfi. Di sinilah Ratno Timoer terpilih menjadi formatir tunggal, dan sekaligus mengangkat dirinya menjadi ketua umum. Sekalipun peserta Kongres Kuningan yang hadir dan memberikan suara cuma 119 orang dari seribu seratus lebih anggota lari, pimpinan sidang Kaharuddin Syah dan Sophan Sophiaan menganggap sah terpilihnya Ratno. Kaharuddin dan Sophan, yang belakangan ini jarang main film, rupanya tak mempersoalkan isi Pasal 20 AD/ART Parfi yang berbunyi, "Kongres sah bila dihadiri sekurang-kurangnya setengah ditambah satu anggota". Mereka yang hadir juga tak mempersoalkannya, kok. Di luar gedung, hujan turun lebat. Tapi itu tak menunda Ratno mengumumkan "kabinet"-nya, seperti yang dilantik Dirjen RTF Subrata. Sementara itu, Kongres Parfi di Wisma Karya Senayan, Sabtu dinihari, juga menelurkan pengurus. Di sini, anggota yang hadir kira-kira empat kali lebih banyak daripada peserta Kongres Kuningan. Soal kuorum tercapai atau tidak juga tak diperhatikan. Terpilih sebagai ketua umum, siapa lagi, Dicky Zulkarnaen. Ketika Dicky tahu bahwa malam harinya akan ada kongres tambahan, ia langsung menyatakan sikapnya: tetap mengumumkan hasil kongres dan susunan pengurus Parfi periode 1987-1989 di Balai Sidang, Senayan. Dan, ini bisa ramai. Bayangkan, di hadapan Menteri Penerangan Harmoko akan ada dua kelompok yang mengaku pengurus Parfi. Syukurlah, Menteri Harmoko yang ketika membuka Kongres menyebutkan di tubuh Parfi banyak wereng, tak hadir. Dicky Zulkarnaen, anehnya, tak juga hadir. Malam itu memang turun hujan lebat. Takut kehujanan? "Situasinya gawat. Ada orang yang mendatangi saya, kalau saya hadir pasti terjadi keributan," kata Dicky, pemeran Si Pitung, tokoh gagah berani yang tak pernah takut. Tapi tak berarti Dicky membatalkan kepengurusannya. "Sampai sekarang saya tetap sebagai Ketua Umum Parfi. Dan, ini sah. Keputusan berdasarkan kongres di Senayan ini belum dibatalkan," katanya. Ia bahkan sudah menyewa rumah untuk kantor Parfi, yakni di kawasan Tebet, Jakarta Selatan. "Sekarang saya sedang menyusun konsep untuk menghadap pemerintah. Kalau ternyata pemerintah mengakui kepengurusan Kongres Kuningan, ya, saya tak memaksakan diri. Yang jelas, Dicky adalah Ketua Umum Parfi, dan terpilih dengan suara terbanyak," katanya. Semua itu gara-gara sampai pukul tiga pagi -- jadi sudah Minggu -- formatir belum berhasil menyusun kepengurusan, karena Dicky, Ratno, dan Rachmat sama-sama berminat jadi ketua umum. Lalu, Wahyu Sihombing sebagai ketua komite pengarah maju ke mimbar mengabarkan pemilihan mengalami jalan buntu. Kemudian, Mangara Siahaan mengusulkan supaya masalahnya diserahkan ke Departemen Penerangan, seperti PDI dulu dibantu oleh Departemen Dalam Negeri. Sihombing jadi berang. "Usul itu keterlaluan. Malunya itu, bah. Jika itu terjadi, lebih baik saya jadi sopir taksi," kata Sihombing. Lalu, Debby Cinthya Dewi maju ke mimbar dengan terisak-isak. Debby mempersoalkan malam penutupan yang akan dihadiri sejumlah pejabat, dan ia merasa malu kalau formatir tak berhasil menyusun pengurus. "Kongres ini mahal, biayanya Rp 60 juta memangnya mudah cari uang," kata Debby. Ia layak terisak-isak. Adalah ia, selaku Sekretaris Panitia Pelaksana, yang menggaet Asuransi Timur Jauh (bukan perusahaan film) menjadi sponsor kongres. Suasanapun makin kacau dan riuh. Setelah terjadi sedikit keonaran, maju ke mimbar, dan menyampaikan berita pengunduran dirinya dari pencalonan ketua umum. Karena situasinya makin rumit, Rachmat ke mimbar lagi dan berseru: ia bersedia menjadi wakil ketua umum (tadinya ia ngotot mau jadi ketua umum) dan menyerahkan jabatan itu kepada Dicky sebagai peraih suara terbanyak. Pimpinan sidang pun memerintahkan Dicky menyusun kepengurusan. Sementara Dicky masuk ruangan, peserta kongres ribut lagi. Sophan yang memegang palu pimpinan berteriak lantang. "Siapa yang membuat selebaran ini? Kalau berani, ayo maju, kita selesaikan secara laki-laki. Ayo . . . ayo . . . ," teriaknya sambil memegang palu. Hening sejenak Widyawati dengan wajah pucat menghampiri suaminya, lalu memeluk tangan Sophan. Mengapa Sophan kalap? Soalnya, selebaran itu isinya menyebutkan "waspada" terhadap Sophan. Dalam situasi yang runyam itu, dan Wisma Karya hampir kosong (pendukung Dicky pada pulang begitu jagoannya dipastikan sebagai ketua umum), Kaharuddin Syah yang memimpin sidang mengumumkan keputusan luar biasa: kongres gagal. Sabtu siang, Dicky mengaku sudah berhasil "mengumpulkan kembali" anggota pengurus pilihannya yang mengundurkan diri. Tetapi, kelompok Ratno Timoer, yang menguasai pimpinan sidang, berhasil mengadakan kongres tambahan. Untuk sementara Parfi berpengurus kembar. "Ini kongres yang paling runyam," kata orang film. Bagi orang luar, kongres ini wajar saja, persis seperti wajah film kita maaf, bopeng.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini