Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Marsekal Djoko Suyanto: Jangan Ada Korban Lagi Prajurit Harus Lebih Sabar

4 Juni 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ia disebut-sebut sebagai salah seorang penerbang terbaik Angkatan Udara. Panglima TNI Djoko Suyanto mempunyai setumpuk pengalaman mengemudikan pesawat tempur F-5 Tiger. Pernah mengikuti kursus USAF Fighter Weapon Instructor School di Nellis Air Force Base, Nevada, Amerika Serikat, ia memang hebat. Di sanalah tim akrobatik Angkatan Udara AS digodok.

Tapi itu 32 tahun lalu. Kini Djoko, 57 tahun, tidak beraksi di udara. Kariernya cepat melesat di darat. Ia panglima kedua di luar Angkatan Darat setelah Laksamana Widodo A.S. di zaman Presiden Abdurrahman Wahid. Ia menghadapi dunia yang berubah dan kompleks. Terakhir, koeksistensi sipil-militer yang cacat oleh bentrokan antara personel marinir dan warga lokal di Alas Tlogo, Pasuruan, Jawa Timur, Rabu pagi pekan lalu.

Lima nyawa melayang—termasuk janin lima bulan dalam kandungan—dan beberapa luka-luka. Sekonyong-konyong orang pun ingat serangkaian kasus sama yang masih menunggu penyelesaian: sengketa tanah antara TNI dan warga setempat di beberapa daerah. Adakah konflik mesti berakhir dengan sekuen: kematian sejumlah warga, dicopotnya komandan militer yang bersangkutan, dan hukuman bagi para pelaku? Bagaimana dengan orang-orang di luar itu, termasuk perusahaan swasta penggarap tanah?

Tampaknya tak ada orang yang lebih tepat untuk menjawab itu semua selain Panglima TNI Marsekal Djoko Suyanto. Berikut petikan wawancara wartawan Tempo Wahyu Dhyatmika melalui telepon, Sabtu kemarin.

Pekan lalu, Anda menjelaskan peluru yang mengenai warga merupakan pantulan. Apa dasarnya?

Itu laporan sementara ya. Jadi, ada dua hal yang saat itu saya sampaikan berdasarkan dua masukan ke saya. Pertama adalah versi marinir, soal tembakan pantulan. Yang kedua dari rakyat, yang mengatakan tembakannya terarah. Saya belum menyimpulkan. Saya ingin mengklarifikasi. Nanti aparat hukum yang menentukan.

Adakah temuan atau perkembangan terbaru dari penyidikan kasus ini?

Belum ada. Laporan terbaru saya terima kemarin malam (Jumat malam) dari Panglima Komando Armada Timur TNI AL Laksamana Madya Moekhlas Sidik. Memang masih dua versi itu yang dicoba dikembangkan oleh tim penyelidik dari Polri. Polisi militer TNI juga akan turun.

Selain itu, ada sejumlah elemen yang sudah berkirim surat kepada saya, seperti Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (untuk menyelidiki). Saya persilakan saja, selama itu untuk memperkuat proses hukumnya.

Bagaimana reaksi Anda ketika mendengar kabar ini pertama kali?

Saya syok sekali. Berhadapan dengan warga masyarakat dalam masalah tanah kan sering terjadi. Tapi, ada lima korban tewas dan beberapa orang luka-luka, sungguh mengejutkan. Sangat menyedihkan ini bisa terjadi antara TNI dan masyarakat. Apalagi marinir dikenal dekat dengan masyarakat.

Siapa yang melaporkan insiden ini kepada Anda?

Saya terima laporan langsung dari KSAL Laksamana TNI Slamet Soebijanto pada Rabu siang sekitar pukul 12. Ketika itu saya sedang menerima tamu di Istana Merdeka. Begitu mengetahui ada korban meninggal, saya perintahkan juga untuk ikut peduli pada penderitaan korban.

Pada hari itu, dan jam itu juga, saya minta KSAL untuk segera mengambil tindakan yang memadai. Pertama, untuk personel yang bertugas saat itu, ditanyai dulu. Kemudian kalau perlu, ada pergantian personel yang ada di situ, dan itu sudah dilaksanakan. Yang ketiga, saya perintahkan KSAL untuk segera mengirim tim penyidik, bekerja sama dengan Polri yang sudah mulai bekerja di situ, serta aparat dari polisi militer.

Pada siang hari itu juga, saya langsung menyiarkan permohonan maaf saya kepada para korban di Pasuruan. Saya juga memutuskan agar segera ditindaklanjuti dengan proses hukum yang transparan.

Akan membentuk tim khusus untuk memantau perkembangan kasus ini?

Saya kembalikan ke institusi yang ada. Ada polisi militer (POM) TNI yang akan diperbantukan pada POM TNI AL di sana, yang juga akan bekerja sama dengan polisi, terutama Pusat Laboratorium Forensik, untuk mengetahui bagaimana tembakan itu, apakah langsung atau pantulan. Kalau ada teman-teman dari berbagai elemen masyarakat yang ingin terlibat untuk memperkuat prosesnya, saya kira bagus-bagus saja, selama itikadnya memperkuat proses hukum.

Hari ini (Sabtu, 2 Juni) sudah tiga hari setelah kejadian. Anda puas melihat respons TNI menangani insiden ini?

Sudah cepat, ya, meskipun tentu ini pendapat yang sangat subyektif. Tapi, pada hari itu juga (Rabu, 30 Mei), semua personel yang terlibat langsung diambil dan dibawa ke Surabaya untuk ditahan. Kemudian, besoknya, dilaksanakan pergantian komandan detasemen. Kamis malamnya, segera Panglima Armada Timur yang diperintahkan menjelaskan kepada masyarakat, bertemu warga. Selain penjelasan, disampaikan rencana pemberian kompensasi tanah 500 meter persegi untuk setiap kepala keluarga yang direlokasi. Total tanah yang disediakan 500 hektare untuk ditempati penduduk. Semua aksi itu segera saya laksanakan, agar masalah ini tidak meluas.

Menurut Anda, mengapa penembakan itu sampai terjadi?

Saya tidak ingin langsung sampai pada kesimpulan siapa yang salah atau benar. Tapi sengketa tanah di daerah itu sudah cukup lama. Saya kira kronologi bagaimana tanah itu dibeli TNI Angkatan Laut dan bagaimana rakyat menuntutnya ke pengadilan sudah diketahui semua orang dan datanya pun ada.

Pihak TNI AL sudah mengelola masalah ini melalui saluran yang benar, yakni proses hukum. Mereka tidak bertindak apa-apa kecuali lewat proses hukum. Terakhir, pada Maret lalu, dalam perkara ini TNI AL menang di pengadilan. Kita tidak keluar dari koridor itu. Bahkan TNI AL juga memberikan ruang bagi warga untuk mengajukan banding atas putusan pengadilan itu.

Di samping itu, Panglima Armada Timur juga melakukan pendekatan. Kepentingan AL masih sesuai dengan perencanaan strategis mereka, sementara masyarakat tetap diakomodasi. Akhirnya ketemulah kesepakatan alokasi 500 meter persegi per kepala keluarga yang direlokasi (dari lahan sengketa) plus penyediaan fasilitas umum, sosial, dan mungkin ada kebun sedikit.

Kalau kita melihat rumah-rumah warga di sana, itu rata-rata luasnya 100 meter persegi. Di luar itu, masih ada ratusan hektare lagi yang bisa dikelola bersama. Kalau tidak salah 500 hektare lagi. Dari laporan Panglima Armada Timur, kesepakatan ini sebenarnya sudah berjalan, tinggal menunggu proses relokasi. Hanya mungkin ada yang tidak sabar.

Warga Desa Alas Tlogo mengaku terpancing karena pasukan marinir mengawal traktor PT Rajawali yang mengerjakan lahan sengketa itu. Untuk apa TNI mengawal perusahaan swasta di sana?

Sebenarnya yang lebih tahu banyak adalah KSAL. Tapi, dari apa yang saya peroleh dari Panglima Armada Timur, begitu rencana (pembangunan Pusat Pendidikan TNI AL) itu tidak bisa terlaksana, pada 1978 ada kerja sama Induk Koperasi TNI AL (Inkopal) dengan PT Rajawali untuk mengelola tanah itu. Jadi, daripada lahan itu terbengkalai begitu. Pada tahun-tahun itu kan hal yang wajar. Tentu jangan dilihat dengan menggunakan kacamata sekarang.

Nah, Panglima Armada Timur menjelaskan kontrak itu berlaku selama 40 tahun, jadi baru akan berakhir pada 2018. Inilah latar belakang masalah itu. Saya tidak mau masuk ke polemik apakah saat itu lahan sedang dikerjakan atau tidak. Bahwa di lapangan ada buldoser untuk meratakan tanah yang masuk ke rumah atau lahan penduduk atau tidak, saya tidak ingin berspekulasi. Kita serahkan saja pada proses penyidikan.

Kontrak kerja sama itu sendiri langsung diputus. Dalam pertemuan antara Muspida, Panglima Armada, dan warga masyarakat, kerja sama dengan PT Rajawali, yang seharusnya baru berakhir pada 2018, oleh Panglima Armada diputuskan bahwa mulai hari itu juga tidak ada lagi kaitan apa pun. Tidak ada lagi kaitan antara TNI dan PT Rajawali.

Apakah ini berarti lahan sengketa juga diserahkan kembali pada warga?

Janji kemarin kan begitu: kerja samanya dihentikan, dan relokasi warga diteruskan. Karena, meskipun ini sempat berkembang menjadi tidak kondusif, kami tetap tidak ingin tuntutan warga keluar dari kesepakatan semula. Selama ini semua keinginan warga kan selalu diakomodasi. Bahwa ada keputusan pemberian kompensasi tanah, juga bagian dari akomodasi itu.

Sengketa tanah antara TNI dan warga tidak hanya di Pasuruan. Pekan lalu juru bicara Markas Besar TNI Marsekal Muda Sagom Tamboen menyatakan, TNI sedang mempersiapkan nota kese-pahaman dengan Badan Pertanahan Nasional. Apa isi nota kesepahaman itu?

Saya bertemu BPN untuk menyelesaikan sertifikasi tanah TNI. Ini supaya dasar hukum aset itu tidak menjadi perdebatan panjang dan berkembang menjadi sengketa.

Memang, masalah tanah yang dikelola TNI banyak, tidak hanya di TNI AL, tapi juga TNI AU, AD, dan hampir semuanya bersentuhan dengan masyarakat. Saya punya angan-angan, katakanlah ada sengketa, TNI harus sabar menghadapi massa.

Namun saya juga mengimbau masyarakat, dalam menghadapi kasus seperti ini, sama-sama mencegah konflik. Misalnya ketika suasana memanas tiba-tiba, harus ada kesepakatan untuk sama-sama mundur. Kalau warga mundur, TNI tidak akan mengejar. Kalau bisa kita jaga bersama, saya yakin jatuhnya korban bisa dihindari.

Sebenarnya berapa luas lahan milik TNI di seluruh Indonesia?

Waduh, saya tidak hafal, tapi ada puluhan ribu hektare. Dan mungkin masih kurang dari separuhnya yang tersertifikasi. Pasalnya, kalau Pangkalan Udara Iswahyudi di Jawa Timur atau Halim Perdanakusuma di Jakarta yang seluas itu harus disertifikatkan semua, biayanya tidak ada. Ini memang susah. Ini yang sedang kami bicarakan dengan BPN, bagaimana seharusnya proses sertifikasi tanah TNI yang notabene adalah tanah negara juga. Sudah anggaran kami sedikit, beli alat utama sistem persenjataan tidak cukup, kesejahteraan kurang, gaji kurang.

Untuk apa saja aset tanah puluhan ribu hektare itu?

Memang ada yang sudah dibangun seperti di Halim, tapi ada juga yang menurut rencana strategis ke depan, memang masih menunggu anggaran. Rencana strategis pembangunan itu kan sudah lama. Misalnya penggunaan lahan di Desa Sukamulya, Rumpin, Bogor.

Jadi semua untuk kepentingan TNI, bukan kepentingan komersial, misalnya dikelola bersama dengan perusahaan swasta?

Jelas untuk kepentingan TNI, bukan yang lain. Misalnya lahan TNI di Pekanbaru, Riau. Sehari-hari tidak ada tentara berkeliaran di situ, tapi itu areal latihan menembak dari udara, yang secara periodik digunakan. Tentu saja areal itu harus aman. Jangan sampai ada warga di situ, supaya tidak menjadi korban. Semua ada peruntukannya.

Jika memang belum terbangun semua, itu karena kami harus menunggu dengan sabar, agar rakyat makmur dulu, kesejahteraan terbangun, pendidikan terurus dulu, baru anggaran TNI bisa disediakan untuk pembangunan di lahan-lahan itu.

Apakah pernah ada kebijakan Panglima TNI untuk menyewakan dulu lahan ini kepada perusahaan swasta, menunggu dana pembangunannya turun?

Pada zaman sebelum reformasi, itu adalah praktek yang wajar. Seperti saya sampaikan tadi, di Pasuruan saja kontrak kerja samanya dibuat pada 1978 dan ditandatangani untuk 40 tahun. Zaman dulu kan bisa dikerjakan seperti itu, sehingga bisa sedikit-sedikit mulai dikerjakan, entah membuat gapuranya dulu. Tapi di era sekarang kan tidak mungkin, dan tidak boleh lagi seperti itu.

Jadi sekarang, sebagai Panglima TNI, Anda melarang hal seperti itu?

Bukan kebijakan saya, itu mengalir dari kebijakan politik negara, dari Departemen Pertahanan. Yang kami kerjakan sekarang adalah memperbaiki administrasi, penggunaannya untuk apa, dan semua disesuaikan dengan aturan di Departemen Pertahanan dan Departemen Keuangan. Lihatlah masalah ini dalam konteks dulu, karena sebagian besar kontrak itu disetujui sebelum reformasi. Kita harus konsekuen terhadap kontrak yang kita tanda tangani itu kan? Tapi tidak ada lagi lahan yang katakanlah kita komersialkan.

Sedikit bergeser kembali ke soal penembakan. Banyak orang bertanya-tanya, kok bisa tentara menembak rakyatnya sendiri. Apa yang harus dibenahi agar tidak terulang?

Ini susah saya menjawabnya. Khusus untuk kasus Pasuruan, saya tidak ingin membuka polemik. Saya serahkan kepada aparat hukum untuk menyelidikinya, dengan mempertimbangkan semua informasi yang diterima. Tapi beginilah, terlepas dari apa yang terjadi di Pasuruan, secara logika saja, mungkin nggak prajurit itu menembak-nembak ke sana-kemari, apalagi ada warga masyarakat?

Karena itu selalu saya sampaikan, pasti ada pemicunya, pasti ada sebabnya. Karena itu, seperti saya jelaskan tadi, kedua belah pihak harus bisa menahan diri. Agak sulit bagi saya untuk percaya bahwa tanpa alasan apa pun mereka menembak membabi buta. Ada berita di media, ini sangat menyedihkan bagi saya, disebut-sebut kalau tentara menembak membabi-buta, memberondong. Dalam logika saya, kalau diberondong, tentu korbannya tidak hanya lima. Itu kerumunan massa lebih dari seratus orang, diberondong.…

Di lapangan kan ditemukan 33 selongsong, ya mungkin hanya 33 itu (yang ditembakkan). Ini logika saja. Saya harap ini juga diselidiki secara fair.

Apa pelajaran yang Anda petik dari insiden ini?

Ini pelajaran yang sangat berharga, terutama soal sosialisasi bagaimana seharusnya menangani masalah dalam berhadapan dengan masyarakat. Juga saya mengimbau masyarakat, dalam masalah seperti ini, marilah kita hadapi lewat proses yang elegan, lewat hukum. Ada yang bilang, kalau diselesaikan lewat jalur hukum, pasti yang dimenangkan TNI atau pemerintah. Respons saya untuk mereka begini: itulah hukum kita, bagaimanapun produk dan proses hukum kita harus kita hormati. Kalau kita sendiri tidak menghormati hukum, bagaimana kita bisa memberdayakan hukum dan memberikan pembelajaran kepada publik soal ini? Toh upaya hukum lanjutan masih dibuka.

Kedua, saya tidak ingin ke depan ada lagi tindakan prajurit yang seperti ini, memakan korban nyawa tidak berdosa. Saya kira seluruh prajurit TNI melihat masalah ini dan belajar. Tanpa diberi tahu lagi, prajurit akan belajar. Tapi, sekali lagi, harus dilihat juga, sampai di mana temperatur di lapangan, apa pemicunya sampai prajurit mengambil tindakan seperti itu. Itu harus dipertimbangkan pula secara objektif.

Anda menjamin proses hukum akan bebas intervensi?

Kami berupaya agar proses hukum ini berjalan sangat transparan. Kalau ada kekhawatiran dari rekan LSM, keluarga korban, misalnya dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, silakan saja ikut memberdayakan proses hukum itu. Saya minta semua transparan. Jangan berangkat dengan kecurigaan bahwa nanti akan dilindungi Panglima TNI. Model begitu sudah lewat. Itu semua sudah lewat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus