SUASANA di gedung Balai Pustaka, Jakarta, Jumat malam pekan lalu terasa ngelangut. Dengan suara mengalun merdu, seorang wanita mendendangkan dua bait Sekar Dandanggula, salah satu jenis puisi tradisional Jawa yang memang biasa dinyanyikan. Pembacaan puisi itu membuka acara diskusi menenai Serat Centhini -- ensiklopedi kebudayaan Jawa cukup lengkap yang disusun pada 1814. Acara malam itu menandai dirampungkannya usaha alih aksara (transliterasi) Centhini jilid kelima dari huruf Jawa ke huruf Latin, yang akan diterbitkan oleh Balai Pustaka yang sebelumnya juga menerbitkan jilid keempat. Adapun jilid pertama sampai ketiga sudah diterbitkan oleh Yayasan Centhini, Yogyakarta. Alih aksara itu dikerjakan oleh H. Karkono Kamadjaja, 73 tahun, pengarang dan ahli sastra dan budaya Jawa. Tahun depan, bila transliterasi seluruhnya rampung, penerjemahannya akan diusahakan oleh sebuah tim Balai Pustaka. Tapi sungguh sulit membayangkan: bagaimana pada awal abad ke-19 orang bisa menyusun ensiklopedi lebih dari 3.000 folio tulisan tangan itu. Dan disajikan dalam bentuk sekar, puisi Jawa tradisional. Karya klasik itu tentu tidak berbentuk ensiklopedi yang alfabetis seperti yang kita kenal di zaman modern sekarang tapi kandungannya memang ensiklopedis. Misalnya sejarah, seni pertunjukan dan hiburan (termasuk seni melawak), bahasa dan sastra, arsitektur, ilmu bumi, adat istiadat dan upacara tradisional, pendidikan, tipe-tipe manusia, filsafat, agama (Islam, Budha, dan kedewaan). Lalu ilmu hewan, cara memelihara keris, ilmu penyakit dan obat-obatan, ramalan dan magi hitam. Menurut Karkono dalam pengantar diskusi, dulu bahkan kini, tidak banyak orang yang mampu membaca Centhini seluruhnya -- mengingat tebalnya karya besar itu. Orang biasanya membaca bagian-bagian yang disukainya, misalnya hal bercocok tanam. Dan tentu saja uraian mengenai asmara. Tak dilewatkan: watak wanita dan hubungannya dengan kemampuan bersenggama -- yang disebut katurangganing wanita. Itu sebabnya, daftar isi Centhini sangat menolong. Buku seperti itu pada 1933 sudah terbit dalam bahasa Belanda, De Tjentini ende Tjebolang, oleh Dr. Th. Pigeaud. Sementara itu, dalam bahasa Indonesia baru terbit pada 1979, Pustaka Centhini, Ikhtisar Selruh Isinya oleh Ki Sumidi Adisasmita, diterbitkan UP Indonesia Yogyakarta. Dua tahun kemudian menyusul Ringkasan Centhini Suluk Tambangraras oleh Suhatmaka, terbitan Balai Pustaka. Siapa gerangan penyusun karya besar itu? Menurut Karkono, ceritanya begini. Suatu hari, di awal abad ke-19 itu, Paku Buwono IV dari Kasunanan Surakarta Hadiningrat menghadiahkan buku karangannya sendiri Serat Wulangreh, kepada putra mahkota. Wulangreh, yang berisi ajaran budi luhur untuk para penguasa itu, ditulis dalam bentuk puisi dan masyhur sampai kini. Sang putra mahkota, Pangeran Adipati Anom Amengkunegara III, yang kemudian bertakhta sebagai Paku Buwono V (1820-1823), rupanya tertarik. Bisa dimaklumi, sebab ketika itu ada tradisi penulisan kreatif. Bukan hanya ayahandanya, bahkan kakek Paku Buwono V, yaitu Paku Buwono III (1749-1788), juga menulis buku puisi Serat Wiwaha Jarwa. Menurut Dr. Purbatjaraka dalam Kepustakaan Djawa (1952), Paku Buwono V memang "kutu buku". Hampir semua karya pujangga Yasadipura II ditulis atas perintahnya. Dipengaruhi kreativitas kakek dan ayahandanya, sementara ia sendiri menyukai buku, muncullah gagasan Paku Buwono V untuk menyusun pustaka mengenai berbagai ilmu pengetahuan dan segala macam hal mengenai kehidupan dan kebudayaan Jawa. Maka, diperintahkannya abdi dalem juru tulisnya, Ki Ranggasutrasna, menyusun ensiklopedi. Tidak jelas, apakah Paku Buwono V yang menyusun Centhini sementara Ranggasutrasna sebagai sekretaris atau Ranggasutrasna dibantu sebuah tim yang melaksanakan perintah sang raja. Yang jelas, karya besar itu lahir jauh sebelum Ranggawarsita menulis. Satu generasi kemudian setelah Centhini dibaca kalangan elite keraton, barulah sang pujangga menulis pengantar untuk penerbitan Centhini atas instruksi Paku Buwono VII. Disebut Centhini Pisungsung (persembahan) untuk Kerajaan Nederland. Buku itu diterbitkan pada 1912 dalam huruf Latin oleh Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, cikal bakal Balai Pustaka, terbatas pada jilid kelima sampai sembilan. Rupanya disengaja, sebab jilid-jilid lainnya berisi ajaran Islam, khususnya mengenai manunggalng kawula klawan Gusti atau persatuan antara makhluk dan Khalik, alias wihdatul wujud. Ajaran seperti itu, yang saat itu (juga sampai kini) masih jadi bahan perdebatan para ulama, agaknya dipandang kurang relevan. Menurut Karkono, khusus jilid ke-10 sampai ke-12 yang masih bertulis tangan dan belum diterbitkan itu, belakangan (1941) diulas Prof. Drs. P.J. Zoetmulder S.J. dalam majalah Djawa. Ia menyebutnya sebagai "bagian terpenting dan Centhini". Ternyata, begitu besar pengaruh Centhini di zamannya. Ketika itu banyak karya sastra Jawa klasik terpengaruh atau mengutip ensiklopedi itu. Dan ini yang menarik, menurut Karkono tak kurang dari tujuh karya sastra klasik Jawa yang amat masyhur -- di antaranya jadi pedoman hidup orang Jawa -- disusun bersumberkan Centhini. Yaitu Wirid Hidayat Jati, Kalatida, Candrarini, Cemporet (Ranggawarsita) Wedhatama, Nayakawara, Sendon Langenswara (Mangkoenagara IV) Bahkan tak kurang dari Prof. Dr. K.H.M. Rasjidi meraih gelar doktornya di Universitas Sorbonne, Paris, dengan disertasi mengenai Centhini pada 1956. Judulnya, I'Evolution de l'Islam en Indonesie ou Consideration Critique du Livre Tjentini (Evolusi Islam di Indonesia Tinjauan Kritik terhadap Kitab Centhini). Masih relevankah Centhini dengan masa kini? Menurut Soebagio Sastrowardojo, ada yang masih relevan. Misalnya uraian mengenai sejarah, kepurbakalaan, filsafat, etika. Tapi juga ada yang kedaluwarsa. Misalnya ramalan dan primbon. "Kalau dalam menentukan langkah kehidupan sekarang kita masih berpegang pada primbon, ya, ketinggalan zaman," kata direktur Penerbit Balai Pustaka itu. Budiman S. Hartoyo dan Priyono B. Sumbogo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini