Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Wanita, penyebab segala malapetaka

Pengarang : dewi anggraeni victoria, australia : indra publishing, 1987 resensi oleh : roswita nimpuno khaiyath.

10 September 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

THE ROOT OF ALL EVIL Oleh: Dewi Anggraeni Penerbit: Indra Publishing, Victoria, Australia, 1987, 140 halaman DI Australia, nama Blanche d'Alpuchet melejit ketika novelnya yang berlatar belakang Indonesia Monkeys in the Dark menduduki tangga bacaan best seller list untuk jangka waktu yang cukup lama. Christopher Koch memenangkan hadiah The Age Book of the Year Award dengan novelnya The Year of Living Dangerously. Buku berlatar belakang Indonesia itu kemudian difilmkan dan juga melejitkan nama aktor Australia, Mel Gibson, di Hollywood, AS, tempatnya menetap sekarang. Lewat buku The Root of All Evil ini, Australia sekali lagi menghasilkan seorang penulis yang menggambarkan Indonesia sebagai latar belakang novelnya. Dibandingkan kedua penulis di atas, buku ini jauh lebih berhasil dalam pembahasannya tentang masalah-masalah sosial yang dihadapi masyarakat Indonesia dewasa ini, terutama kaum wanitanya. Keberhasilan buku ini dalam pencerminan batin orang Indonesia tidak-mungkin-tidak dicapai, karena penulisnya seorang wanita Indonesia yang sudah lama bermukim di Australia. Kejadian yang menghebohkan masyarakat Jakarta pada 1983 merupakan titik tolak novel ini. Yakni malapetaka yang menimpa seorang hostes night club terkenal ketika mukanya disiram air raksa. Kejadian ini dengan pandai dijadikan dasar cerita oleh Dewi Anggraeni. Tetapi hanya sampai di situ akta yang dipakai oleh penulis. Selebihnya merupakan novel yang menarik dan enak dibaca. Komala, seorang wanita Indonesia yang menikah dengan seorang dokter Australia, terpaksa pulang ke Jakarta, yang telah ditinggalkannya selama 9 tahun, untuk menjenguk ayahnya yang sakit parah. Setelah dijemput oleh sahabat lamanya, Narsih, dan tiba di rumahnya, Komala terkejut. Semua jalan tempat ia dibesarkan sudah berubah. Pedagang kaki lima memenuhi halaman muka rumah orangtuanya. Ibunya terpaksa mengambil orang yang indekos untuk menutupi biaya hidup sehari-hari sejak ayahnya sakit. Dan penulis dengan arif menggambarkan perbedaan sistem pensiun antara Australia dan Indonesia sehingga jenjang kebudayaan terlintasi dengan santai bagi pembaca. Di rumah orangtuanya, Komala berkenalan dengan Hamdani, seorang pemuda yang sangat sopan, yang dirasakan Komala satu-satunya orang di rumah itu yang dapat diajaknya bicara. Selain menemani ayahnya membaca setiap hari, Komala kembali terserap dalam kesibukan Kota Jakarta. Dari pertemuannya dengan Narsih, sahabat lamanya, pembaca diperkenalkan dengan masalah pertama yang dihadapi wanita di Jakarta. Narsih, yang sewaktu muda menikah dengan anak orang kaya, tetapi mengalami gumulan hidup akibat kesenangan suaminya bermain judi. Maka, Narsih-lah yang menghidupi keluarganya dengan "bisnis" mencatut, dengan segala suka-dukanya. Komala juga bertemu kembali dengan Hanny, kekasihnya sewaktu remaja yang tidak bisa menikahinya karena ia bukan orang Cina. Ibu Hanny, Nyonya Yo, telah memilih Hwa, seorang wanita Cina, sebagai menantunya. Dan sampailah pada saat Komala berkenalan dengan kakak Hamdani, Tati, seorang hostes di klub malam terkenal di Jakarta. Tati menjadi kesukaan khusus pemilik klub malam itu, Baldy (si Botak). Hubungan Komala dengan ayahnya sementara itu berubah. Ayahnya, yang sangat ditakutinya waktu ia kecil, sekarang lebih mirip seorang anak-anak. Ia takut sekali pada juru rawatnya, Mira. Ibu Komala, yang tidak pernah cocok dengan Mira, lebih nyata lagi kejelekannya. Suka gosip, kerjanya sehari-hari hanya mengomel. Klimaks cerita itu terjadi ketika Hamdani, yang mengaku impoten, menceritakan kepada Komala bahwa Tati disiram air raksa oleh istri si Botak. Waktu Komala mengunjungi Tati di rumah sakit, tak seorang pun teman lamanya yang berani mengunjunginya. Dan waktu Komala berusaha membantu Tati menuntut istri si Botak, tak seorang pun yang bersedia maju sebagai saksi, kecuali Stefanus Kardi, sopir pribadi si Botak, yang sekaligus adalah saudara sepupunya. Dalam keadaan frustrasi menghadapi persoalan Tati, Komala dikagetkan oleh keadaan avahnya yang semakin parah. Dan terbongkarlah sebab ibunya merongrong dan selalu mengatakan Women are the root of all evil (wanitalah sebab segala malapetaka). Dalam peperangan batinnya, Komala, yang menyadari bahwa Women always blame other women for their husband's infidelity (wanita selalu menyalahkan wanita lain kalau suaminya bermain serong), hancur luluh hatinya karena terbongkar bahwa ayahnya pernah bermain serong. Dan ketika ibunya mengetahui hal itu, dan membuat onar, wanita itu pergi. Baru bertahun-tahun kemudian ayahnya menerima surat bahwa wanita yang dicintainya itu telah meninggal waktu melahirkan anaknya. Bagi pembaca Indonesia, buku ini mungkin ada kejanggalannya. Tati tidak bersedia memberikan kesaksian, meskipun itu untuk masa depan dirinya dan anak-anaknya. Ia tidak bersedia menghadapi publisitas yang pasti akan memenuhi media. Untuk orang Indonesia hal ini adalah sesuatu yang lumrah, tetapi untuk Australia hal ini tidak bisa dimengerti. Dan penulis berusaha keras menjelaskan hal ini. Buku ini memang ditujukan kepada pembaca berbahasa Inggris, terutama orang Australia. Penggunaan orang pertama I (saya, aku) memungkinkan penulis memperkenalkan adat dan kebiasaan serta budaya Indonesia melalui kaca mata orang Australia. Jumlah karakter dalam buku ini cukup banyak dan bisa dirasakan kurang dikembangkan oleh penulis. Tetapi secara keseluruhan penyimpangan dengan menggunakan karakter-karakter lain itu malahan merupakan sketsa-sketsa yang digabungkan dengan lihai, sehingga terbentuk suatu jalan cerita yang menarik, padat, dan membuat buku ini sukar diletakkan sebelum selesai. Roswita Nimpuno Khiyath * Penyiar di Radio Australia Seksi Indonesia

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus