Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Mengadu bebas aktif di nicosia

Indonesia ingin menjadi tuan rumah dan ketua gerakan non-blok. dibutuhkan diplomasi serta integritas di percaturan internasional. bersaing dengan nigeria yang didukung negara-negara afrika.

10 September 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SETELAH sukses menyelenggarakan Jakarta Informal Meeting Menteri Luar Negeri Ali Alatas akan diuji lagi ketangguhannya. Indonesia ingin menjadi tuan rumah dan kemudian ketua gerakan Non-Blok periode setelah itu. Tugas itu sangatlah pelik dan musykil. Karena itu, dibutuhkan pengerahan kemampuan diplomasi yang luar biasa tangguh untuk meyakinkan forum negara-negara Dunia Ketiga yang tergabung dalam gerakan Non-Blok tersebut. Tampaknya, yang dibutuhkan bukan sekadar diplomasi. Tetapi juga integritas kita dalam percaturan Non-Blok di masa kini maupun persepsi negara-negara anggota dalam melihat pelaksanaan politik dalam dan luar negeri kita selama pemerintahan Orde Baru. Saingan kita bukanlah negara yang kurang tangguh posisi tawarnya. Nikaragua, biarpun negara baru, selama ini tercatat mempunyai sejarah perjuangan pembebasan nasional yang sangat berhasil menarik simpati negara-negara Non-Blok lainnya. Usahanya untuk menegakkan integritas nasional ternyata mengalami cobaan. Selain dissent dalam negeri yang mesti dihadapi, Nikaragua harus menanggulangi campur tangan asing atas pemecahan masalah dalam negerinya. Ini memang sesuatu yang menjadi salah satu dasar yang menyatukan anggota-anggota gerakan Non-Blok untuk memerangi subversi, intervensi, bahkan tekanan dan infiltrasi. Oleh karena itu, dapat diduga bahwa Nikaragua mendapat dukungan luas dari negara-negara Non-Blok yang belum lama dirundung cobaan serupa. Atau bahkan negara senasib yang masih harus menghadapi godaan yang tidak jarang dilancarkan oleh negara yang bukan ukuran tandingannya dalam kekuatan senjata, kematangan diplomasi, ataupun wibawa dalam percaturan internasional. Negara semacam itu banyak ditemui di Amerika Latin, Afrika Timur Tengah, bahkan Asia. Kesopanan diplomasi sajalah yang menuntun tuntutan Nikaragua menjadi tuan rumah konperensi Non-Blok yang akan datang atas dasar giliran tempat penyelenggaran yang kebetulan jatuh di kawasan Amerika Latin. Pengalaman serupa dapat kita tengok ketika Robert Mugabe dari Zimbabwe, Afrika, mendapat dukungan sangat luas sebagai tuan rumah konperensi Non-Blok beberapa waktu yang lalu. Penyelenggaraan konperensi Non-Blok di Harare, ibu kota Zimbabwe bukan hanya meningkatkan wibawa negara kecil yang baru merdeka itu, tetapi juga mematangkan politik dalam dan luar negeri. Mugabe kemudian terbukti lebih dari pantas menjadi ketua gerakan Non Blok dan pemimpin Afrika yang tidak main kayu dalam menangani masalah-masalah yang berkaitan dengan kepentingan negara lain. Bagaimana dengan Indonesia? Negara kita mempunyai kehormatan diakui sebagai salah satu pendiri gerakan Non-Blok. Kehormatan itu bukan hanya memperoleh pengakuan, tetapi dengan konsekuen dicerminkan dalam sejarah diplomasi kita, terutama ketika gerakan itu baru didirikan. Di antara negara-negara dalam jajaran Non-Blok, Indonesia tergolong yang berhasil melaksanakan pembangunan ekonominya. Ini membawa dampak luas juga bagi sementara negara yang memahami betapa penting dan peliknya memecahkan masalah kesejahteraan dan tingkat hidup rakyat di negara yang berjuang untuk mengisi kemerdekaannya. Semua itu merupakan kekuatan yang mendukung perjuangan diplomasi di Nicosia nanti. Meskipun demikian, tidaklah adil bagi kita untuk membebani harapan yang berlebihan pada para diplomat kita dalam perjuangan di Nicosia itu. Iklim diplomasi sekitar masalah itu sungguh pelik. Di masa-masa lalu, kita telah memilih pendekatan diplomasi low profile sepanjang menyangkut konperensi Non-Blok. Kita tidak menyatakan keinginan menjadi tuan rumah konperensi-konperensi Non-Blok dalam dua puluh tahun terakhir. Kini, ketika Nikaragua ingin menjadi tuan rumah, kita pun merasa punya giliran untuk bertindak sebagai tuan rumah. Pilihan waktu ini, secara diplomatis maupun psikologis, bisa mengundang prasangka. Apalagi dalam forum sebelumnya, kita berketetapan untuk tidak menyerahkan peluang itu kepada Nikaragua, dan tetap menunjukkan keinginan yang kuat sebagai eksponen Non-Blok yang diakui. Semua orang tahu, Nikaragua ingin memperoleh dukungan internasional dalam usahanya untuk membendung intervensi negara asing atas pemecahan masalah dalam negerinya. Sebaliknya, banyak orang mengetahui, seperti dikatakan oleh Gubernur Lemhanas Jenderal Subiyakto, bahwa penampilan politik bebas aktif Indonesia sebenarnya bersifat dilematis, jika dikaitkan dengan gerakan Non Blok. Keharusan kita untuk melanjutkan pembangunan membutuhkan banyak dana dari pihak lain. Hal ini juga membawa keharusan kita untuk dekat dengan sumber dana pembangunan itu. Itulah penilaian Jenderal Subiyakto yang sangat berterus terang. Karena itu, bila kita berhasil, alangkah pedih hal itu bagi Nikaragua, yang berharap dukungan dan solidaritas internasional untuk perjuangan menanggulangi intervensi dan subversi sewenang-wenang itu. Tetapi bila kita gagal, bukan hanya pertanggungjawaban ke dalam negeri yang sulit kita terangkan. Hal itu juga membuka peluang bagi penilaian bahwa wibawa kita tidak setinggi seperti yang kita perkirakan dalam percaturan Non-Blok. Pelik, bukan? Bukanlah diplomat ulung kalau dalam situasi pelik semacam ini kita tidak mampu memberi justifikasi atas penampilan kita, apa pun hasilnya. Soal berhasil atau tidak, itu nomor dua. Yang penting, kita tahu apa yang sungguh-sungguh ingin kita tegakkan dalam diplomasi memperjuangkan jabatan ketua dan kepercayaan sebagai tuan rumah Non-Blok yang akan datang. Bukankah tugas kita untuk menegakkan politik bebas aktif, yang harus selalu mencoba meredakan perselisihan antarblok kekuatan raksasa? Bukankah penyelenggaraan konperensi Non-Blok di Nikaragua bisa justru mempertajam, dan bukan meredam perselisihan itu? Ingat konperensi Non-Blok di Kuba dulu, yang oleh sementara anggota dinilai telah jauh membawa gerakan Non-Blok makin memihak pada salah satu kekuatan adikuasa yang bersengketa. Bukankah masalah yang dihadapi gerakan Non-Blok sekarang telah berkembang, bukan hanya dekolonisasi dan perlucutan senjata, tetapi juga pembangunan ekonomi? Sehingga, Indonesia bisa mengaJak forum itu untuk memusatkan perhatian pada kesejahteraan dan mutu hidup rakyatnya, dan mulai mengurangi retorika dan slogan antipenjajahan, pro-kemerdekaan dan pro-perdamaian, tetapi membiarkan rakyatnya tetap menderita karena kelaparan, kemiskinan, dan perpecahan. Di tangan Ali Alatas, ungkapan itu bisa lebih canggih.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus