Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Sihir Seni Permukaan Jeff Koons

Jeff Koons, perupa Amerika Serikat, bermain-main dengan sensasi serba permukaan. Pameran besarnya di Frankfurt memburu yang serba baru.

24 September 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TAK ada yang lebih tepat menggambarkan sensasi realitas kita di masa kini ketimbang Jeff Koons. Realitas yang diserap Koons adalah realitas yang sarat oleh permainan dan seduksi dalam masyarakat pascamodern. Itulah masyarakat konsumen yang dijenuhkan oleh kesenangan, makanan, tubuh, dan mode dengan pengandaian tersendiri mengenai dunia yang real. Pada saat yang sama, kepekaan mengenai dunia sosial dianggap sudah berakhir, digantikan oleh sensasi akan yang real itu.

Pesona atau sihir seduksi itu merasuki khayal kita melalui permukaan. Bagi Koons, permukaan itu adalah sebuah ide mengenai kenyataan yang tak ada habisnya. Seni tak lain adalah permukaan dan permukaan itulah seni. Maka orang pun ingin datang dan menikmati sensasi permukaan itu sepuas-puasnya pada lukisan-lukisan dan patung Jeff Koons. Dalam hal itulah Koons sungguh berhasil menyihir kita, seperti tampak pada pameran besar-besaran karyanya di Frankfurt, Jerman. Pameran itu digelar di dua tempat, yakni di Schirn Kunsthalle, yang menampilkan 45 lukisan (1989-2012), bertajuk "The ­Painter", dan "The Sculpture" (1985-2012) di Liebieghaus Skulpturensammlung dengan 44 buah patung. Pameran itu berlangsung mulai 20 Juni hingga 23 September 2012, didaku sebagai pameran terbesar dari seniman Amerika kelahiran York, Pennsylvania, pada 1955, ini.

Dua kategori besar lukisan dan patung itu memang menunjukkan ranah utama ­eksplorasi seni Koons selama ini, yakni sejak 1980-an. Koons sendiri sebenarnya boleh dikata tak membeda-bedakan dua medium itu. Baginya, lukisan dan patung membutuhkan intensitas luar biasa untuk menghasilkan gagasan tentang yang permukaan. Dia tak peduli seninya disebut sebagai kitsch. "Kitsch itu sebuah penilaian dan saya tak suka penilaian," katanya enteng. Bagi Koons, lebih penting memahami dan menyerap dengan sungguh-sungguh apa yang kita saksikan di sekitar kita ketimbang menilainya. Kritikus menyebutnya sebagai Sang Raja Kitsch.

Sensasi mengenai permukaan itu datang dari kepiawaian Koons mengolah medium atau materi yang digunakannya. Ia terutama menggandrungi sensasi warna-warni plastik yang superlicin dan mengkilap, mengesankan dunia industrial global yang supercerah. Warna-warni itu datang bersama dunia permainan. Koons biasa menggunakan pelapis warna yang mengkilap, cat metalik, oil ink, emas, baja tahan karat, aluminium, perunggu, porselen, marmer, kaca, dan kayu.

Manipulasi medium yang dipraktekkan Koons mengecoh mata kita melalui seni permukaan yang sangat menggoda. Misalnya, perunggu atau baja disulapnya menjadi permukaan balon plastik yang tipis, licin, dan mengkilap dengan tegangan dan sudut-sudut lekukan tanpa cela, seperti tampak pada patung seri Hulk, Balloon Venus (2008-2012) dan Metallic Venus (2010-2012) yang mengagumkan itu. Kejamakan dunia di sekitar secara ajaib dan menggoda dipendarkan kembali melalui permukaan "balon".

Pada lukisan-lukisannya, Koons dengan sangat cermat menampilkan sensasi permukaan yang berbeda-beda untuk setiap obyeknya. Lihatlah kulit mulus tubuh perempuan, stocking hitam transparan, patung marmer-solid Aphrodite, es krim, panekuk atau bagel yang tampak menggiurkan, sampai elemen mengambang yang mengesankan coretan spidol anak-anak di atas permukaan kanvasnya. Sensasi akan permukaan adalah ilusi mengenai kesempurnaan. Kata Koons, "Saya ingin menularkan kepada pemirsa saya suatu rasa keamanan ekonomis."

Salah satu sensasi Koons pada lukisan-lukisan yang dipamerkan di Schirn adalah seri Antiquity-nya, yang dikerjakan dalam dua tahun terakhir ini. Koons secara banal menyandingkan citra kelompok patung Aphrodite bersandal dengan kemolekan aktris Gretchen Mol, yang mengendarai lumba-lumba sambil mencium monyet. Semakin kita acuh tak acuh dengan gagasan estetik Koons yang terasa sebagai kitsch, semakin kita tersedot oleh cara Koons menampilkan keajaiban permukaan pada karyanya. Rujukan pada teknik kolase dan cropping citra fotografis yang disusun dengan cermat melalui bantuan komputer sangat mendominasi lukisan Koons. Kadang-kadang menghasilkan citra surealistis mengenai potongan wajah bule jelita, seperti pada Lips (2000).

Karya-karyanya yang pernah menghebohkan—menampilkan adegan Kama Sutra dengan selebritas porno Ilona Staller atau Cicciolina—dipamerkan di pojok ruangan di Schirn. Itulah seri Made in Heaven (1989-­1991), billboard narsistik Koons, yang dikerjakan dengan oil ink painting di atas kanvas, merancukan antara cetakan foto dan lukisan super-realis. Pada karya trimatra seri ini, muncul Bourgeois Bust – Jeff and Ilona (1991) dan beberapa patung berbahan kaca yang mengesankan sensasi permukaan es yang seakan-akan segera meleleh.

Koons mengatakan ia memang tak ingin menampilkan pesan apa pun pada karyanya. Ia hanya ingin menularkan kepada penontonnya suatu "rasa keamanan ekonomis". Itulah ilusi Koons tentang peran seni dan kenikmatan melihat. Estetika Koons adalah estetika yang tak mau mengambil jarak dengan yang permukaan. Seni Koons pernah disebut sebagai kontradiksi antropomorfis karena kita tak menemukan apa-apa pada karyanya selain udara kosong. Tapi melalui cara itu pula Koons memulihkan status lukisan di era yang pernah disebut sebagai penjenuhan semua medium.

Koons memang tak menghasilkan atau menciptakan sebuah kiasan atau metafora baru yang menggugah. Dunia yang diserapnya adalah dunia fragmen atau citra ­ready made yang sudah dikolase, dunia yang disemburkan oleh mesin reproduksi dan simulasi dari yang real. Dari Aphrodite sampai burung kenari Tweety, dari Bubble-nya Michael Jackson sampai kucing dan kembang, dari Popeye sampai Incredible Hulk. Dengan strategi ala ready made dan citra banal dunia hiburan itu, Koons selalu dengan takzim menyebut dua nama pendahulunya, yakni Marcel Duchamp dan Andy Warhol.

Yang menarik pada sesi pameran "The Sculpture" di Liebieghaus adalah presentasi karya-karya patung Koons di antara koleksi museum benda bersejarah dari zaman Yunani klasik sampai Romawi. Di antara ruang-ruang yang sarat oleh patung dewa-dewi, malaikat, dan orang suci, ditempatkan patung-patung kitsch karya Koons. Karya Koons terasa sebagai lompatan raksasa ke sebuah kebudayaan baru dengan selera yang baru, yang mendesakralisasi citra religius dan mensekulerkan kebudayaan manusiawi.

Sebuah ember mengkilat Koons, misalnya, diletakkan di hadapan sebuah patung Aphrodite dari zaman klasik, seakan-akan itulah perangkat kecantikan yang banal dari zaman kini. Atau obyek bola basket dalam tangki kaca, One Ball 50/50 Tank (1995), menjadi latar depan patung salib Kristus. Kisah-kisah masa lalu yang auratik selalu memperoleh intervensi dari apa yang kita rasakan di masa kini. Kita menaruh khidmat pada keindahan masa silam seperti kita menggandrungi para selebritas pada hari ini atau menyayangi kucing dan hias­an kembang di rumah kita sendiri. Identitas kita perlahan-lahan disulap Koons menjadi permukaan kulit kita. Bagi Koons, kita memang selalu mau memburu yang serba baru. Seni permukaan, itulah tulang sumsum Sang Raja Kitsch.

Hendro Wiyanto, pengamat seni rupa

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus