Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MENTERI Pertanian Suswono sesungguhnya akan memperjuangkan apa? Dia ngotot meminta tambahan dana subsidi pupuk, tapi bertahun-tahun tidak mengatasi penyelewengan subsidi. Akibatnya, kelangkaan pupuk terjadi di mana-mana. Harga melambung. Petani menjerit. Dana subsidi triliunan rupiah akhirnya menjadi bancakan perusahaan rekanan pejabat atau anggota dewan legislatif.
Tambahan dana subsidi pupuk itu sepintas terdengar masuk akal. Soalnya, dana subsidi pupuk tahun ini lebih rendah daripada tahun lalu. Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan tahun ini, Kementerian Keuangan memangkas anggaran subsidi pupuk dari Rp 16,9 triliun menjadi Rp 13,9 triliun. Tahun lalu subsidi mencapai Rp 18,8 triliun. Anggaran yang turun 26 persen itulah yang membuat Suswono sibuk ”bersafari” mendatangi Menteri Keuangan dan Komisi Pertanian Dewan Perwakilan Rakyat. Dalihnya, jika subsidi tak ditambah, produksi nasional padi akan terganggu.
Sebelum heboh ripuh minta tambahan subsidi, seharusnya Menteri Pertanian membersihkan dulu ”halaman rumah sendiri”. Biang masalah pupuk bersubsidi adalah sistem distribusi yang amburadul sehingga banyak benalu tumbuh. Mereka mengakali sistem sehingga pupuk bersubsidi sering dijual di atas patokan harga eceran tertinggi. Celakanya, tak pernah ada sanksi keras terhadap para benalu itu.
Padahal di setiap kabupaten ada komisi pengawas pupuk yang terdiri atas pejabat dinas pertanian, kejaksaan, dan kepolisian. Namun komisi ini sering mandul atau malah bersekongkol dengan distributor untuk meloloskan daftar fiktif petani penerima pupuk bersubsidi. Walhasil, banyak pupuk bersubsidi yang nyasar ke tangan perkebunan besar atau malah diekspor. Contohnya, pekan lalu, Bea dan Cukai Tanjung Priok menggagalkan penyelundupan 6.000 karung pupuk bersubsidi ke Malaysia. Ini bukan kasus pertama. Setiap tahun kasus ekspor pupuk ilegal terjadi dan setiap kali pula Kementerian tak berkutik.
Kekacauan bermula dari penunjukan distributor yang tidak terbuka. Tender kerap ”masuk angin”. Banyak pejabat, anggota Dewan, serta petinggi TNI dan polisi yang menitipkan rekanan untuk menjadi distributor. Jumlah distributor membengkak. Sepuluh tahun lalu jumlahnya 3.000, kini menjadi 12 ribu. Kinerja distributor itu juga tak pernah dievaluasi.
Sangat menyedihkan apabila Kementerian Pertanian tak mengetahui kecurangan ini. Apalagi hasil penelitian Pusat Telaah dan Informasi Regional bersama lembaga donor Amerika Serikat (USAID) di sepuluh kota menemukan fakta sangat mengejutkan. Penyelewengan diduga kuat sengaja dibiarkan oleh pemangku kebijakan.
Bila Kementerian Pertanian serius ingin membantu petani, langkah pertama yang harus dilakukan adalah mereformasi sistem distribusi pupuk. Sebesar apa pun tambahan subsidi, sepanjang sistem penuh benalu, itu tak akan efektif mendongkrak hasil produksi padi. Kementerian mesti menghukum para distributor nakal dan komisi pengawas yang suka main mata. Surveyor independen bisa diundang untuk memberikan sertifikasi kepada para distributor—meniru usaha yang dilakukan Pertamina.
Kementerian bisa belajar dari Amerika Serikat, Selandia Baru, atau Jepang, yang sukses meningkatkan produksi pangan dengan sistem subsidi pupuk yang tepat. Perlu juga meniru cara negara maju itu memberantas garong dana subsidi pupuk. Yang terpenting, Kementerian Pertanian mesti memastikan tak ada pejabatnya yang sengaja ikut menikmati subsidi pupuk.
berita terkait di halaman 106
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo