Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Sirkuit Bagong Kussudiardja

Pameran "Sirkuit: Ahli Waris Etape Satu" menampilkan karya-karya seni rupa Bagong beserta anak-anak dan cucunya.

14 Mei 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Sirkuit Bagong Kussudiardja

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gareng dilukiskan Otok Bima Sidarta sebagai sosok dewa. Ia mengenakan baju kuning lengan panjang, jarit cokelat keemasan, bermahkota, dan mengenakan gelang kuning emas di kedua kaki dan tangan. Kalung emasnya berliontin aksara Jawa dengan huruf "ga" yang menandakan Gareng. Kaki kirinya yang pincang berjinjit dengan jari-jari menumpu tali. Tangan kanannya yang bengkok aliascekomemegang kayu berbentuk palang yang bertali. Setiap temali menghubungkan dan menggerakkan penari-penari bertubuh mungil untuk beratraksi. Lukisan itu diberi judul Di Bawah Kekuasaan Gareng.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Obyek wayang ini yang membedakan lukisan saya dengan bapak," kata Otok di sela pembukaan pameran seni rupa "Sirkuit: Ahli Waris Etape Satu" di ruang pamer lantai 2 Padepokan Bagong Kussudiardja di Bantul, Yogyakarta, Senin malam silam. Sebagai sesama penari dan perupa, Otok mengaku mempunyai kesamaan dengan bapaknya, almarhum Bagong Kussudiardja. Apalagi saat anak keempat dari Bagong itu menggambar sketsa. "Sketsa saya mirip (buatan) bapak. Tapi ini harus saya hindari."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dalam pameran yang berlangsung hingga 30 Juni 2018 tersebut, ditampilkan karya Bagong yang menggambar sketsa dengan obyek penari, sementara Otok melukis dengan obyek wayang. Sebagai penari, Otok berguru langsung kepada Bagong dan mengikuti sejumlah tur bersama ayahnya di Asia, Amerika, dan Eropa. Namun, sebagai anak, tak berarti dia dianak-emaskan. "Saya pernah dibalang (dilempar) sandal sama bapak karena kurang ndegeg (posisi punggung kurang tegak)," kata Otok, yang juga mempunyai keahlian di bidang karawitan yang dipelajarinya di SekolahMenengah Karawitan Indonesia (SMKI), Yogyakarta.

Adiknya yang berselisih usia setahun, Butet Kartaredjasa, juga menampilkan karya-karya sketsa. Namun karyanya sangat berbeda dengan sang ayah. Sketsa Butet lebih banyak menggambarkan kehidupan sosial sehari-hari di sekitarnya. Ada perempuan yang sedang duduk seorang diri, yang disebutnya Mejeng. Tiga laki-laki berdiri dan ada yang berkostum sarung serta bertopi bulat, yang diberi judul Transaksi. Seorang laki-laki bertopi bulat melihat sapi-sapi di depannya, yang disebutnya Blantik Menaksi.

Ada pula karya sarkastis seperti karakter yang kerap ditampilkannya sebagai aktor teater maupun film, berupa karya patung berbentuk celeng. Yang satu diberi judul Celeng Berbulu Doreng dengan warna hijau loreng. Satunya lagi Celeng Berburu Beringin dengan warna kuning.

Anak bungsu Bagong, Djaduk Ferianto, berbeda lagi. Meski lebih kerap dikenal sebagai musikus kreatif bersama kelompok musik besutannya, Sinten Remen, atau menjadi penata musik di sejumlah film dan teater, ternyata Djaduk penyuka fotografi. Hobi baru itu ditekuninya sejak lima tahun lalu. Berbekal kamera DSLR dan mirrorless, Djaduk memotret sejumlah momen di sekitarnya. Dia mengumpulkan, mengedit, dan berencana memamerkan karyanya secara tunggal pada Desember mendatang. Memotret baginya adalah stimulus untuk mengasah kepekaannya selagi jeda berkesenian. Tema-temanya pun berhamburan.

"Asal ngeklik betul,thek,ngeng-nya dapat,tasjadi. Dari berbagai angle," kata Djaduk, yang tak lepas menjadikan proses memotret sebagai sumber bunyi.

Foto-fotonya dibuat hitam-putih. Ada potret keriuhan pasar burung yang dipenuhi berkotak-kotak kurungan yang digantung maupun diletakkan di lantai berjudul Orkes Burung. Potret prajurit-prajurit keraton bercengkerama di depan bangunan. Entah sedang menanti tampil atau selesai bertugas. Foto bidikan pada 2014 itu diberi judul Bergodo. "Foto colour itu terjebak pada keindahan. Kalau hitam-putih itu keindahannya lebih subli, punya misteri," kata Djaduk.

Di ruang yang sama, cucu Bagong dari anak sulungnya, almarhumah Ida Manu Trenggono, yaitu Doni Maulistya, membuat kejutan. Dia memadukan sosok Bunda Maria dengan foto kecil ibunya dalam satu frame. Di frame yang sama, Aul-panggilan akrabnya-juga menyertakan catatan Bagong tentang kelahiran ibunya, yang ditemukan dalam arsip lawas. Teknik saling menimpa dalam satu frame itu disebut digital overlays.

Adapun karya Bagong yang dipamerkan bertema "Manusia yang Bergerak". Karya-karya yang ditampilkan di ruang pamer lantai satu bangunan itu berupa sketsa yang menggambarkan gerak tari para penari. Ada sketsa yang menampilkan penari tunggal. Ada sketsa dalam satu lembar kertas yang menampilkan banyak penari dengan berbagai bentuk olah tubuh. Seolah sketsa itu merupakan kitab acuan orang untuk belajar menari.

"Saat membuat komposisi tari seperti melihat Pak Bagong menari di atas panggung. Dan, saat menari, seperti melihatnya melukis di bidang gambar dua dimensi," kata kurator pameran, Suwarno Wisetrotomo.

Pameran "Sirkuit: Ahli Waris Etape Satu" bisa dibilang istimewa karena menampilkan karya-karya seni rupa Bagong beserta anak-anak dan cucunya. Pengambilan istilah "sirkuit" menunjukkan proses berkesenian Bagong selama hidup yang ditandai dengan membangun sirkuit untuk dirinya sendiri sebagai koreografer, penari, dan perupa. Sekaligus membangun sirkuit untuk menampung cantrik-cantriknya sebagai bentuk investasi berkesenian pada banyak orang.

Menurut Suwarno, "Ahli warisnya tak sebatas anak-anak biologisnya, melainkan para cantrik, kolega, dan orang-orang yang mempunyai hubungan ideologis dengannya." PITO AGUSTIN RUDIANA

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus