Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PROPERTI panggung berupa kotak-kotak besar beroda berbagai ukuran yang bisa didorong ke sana-kemari menjadi metafora segala macam ruang kumuh rumah susun sederhana sewa. Ia bisa mengasosiasikan kamar tidur yang sempit. Ia bisa menjadi potret suasana dapur yang penuh pekerja. Dari berbagai variasi kotak yang diletakkan horizontal atau vertikal itu, muncul drama gangster yang meneror penghuni apartemen.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pertunjukan Teater Ash dari Hong Kong dan David Glass Ensemble berjudul City of Darkness di Graha Bakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 6-7 September lalu, cukup patut sebagai pembuka Djakarta Teater Platform. Festival internasional yang digagas Komite Teater Dewan Kesenian Jakarta ini mengambil tema "Silent Mass", sisi-sisi lain kehidupan kota yang didiamkan. Dan, dengan set yang bergerak terus, Teater Ash menyajikan kehidupan penduduk Kowloon Walled City.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kowloon disebut sebagai salah satu kawasan terpadat Hong Kong, pusat prostitusi, judi, dan narkotik. "Polisi sama sekali tak bisa menyentuh gangster di sana. Triad menguasai lebih 55 ribu warga," kata sutradara David Glass. Sesungguhnya cerita yang ia angkat "klise", tentang bagaimana pemerasan sehari-hari para preman terhadap warga Kowloon. "Materi kisah saya ambil dari riwayat salah satu aktor Teater Ash bernama Lok Kan Cheung. Dia lahir dan besar di Kowloon," ucap Glass. Lok Kan Cheung menjadi direktur artistik pementasan. Dia tahu persis suasana blok-blok apartemen kumuh di sana. Itu mungkin yang membuat pengaturan imaji set kotak-kotak kayu di panggung tidak seperti mengada-ada.
Kisah dimulai dari kepindahan keluarga Alice (sosok representasi Lok Kan di sini). Kamar yang mereka tinggali sedemikian sempit. Mereka terlilit utang. Stres. Sang ayah terlibat kriminalitas. Glass ingin memperlihatkan betapa banyak warga Kowloon akhirnya menjadi bagian dari mafia. Mereka menjalani inisiasi. Para aktor menampilkan akting bercampur tarian. Terasa kuat gerak-gerik pantomim. Tak ada dialog di antara mereka secara langsung. Dialog sesekali muncul dalam rekaman, sebagai suara hati atau jeritan. Kostum aktor yang cenderung seragam mengimajinasikan mereka mirip pasien rumah sakit jiwa.
Yang patut dipuji adalah kemampuan Glass mengatur ritme perpindahan blocking kotak kayu. Ia mampu menciptakan kesan ruang yang klaustrofobik. Apartemen yang padat, sumpek. Pencahayaan cenderung suram. Cahaya seolah-olah bocor. Tapi tidak ada jeda atau pergantian babak yang mengganggu. Semua menyambung dan mengalir enak. Blocking berpindah cepat. Misalnya dari adegan cekcok keluarga Alice sampai adegan sang ayah menjadi pekerja pabrik. Triad memaksa mereka menjadi buruh.
Muncul peran-peran "magis" yang menjadikan tontonan ini bernyawa. Di antaranya sosok paman yang mengenakan rias muka pantomim yang lincah meloncat dari set ke sana-kemari. Terutama sesosok ratu yang berjalan memakai kruk penyangga kaki. Wanita itu lumpuh dan misterius. "Aku sudah ada sebelum kalian semua menghuni," katanya, mengandaikan ia semacam cenayang, tokoh mitologis, atau "penghuni" apartemen. Dua kali ia muncul dengan adegan yang digarap secara baik. Ia menjadi pusat yang dikelilingi kotak-kotak. Pada akhir adegan, ia ditembak mafia. Ungkapan "surealis" juga muncul dari adegan bulan putih yang melintas di tengah kegelapan.
Berbasis di Hong Kong, untuk pementasan ini, Teater Ash juga menggelar audisi di Yogyakarta. Miroto, koreografer Yogyakarta, menjadi salah satu pemain. "Guru saya, Grotowski dan Jacques Lecoq, percaya bagaimana memadukan tubuh dan imaji," ucap Glass, menyebut nama dua dedengkot teater dan pantomim avant-garde dunia sebagai gurunya. Jerzy Growtowski, teaterawan Polandia, terkenal akan kredonya yang menolak segala macam kleptomania artistik untuk teater. Dia tak menyukai gemerlap kostum, cahaya, atau set mahal karena ia anggap manipulatif.
Properti kotak-kotak beroda yang dipakai Glass, meski sedemikian "masif", mungkin mencerminkan konsep dari Growtowski itu. Glass juga percaya masa depan teater adalah mengombinasikan aktor-aktor lokal antarnegara. Maka ia pun memilih aktor dari berbagai latar: penari Jawa, pemain opera Peking, penari balet, pemain boneka (Alice digambarkan suka memainkan boneka). "Tapi Anda tidak akan melihat gerak-gerak mereka hadir secara mentah di panggung," tuturnya.
Toh, ia agaknya tak ingin bermain di wilayah murni eksperimen. Terasa ia masih ingin menghibur penonton dengan dramaturgi ala pendekatan semipop. Ini berbeda dengan, misalnya, sutradara Ong Keng Seng dari Singapura yang lewat pertunjukan multikulturalisnya, seperti King Lear dan Othello, berani menampilkan gerak ekspresi lokal aktornya, dari pesilat Padang, penari klasik India, sampai aktor tradisional Burma. Teaternya menjadi semacam teater antropologis. Namun justru itulah keunikan David Glass. "Saya ingin menggabungkan novel grafis dengan Charlie Chaplin," ujar pria paruh baya yang pernah bersekolah di L’École Internationale de Théâtre Jacques Lecoq di Paris itu, mengibaratkan pilihan estetikanya. "Kalau itu dicampur, kita seperti mengisap jamur yang enak," katanya, lalu tertawa.
Seno Joko Suyono
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo